13 Maret - Setelah turun dari kereta karena kami tidak mau kembali ke Kota Dingin untuk menetap di sana. Selayaknya kota lain, aku hanya mengenalnya dari nama. Berjalan mengelilingi kota adalah satu-satunya cara untuk mengenalnya secara langsung.
Sebuah keunikan dari Kota Harapan adalah mereka memiliki kuil kuno dan masih ada masyarakat yang beribadah di sana. Aku bersama Firdaus mendatangi kuil itu untuk melihat lebih jauh.
Setibanya di sana, kami disambut oleh seorang pria tua. Panjaitan nama beliau, pengurus utama kuil ini yang memakai sistem keturunan. Beliau membawa kami berkeliling.
Di belakang kuil, terdapat sebuah sumur yang terlihat seperti di belakang sekolah kami dan altar tua. Di sana kami bertemu dengan Cahyo, anak Panjaitan. Dia menyapu daun yang berguguran dengan sapu lidi. Kami di sana sekadar menyapa, kemudian diajak masuk kuil.
Di dalam kuil, kami menemui Ayu, seorang wanita tua yang ternyata istri Panjaitan. Dia menyalakan dupa di depan patung kemudian berdoa. Mereka mengajak kami untuk melakukannya juga, namun aku menolak dan melarang Firdaus.
Kami berencana pergi, namun kuil ini kedatangan tamu dan ada rasa canggung untuk melakukannya. Sepasang suami istri, Purnomo dan Kirana beserta kedua anak mereka, Bayu dan Ani. Berdasarkan pembicaraan yang kudengar, mereka adalah warga asli Kota Harapan.
Bayu memakan sebuah apel dan Ani menampar tangannya. Apel itu terjatuh ke tanah dan Bayu nampak agak marah. “Ada apa?”
“Kan gak boleh.” Aku hanya menyeringai dan memandang Firdaus, berharap dia tidak percaya hal seperti ini.
Tidak lama kemudian, tamu lain datang, sepasang suami istri lainnya. Kami pernah melihat mereka, ketika di depan lorong menuju kereta bawah tanah dua pekan yang lalu. Mereka memperkenalkan diri kepada Panjaitan. Raden dan Maya.
Bersama mereka, terlihat beberapa teman mereka yang mengikuti. Dua orang laki-laki yakni Aditya dan Setyo, serta seorang perempuan bernama Risa. Kuil ini mulai ramai.
Aku dan Firdaus memutuskan untuk berpamitan sebentar untuk melihat sekitar kuil lebih lanjut. Panjaitan mengizinkan pada saat itu, dan kami keluar. Beberapa meter dari kuil, terdapat sebuah tangga menanjak.
Kebetulan aku melihat Cahyo. Aku memanggilnya dan bertanya, “Kemana ini?” seraya menengok ke puncak tangga.
“Lonceng,” jawabnya singkat.
“Boleh kami ke sana?” tanyaku lagi.
“Silahkan,” ucapnya sambil masuk ke dalam kuil. Dia terlihat kelelahan.
Firdaus memperingatkanku ketika kami di lantai dua MA Sukamawar, dimana kami bertemu dengan kepala sekolah. Aku menjawabnya, “Tidak, aku yakin ini akan berbeda.”
Kami menaiki tangga itu. Setibanya di atas, kami dapat membuktikan bahwa ucapan Cahyo benar. Di dekat lonceng itu, sudah ada seorang pria yang memperkenalkan dirinya sebagai Purnomo, kembaran Cahyo. Perbedaan yang bisa kulihat adalah Purnomo memakai jam tangan antik di sebelah kiri dan kacamata.
Dia memperhatikan jam tangan kemudian menarik batang pohon besar yang digunakan untuk membunyikan lonceng dan membiarkannya berayun. Dia melakukannya berulang. Aku memperhatikan jam tanganku juga, waktu menunjukkan jam sepuluh. Berdasarkan perhitungan kami, ada jeda selama tiga detik di antara pukulan. Dia kemudian izin turun setelah memberitahukan, “Aku giliran jam hitungan genap, Cahyo hitungan ganjil.”
Kami memutuskan untuk turun juga. Aku sempat terpeleset karena tangga ini sudah berlumut namun tidak sampai jatuh, apalagi Firdaus yang berada satu langkah di belakangku menahan. Aku teringat kejadian yang diceritakan Firdaus sebelumnya secara sekilas dan aku mencoba melupakannya.
Sesampainya kami di bawah, kuil ini kedatangan tamu lagi. Jumadi dan Atika, aku sempat mengira mereka adalah sepasang suami istri lainnya namun mereka menegaskan diri bahwa mereka hanya berpacaran dan berkunjung ke kuil ini.
Keunikan dari sambutan Panjaitan atau Ayu adalah mereka memperkenalkan diri terlebih dahulu kemudian tamu spontan menjawab dengan menyebut nama mereka. Namun dibalik itu, aku tidak tahu mengapa mereka harus memperkenalkan diri.
“Mungkin itu ajaran mereka,” ucap Firdaus ketika aku membicarakan hal tersebut.
“Lima ratus meter ke arah timur, kami menyediakan penginapan gratis. Di sana kami menjamin makanan kalian.”
“Kebetulan sekali,” ucapku. Aku kemudian memberitahukan bahwa kami akan menginap selama beberapa malam.
Kami kemudian berjalan ke penginapan. Dari sini kami dapat melihat lonceng di atas dan mungkin bisa mendengarnya juga. Dari lima kamar yang tersedia, kami memutuskan untuk memilih yang di tengah. Aku meletakkan tas kecil, melepas jubah dan topiku kemudian memilih keluar sebentar.
Tidak jauh dari penginapan ini, ada sungai yang mengalir. Di atasnya ada jembatan yang saat itu aku tidak tahu mengarah kemana. Tanpa izin pengurus kuil, aku memilih untuk tidak menyeberang dan melihat apa yang di sana.
Aku kemudian kembali ke penginapan dan menghabiskan waktu dengan berbicara kepada Firdaus.