arrow_back

Detektif Sekolahan

arrow_forward

Aku menyuruh Firdaus mendekatiku. Dia masih terdiam memandang foto di belakangku. Entah apa pikirannya saat itu.

“Ada apa?” tanyaku. Barulah dia kembali memandangku.

“Oh, tentu!” ucapnya. Dia mendekatiku, mengelilingi meja dan hanya berada di kananku.

“Hei, kalau itu sebuah situs web terbuka aku juga bisa membukanya.”

“Permisi sebentar.” Aku mengambil sebuah buku dari laci dekat Firdaus dan meletakkannya ke atas meja. “Coba akses situs web itu sekarang. Bisakah kamu menonton video yang terjadi berpuluh-puluh menit yang lalu?”

Firdaus keheranan. Dia mengambil ponselnya dan terlihat membuka situs yang sama. “Baiklah, kau menang. Yang hanya bisa kulihat sekarang adalah rekaman langsung. Polisi mulai membentangkan garis kuning itu.”

“Seharusnya apa yang kupelajari itu tidak pantas di usiaku sekarang. Banyak orang yang tidak percaya, tapi ayahku sudah mengajariku dari buku itu dan aku bisa melakukan hal seperti mengakses rekaman lama dari CCTV tertentu. Aku sebenarnya menyesal pernah membanggakan hal seperti ini.”

“Apa lagi yang perlu kucari?” tanya Firdaus seolah memotong pembicaraanku.

Aku mencoba mengingat sebentar kemudian merogoh sakuku setelah teringat akan balsem itu. “Cari semua tentang komposisi dari balsem ini. Tanyakan juga kepada Dila jika kita nanti kembali ke taman itu. Dimana dia membelinya?” Aku menyerahkan balsem itu kepada Firdaus. “Sementara aku fokus untuk mencari rekaman yang kita maksud.”

Firdaus menyambut balsem itu kemudian mengambil ponselnya. Kedua pencarian kami membuahkan hasil yang sangat bagus. Rekaman CCTV yang terdahulu berhasil kudapatkan sehingga membuat fokus kepada satu orang tersangka. Aku sempat membandingkan dengan rekaman yang ditemukan Firdaus sebelumnya dan nampaknya bahan yang digunakan berbeda.

Firdaus kemudian mengatakan bahwa balsem itu mengandung bahan kimia tertentu yang sangat reaktif terhadap bubuk mesiu. Dia kemudian berasumsi bahwa di dalam buket bunga itu dimasukkan komposisi balsem ini sebagai sesuatu yang menahan bunga agar tidak jatuh. “Itulah yang membuat noda biru tidak tersebar secara merata kepada bunga-bunga itu.”

Informasi yang diberikan Firdaus meskipun ada yang sebatas asumsi, semakin menguatkan dugaanku. Setelah mengetahui hal tersebut, kami mulai berjalan mengarah taman itu lagi untuk menyelesaikan urusan ini. Setibanya di sana, Firdaus benar-benar langsung menanyai Dila yang juga sedang diwawancarai oleh polisi di tempat.

Firdaus nampaknya selesai bertanya kemudian memberitahukan bahwa dia membeli balsem tersebut secara daring karena mengingat harganya yang lebih murah daripada yang lain.

“Halo!” Seseorang menepuk kedua bahuku dari belakang.

“Dimas? Bagaimana kau bisa ada di sini?”

“Aku menonton video pasangan narsis itu. Mereka merekam kejadian meledaknya buket bunga. Aku juga sempat melihat kalian yang tidak sengaja tertangkap video itu sehingga aku datang ke sini.”

“Aku di sini hanya menegaskan bahwa aku bisa saja menjadi jahat atau kamu mungkin memikirkan Zain yang melakukannya, tapi kami tidak akan melakukan dengan cara seperti itu. Aku yakin kamu sudah tahu bahwa aku orang yang membunuh wanita dengan ‘kejutan buket bunga’ itu. Kamu melihat persis aku saat itu dan aku melihatmu juga.” Pernyataannya ini sebenarnya mengejutkanku. Saat itu aku masih ingat dia seolah berubah menjadi kepribadian baru yang jahat, namun dia masih sadar atas hal tersebut.

“Apa alasanmu selalu menakutiku?”

“Ketahuilah, masih ada sisi baik dari diriku. Jika Zain tahu aku ada di sini, dia mungkin membunuhku. Aku tidak bermaksud menakutimu, malah aku membutuhkan bantuan kalian agar terbebas dari Zain. Buket bunga yang mereka gunakan itu bukan punyaku dan tidak ada hubungannya berpikir. Aku ingin kalian mempertahankan nama baikku.”

“Baiklah pekerja di kepolisian Kebun Melati.” Aku sebenarnya sarkastik saat mengucapkan ini.

“Kau tahu itu juga?” tanya Dimas.

“Ya, kurasa kamu yang menggunakan helikopter mereka untuk menjatuhkan Alif saat pergantian tahun di kota Pasir Putih.” Firdaus menyahut.

“Helikopter? Alif? Aku tidak paham maksud kalian.”

“Jangan berlagak tidak tahu! Aku tahu bahwa kamu sebagai orang yang dipekerjakan di kepolisian itu mendapat hak untuk menerbangkan helikopter itu!”

“Sumpah, aku tidak tahu sama sekali tentang helikopter itu. Yang aku lakukan hanya menyerahkan bom asap kepada Zain di sana kemudian pergi.” Pengakuan Dimas membenarkan asumsiku dulu.

“Kamu melakukan kejahatan, dan kenapa kamu tidak menyerahkan diri?”

“Aku masih perlu pekerjaan dan uang. Seandainya aku tidak dibayar oleh Zain, mana mungkin aku bekerja dengannya.”

Aku mulai berpikir ulang dan mendiskusikan hal ini kepada Firdaus, terutama keputusan untuk mempercayainya.

Dimas yang melihatku dan Firdaus yang berbicara kemudian berucap, “Baiklah, kurasa aku akan pergi. Kalian hati-hati. Aku sudah banyak menyerahkan barang-barangku kepada Zain dan aku bahkan tidak tahu apa yang akan dia kerjakan dengan itu.”

“Tunggu dulu! Aku yakin alasanmu datang ke sini bukan hanya karena hal itu. Apa lagi yang kamu ketahui tentang yang barusan terjadi?” Sebuah pertanyaan bagus dari Firdaus.

“Orang-orang yang terlibat di sini, mereka tergabung dalam organisasi kejahatan yang menamai diri mereka Winter Flowers, berasal dari metafora bahwa mereka adalah orang-orang yang bertahan di masa sulit mereka dan mekar sebagai sebuah bunga.”

“Melinda yang digelari Ume, Lia yang panggilan dari Kamelia, Daffa dan Dila sebagai narsis, Lily sebagai yang bertahan di atas air. Itu nama-nama bunga yang tumbuh di musim dingin. Mereka diberi gelar dan nama tersebut bukan tanpa sebab. Tidak ada yang tahu nama asli mereka.”

“Winter Flowers juga memiliki sebuah perusahaan medis, dimana mereka membuat obat-obatan yang sayangnya mereka campur dengan bahan kimia tertentu atau ada juga yang dilebihkan satu bahan.”

Firdaus mengeluarkan balsem itu kemudian mendekatkannya ke pandangan Dimas. “Ini mereka juga ‘kan yang buat?”

“Ya. Itu buatan mereka dan kurasa sekarang aku benar-benar harus pergi. Takut Zainada di sini.” Dimas kemudian memasang kepala hoodie-nya dan pergi menjauh.

Komentar