Tangan Melinda juga terluka akibat dia menghindarkan anaknya, Lily. Nampaknya hal itu sia-sia karena ya, Lily juga terluka. Wajahnya … astaga, aku tidak bisa menjelaskannya.
Tim keamanan dan kesehatan mulai mendekati mereka. Mereka langsung membersihkan tangan Lia, Melinda dan wajah Lily untuk diperban nantinya.
Tiba-tiba, Daffa dan Dila mendekat ke tempat kejadian. “Halo guys! Baru saja terjadi ledakan di Winter Garden yang kami kunjungi hari ini.” Mereka nampaknya mendokumentasikan kejadian itu dengan merekamnya. “Kalian bisa melihat dampaknya di belakang kami.”
“Hei orang bodoh!” Lily bersuara. Kepalanya masih dibersihkan sebelum diperban. Daffa dan Dila sontak berpaling.
“Aku tahu aku masih anak-anak, tapi dimana nurani kalian?!”
“Ibuku terluka, teman ibuku terluka, dan kalian merekamnya? Dimana adab kalian?!”
“Wow, itu mengejutkanku,” ucap Firdaus.
Meski tim keamanan berada di sana, mereka belum menyingkirkan buket bunga itu. Nampaknya mereka menyerahkannya kepada polisi nantinya. Berarti ada kesempatan untuk aku melihat isi dari buket bunga itu.
Daffa dan Dila tidak terlihat memedulikan Lily. Lily nampaknya marah akan hal itu. Dia menendang betis sebelah kiri Dila secara keras sampai berlutut pada satu kaki. Hanya ringisan yang kubisa dengar dari Dila.
“Anak ini kuat juga,” gumamku.
“Hentikan Lily! Kamu tidak perlu melakukan itu.” Melinda membujuk anaknya.
“Ume! Anakmu ini keterlaluan!” ucap Daffa.
“Ume?” tanyaku.
Berjalan dengan kaki kirinya yang sakit. Dila menjauh, menuju salah satu bangku yang sudah ada di sana. Duduk, mengambil sesuatu dari tasnya. Terlihat seperti balsem dan dia mengoleskannya ke kakinya.
Dia malah tambah kesakitan. Dia mencium aroma balsem itu dan sontak melemparnya. Dia ketakutan dan mendekat kepada Daffa lagi. Aku mulai merasakan sebuah keanehan.
Aku berdiskusi sebentar dengan Firdaus. Menyuruhnya untuk melihat ke dalam buket bunga itu dan menengok sedikit ke pohon yang kebetulan sejajar dengan mereka. Pohon itu adalah pohon akasia. Aku curiga bahwa sebenarnya bom kali ini diledakkan dengan cara ditembak dari sana.
Sementara aku mengambil balsem itu. Mencoba melihat apa yang membuat balsem itu menjadi aneh. Aku melihat ke atas, sekitaran taman ini. Untungnya mereka memasang CCTV, hal ini semakin memudahkan untuk kami memecahkan kasus ini.
Firdaus setuju. “Siapa nama anak kecil itu? Lily ‘kan?” tanyanya. Aku menjawabnya dengan anggukan dan langsung pergi.
Aku menuju balsem itu. Dila nampaknya tidak memperhatikannya lagi. Aku memasang sarung tangan kali ini, karena aku tidak mau seceroboh dulu yang bisa saja aku dituduh jadi pelakunya nantinya.
Dari kemasannya sebenarnya sudah terlihat aneh. Sebuah stiker tulisan merk itu berlatar belakang foto bunga plum yang tertutupi oleh salju. Aku membuka balsem itu. Warnanya biru dan aroma yang tercium sangat tidak enak bagiku. Aku kemudian mengambilnya dan memasukkan ke dalam jubah.
“Bagaimana temuanmu?” tanyaku kepada Firdaus. Kami kembali ke tempat berdiri sebelumnya.
