Pintu kamar kami diketuk. Aku berdiri untuk membukanya. Rupanya itu Cahyo dengan membawakan senampan penuh buah-buahan, kecuali apel.
“Apakah saya boleh bertanya satu hal?”
“Boleh, silakan.”
“Ada apa dengan buah apel?”
“Legenda yang beredar di daerah ini adalah iblis merah akan muncul di waktu senja apabila ada seseorang yang menghabiskan apel merah.”
“Jadi, tidak boleh memakannya?”
“Kalau tidak sengaja, tidak apa-apa. Alangkah baiknya kalian memperingatkan kalau melihat seseorang di antara tamu kami yang memakan apel.”
Setelah berbicara sebentar dengan Cahyo, dia keluar dengan alasan ingin membunyikan lonceng. Aku kemudian bertanya lebih lanjut tentang membunyikan lonceng ketika malam hari. “Kami tidak membunyikan lonceng di malam hari karena itu memanggil si iblis merah.”
Dia pergi kemudian aku menutup pintu. Tidak lama kami mendengar suara “Aduh!” yang sepertinya dari arah tangga.
“Purnomo! Bukankah aku sudah menyuruhmu untuk membersihkannya?”
“Apakah dia memanggilku?” Suara pintu terbuka kudengar dari kamar di sebelah kananku.
“Apakah Anda memanggil saya?” Suara itu sekarang terdengar dari luar.
“Maaf, bukan Anda. Tapi dia.” Nampaknya orang itu masuk kembali ke kamarnya. Tak lama setelah itu, lonceng dibunyikan menandakan jam sebelas.
Aku tidak membuka pintu kamarku untuk melihat hal itu terjadi namun aku berpikiran bahwa Cahyo baru saja terpeleset di tangga kemudian memarahi Purnomo kembarannya. Purnomo ayah Ani mengira Cahyo memanggilnya sehingga keluar dari kamar untuk memastikan.
“Ada dua Purnomo di sini?” Aku baru menyadarinya.
Hal lain yang kusadari adalah, “Berarti di sebelah kanan kita Purnomo dan Kirana bersama anak mereka Bayu dan Ani.” Firdaus mengatakannya.
“Dua dari lima kamar sudah kita ketahui siapa penghuninya,” ucapku.
Jika penghitungan nomor kamar dimulai dari arah barat menuju timur, maka kami ketahui bahwa keluarga Purnomo berada di kamar nomor dua. Kamar kami berada di nomor tiga berdasarkan perhitungan tersebut yang kemudian menjadi patokan kami dalam menentukan nomor kamar.
Sekarang, Firdaus yang keluar kamar sebentar. Aku mengingatkannya untuk mengecek sinyal di ponselnya, namun dia berkata “Aku hanya akan ke sungai sebentar.”
Aku memilih untuk mengikutinya dan menyadari bahwa mereka menyediakan jamban tertutup entah itu sebagai toilet atau kamar mandi nantinya. Dia memasukinya, mungkin untuk sekadar buang air sementara aku menunggu di dekat kamar nomor lima, memerhatikannya dari kejauhan.
Dari kamar nomor lima ini terdengar perdebatan antar dua wanita. “Bukankah itu suara Risa dan Atika?” tanyaku pada diri sendiri. “Mengapa mereka sekamar?”
Firdaus kembali dari sungai kemudian bersama menuju kamar. Ketika sampai aku langsung menceritakan tentang kamar nomor lima itu. “Tiga dari lima sekarang,” ucap Firdaus.
“Bagaimana dengan Jumadi, pacar Atika?” tanya Firdaus.
“Aku juga mempertanyakan hal itu,” jawabku.
Kami kemudian memakan semangka dengan pisau yang telah disediakan di nampan. Belum sempat menghabiskan satu irisan, pintu kami diketuk dan Firdaus membukakannya seraya melepas potongan semangka dari tangannya.
“Bolehkah aku tinggal bersama kalian?” Ternyata itu Jumadi yang kami ingin mencarinya setelah menghabiskan semangka.
Aku menyuruh Jumadi untuk masuk dan mencoba semangka namun dia menolak. “Ada apa?” tanyaku.
Dia menjelaskan bahwa “Wanita tua itu melarang pria dan wanita yang belum menikah sekamar.” Aku berpikiran bahwa yang dimaksud Jumadi adalah Ayu, istri Panjaitan. Melalui ucapannya, kami mengetahui alasan yang mungkin kenapa Risa dan Atika sekamar.
Aku kemudian berdiskusi dengan Firdaus setelah meminta izin dari Jumadi. Pembicaraan kami berlangsung cukup lama dengan memikirkan beberapa hal. “Mohon maaf, kami tidak bisa,” ucap Firdaus.
Jumadi nampak kecewa, mengucapkan “Terima kasih,” dan keluar dari kamar kami dan menutupkan pintunya. Tak berselang lama, terdengar ketukan pintu namun berasal dari sebelah kiri kami. Sepertinya dibukakan oleh seseorang.
“Hei, ada teman baru! Silakan masuk!” Aku menyadari itu suara Aditya. Aku mendekat ke dinding yang membatasi kami untuk mendengar pembicaraan mereka. Aku hanya bisa mendengar samar-samar.
“Bolehkah aku tinggal bersama kalian?” Pertanyaan yang sama dilontarkan oleh Jumadi.
“Boleh kok.” Aku memandang Firdaus setelah mendengar perkataan tersebut. Aku melanjutkan mendengarkan pembicaraan mereka.
“Perkenalkan, namaku Aditya.”
“Namaku Setyo.”
“Kami ke sini bersama Raden dan istrinya Maya. Mungkin mereka ingin menghabiskan waktu pribadi sehingga Maya memarahi kami dan melarang untuk tinggal sekamar.” Melalui pernyataan tersebut, aku menyimpulkan bahwa kamar nomor empat diisi sebelumnya oleh teman Raden yakni Aditya dan Setyo, kemudian Jumadi bergabung dengan mereka.
Aku menjauh dari dinding karena merasa sudah cukup mendengarkan dan berniat untuk tidak melakukannya lagi. Aku kemudian bertanya, “Kenapa kita melarangnya untuk tinggal di kamar kita?”
“Bukankah kita sama-sama pernah merasa tidak aman? Apalagi dirimu yang pastinya, setelah teringat cerita saat di rumahmu itu.”
“Mereka mungkin ingin seru-seruan, tidak seperti kita yang ingin kedamaian,” lanjut Firdaus. Aku hanya tersenyum setelah mendengar ucapannya.
Berdasarkan informasi yang didapat hari ini, aku mulai mengetahui penghuni masing-masingkamar. Nomor satu adalah Raden dan Maya karena mereka suami istri. Nomor dua adalah keluarga Purnomo. Nomor tiga adalah aku dan Firdaus. Nomor empat adalah Aditya, Setyo, dan Jumadi. Nomor lima adalah Risa dan Atika.