Aku terdiam sebentar, berpikir. Tim keamanan selesai membalutkan perban. Lily terlihat sedih sambil memegang wajahnya. Tiba-tiba, terbesit ide di pikiranku.
Aku mendekatinya. “Hai Lily!” sapaku bersimpuh dengan kedua lutut, menyamakan tinggi. Pandangan mereka beralih kepadaku.
Dia tidak menjawab. “Kamu tidak perlu bersedih.” Aku mengusap kepalanya.
“Firdaus, Minjam hpmu bentar.” Firdaus mendekatiku dan meminjamkan ponselnya.
“Kamu mau ikut?” Firdaus hanya menggelengkan kepala seraya tersenyum.
“Senyumlah.” Aku berswafoto dengan Lily. Hasil foto langsung bisa dilihat. “Lihat, betapa cantiknya kamu.” Polisi sempat menegur saat itu namun Firdaus membelaku sampai polisi itu terdiam.
“Jadi Lily, kenapa kamu nanya sama kakak dimana ibu?”
“Kakak ‘kan detektif?”
“Detektif?” Aku hanya tertawa kecil. Aku merasa dia menganggapku demikian karena pakaianku.
“Kakak bukan detektif, hanya seorang anak sekolahan. Mungkin suatu hari nanti, kamulah detektifnya.” Aku menyerahkan topi bundarku dan memasangkannya. Akhirnya, aku bisa melihat senyuman dari wajahnya.
“Lanjutkan ceritamu.”
“Jadi sebenarnya ibu mau me-membunuh orang.” Melinda sempat ingin memotong pembicaraan Lily namun dicegah Firdaus.
“Hei, sebuah pengakuan,” ucapku dengan sarkastik seraya memandang polisi. “Terus?”
“Ibu yang ngasih sesuatu ke dalam ini.” Lily mengambil buket bunga itu. Nampaknya dia tidak tahu namanya. “Dari warnanya, Lily tau itu yang diolesin saat Lily sakit yang malah nambahin.”
Lily kemudian merogoh saku kanannya yang terlihat cukup dalam. Sebuah pistol kecil dia keluarkan kemudian dia serahkan kepadaku namun langsung kuteruskan kepada polisi. Hal tersebut membenarkan informasi yang didapatkan oleh Firdaus.
“Sebenarnya aku gak mau ibu ngelakuin itu. Aku gak mau ibu terluka. Jadi, aku ngambil ini tapi telat.” Ceritanya membuatku terenyuh.
“Percayakah Anda kepada jawaban anak polos ini? Dia mungkin belum tahu cara berbohong,” ucapku kepada polisi namun dia hanya diam.
“Jadi, Ume. Apa yang membuatmu buta akan hal ini?” tanyaku kepada Melinda.
“Tanyakan saja kepada Daffa dan Dila. Seharusnya Lia mati gara-gara itu.”
“Kamu meminta jawabanku? Baiklah jika itu maumu!” ucap Daffa. Dia nampaknya sangat marah.
“Ume, Kamelia, Dila. Kalian sudah mengingkari janji dan sumpah kalian sejak pembentukan. Kita berjanji kita tidak akan muncul ke khalayak umum agar nama Winter Flowers tetap baik. Masyarakat akan berkata ‘Merekalah yang membangun taman ini’ kepada kita.”
“Seandainya bukan karena paksaan Dila. Aku pun tidak akan berada di sini. Peran dan gimik yang atasan berikan kepadaku sangat bertentangan dengan kepribadianku.”
“Atasan? Siapa?” tanyaku.
“Pak Bagus.”
“Daffa! Sudah cukup! Kamu berlebihan!”
Pada akhirnya, Melinda, Lia, Dafffa dan Dila ditahan karena tergabung dalam organisasi kejahatan. Lily seharusnya akan diasuh di panti yang ada di kota itu.
Aku membicarakan perkataan Dimas saat di taman tadi dengan Firdaus di ruang tamu sambil menyerahkan buku yang ingin dia pinjam. Aku menanyakan juga kenapa dia memandang foto orang tuaku dengan begitu seriusnya. Aku takut hal yang sama terjadi ketika dia di kantor kepala sekolah atau rumah maneken lilin itu, beruntungnya dia masih bisa disadarkan.
“Aku hanya seperti melihat sesuatu di balik foto keluargamu,” jawab Firdaus. Aku tertawa kecil karena tidak percaya. Tetapi di balik semua itu, ada sesuatu di pikiranku. “Siapa yang menjatuhkan Alif dari helikopter itu?”
Aku mencoba melupakannya sejenak kemudian menanyakan Firdaus tentang satu hal, “Siapa pak Bagus yang dimaksud Daffa?”
“Aku tidak tahu pak Bagus mana yang dimaksud, tapi … bukankah mantan kepala sekolah kita bernama Bagus juga?”