“Dari pohon itu, nampaknya agak tidak mungkin menembak dari sana. Seharusnya itu akan mengenai tubuh sebelah kiri Lia namun mustahil. Lihatlah, dia melukai tangan kanannya.” Aku melepas kecurigaanku sementara terhadap pohon itu.
Firdaus mengambil ponselnya. Aku heran melihatnya. Tidak ada nada dering yang terdengar. Dia membuka sesuatu.
“Oh, ternyata ada.”
“Apa?” tanyaku penasaran.
“Video liputan kejadian di Pasir Putih tiga bulan yang lalu.”
“Untuk apa?”
“Dibandingkan dengan ledakan yang barusan.”
Firdaus memutar video itu dan aku turut menonton. “Wah, kamera dari dekat, pas sekali,” ucapku. “Tapi kita simpan saja dahulu. Kita bandingkan dengan rekaman CCTV, karena sebenarnya aku menyadari sebuah perbedaan dan hanya tinggal dibuktikan.” Aku mulai paham rencana Firdaus.
“Bagaimana dengan buket bunga itu?” tanyaku mengingat dia yang melihatnya.
“Aku belum tahu nama-namanya tapi ada bunga merah kecil seukuran ini –Firdaus mengisyaratkan dengan telunjuk dan ibu jarinya–, ada yang sedang namun tidak dilepas dari batangnya, ada yang lebih besar dari itu tapi bukan mawar, dan ada bunga kuning berjumlah dua. Anehnya, hanya bunga merah berukuran sedang itu yang ada noda biru besar. Dan salah satu dari bunga kuning itu hanya terkena noda biru kecil.”
“Aku juga melihat sebuah plastik didalamnya. Entah apa isi sebenarnya tapi mungkin itu mengandung bahan kimia tertentu yang dapat meledak apabila ditembak oleh pelaku.”
“Jadi bukan bom?”
“Itu yang kusadari, tapi kita belum ada akses ke CCTV dimana kita akan menonton video yang kamu maksud agar dapat membuktikannya.”
“Oh ya, noda biru tadi. Apakah warnanya sama dengan ini?” Aku mengeluarkan balsem itu dari sakuku. Firdaus mengangguk pertanda bahwa itu benar namun itu membuatku berpikir.
“CCTV…. Kurasa aku tahu caranya.”
“Bagaimana?” Firdaus mulai bersemangat.
“Mari kita ke rumahku sebentar dan berharap agar masyarakat tidak bubar terlebih dahulu.”
“Kurasa mereka tidak akan bubar sementara.” Aku mendengar suara sirine. Akhirnya polisi datang juga, namun kami mulai berjalan menuju rumahku.
“Selamat datang di ruangan pribadiku. Ini pertama kalinya orang lain masuk ruangan ini.” Aku menyambut Firdaus dan langsung duduk di kursi itu. Aku malas melepas jubah dan topiku, lagipula hanya sebentar aku di sini.
“Tunggu, bukannya kamu dulu tidak memperbolehkanku?”
“Sekarang tidak lagi. Kamu saja memperbolehkanku masuk ke kamar. Seharusnya itu ruangan pribadimu. Sekarang anggaplah aku membalasnya. Lagipula, apa yang kusembunyikan di ruangan ini? Haha.”
Aku mengaktifkan komputerku. Sudah lama aku tidak menyentuhnya. Ayahku mengajari secara intens sampai aku bisa mengoperasikannya di usiaku yang sekarang. Sayangnya belum ada kursi lebih di ruangan ini sehingga Firdaus hanya berdiri.
“Tidak apa-apa. Tenang saja.” Jawaban dari Firdaus ketika aku meminta maaf atas ketiadaan kursi itu. Sementara itu aku mulai mengakses internet. Mencoba mencari sesuatu.
“Oh ya. Kamu penasaran orang tuaku? Lihatlah foto di belakangku.” Firdaus melihatnya, dia terdiam.
“Baiklah, sudah ketemu!”