arrow_back

Detektif Sekolahan

arrow_forward

Pintu kamar kami diketuk lagi. Firdaus membukakan karena belum sempat duduk. Rupanya itu Purnomo anak Panjaitan (cara kami membedakan karena ada dua orang bernama sama). Dia tidak berniat untuk masuk, hanya memberi kami sebuah lentera untuk penerangan malam nanti. Namun dia memberitahukan, “Saya akan kembali untuk mengantar makan siang.”

Kami menunggu dan beliau menepati ucapannya dengan membawakan besek berisikan nasi, seteko kecil air putih, dan beberapa cangkir.

Singkat cerita, siang itu kami makan dan sekarang waktu sudah sore menjelang malam. Ini adalah kedua kalinya tas sekolah berisikan baju untuk berganti, setelah di Pasir Putih.

Tiba-tiba, kami mendengar teriakan “Tolong!” dari seorang wanita. Aku menyadari itu suara Risa sehingga aku keluar dari kamar. Kamarnya terbakar, dan dia berlari ke arah sumur. Namun anehnya, dia tidak kembali.

“Firdaus, ambil topiku, gunakan untuk mengambil air di sungai.” Sebuah keberuntungan dimana dalam perjalananku kali ini aku menggunakan topi ember yang bisa digunakan untuk menampung air.

Firdaus melakukan suruhanku sementara aku menuju ke belakang kuil untuk mencari Risa yang tidak kembali. Aku sangat terkejut karena menemukannya terbaring di samping sumur. Kulihat ke sekitar, tidak ada tanda-tanda orang lain tapi ada satu dompet.

Aku mengamankannya terlebih dahulu kemudian berlari ke kamarku untuk mengambil sarung tangan dalam saku jubah. Firdaus dibantu oleh Setyo yang hanya menggunakan teko kecil menyiram kamar nomor lima itu.

Aku hanya memandang Firdaus dan memberi isyarat agar dia bersemangat.

“Dimana Atika?” tanya Jumadi dengan suara yang keras sehingga terdengar saat aku merogoh sakuku dengan cepat

“Benar juga,” gumamku. Namun saat itu aku mencoba fokus untuk mengurus Risa karena belum ada yang tahu.

Aku kembali ke belakang kuil, bersyukur karena tidak ada yang berubah. Aku memperhatikan kepalanya, luka terbentur sumur.

Bahu kirinya memar dan tangannya … terluka parah. Aku saat itu tidak mengetahui penyebab tangannya terluka.

Aku kemudian mengecek isi dompet yang kuamankan tadi. Di dalamnya berisikan uang sejumlah lima ratus ribu rupiah beserta satu KTP atas nama Purnomo ayah Ani. Aku menyimpannya dalam saku celanaku terlebih dahulu.

Aku berjalan menuju Firdaus yang sudah selesai memadamkan api. Terlihat Atika terduduk jauh di depan kamarnya, Kirana bersama Bayu dan Ani kemudian Maya sepertinya menenangkan Atika sementara Purnomo ayah Ani, Aditya dan Raden tidak terlihat.

Aku juga melihat bahwa kunci pintu kamar nomor lima rusak. “Terima kasih atas bantuannya,” ucap Firdaus kepada Setyo kemudian mendekatiku.

“Terima kasih juga,” ucap Atika dengan suara pelan.

Aku dan Firdaus kembali ke kamar untuk membicarakan beberapa hal. Terlihat Panjaitan dan anaknya Purnomo mendekat ke arah Atika.

“Ini topimu, basah tentunya.”

“Tidak apa-apa, masih bisa dikeringkan nanti.”

Aku kemudian membicarakan tentang penemuanku terhadap Risa agar Firdaus mengetahuinya dan dompet milik Purnomo ayah Ani itu. Kemudian aku memberikan kesempatan kepada Firdaus untuk bercerita.

“Sebelumnya kamar itu terkunci dan Atika masih berada di dalam. Aditya kemudian mendobraknya kemudian membawa Atika keluar dan pergi ke sungai.”

Aku kemudian membicarakan sebuah kejanggalan. “Kenapa Risa memilih sumur daripada sungai?” Karena pertanyaan ini, aku keluar mendekati Atika dan mendengarkan pembicaraan.

“Apa yang terjadi?” tanya Panjaitan ketika Atika sudah mulai tenang.

“Kami tidak bisa menyalakan lentera yang entah kenapa mati. Risa menyalakannya dan lentera itu meledak. Dia kemudian berlari ke luar dan pintu kamarku tertutup, terkunci seketika.”

“Apakah Risa kidal?” tanyaku memotong.

“Tidak, kuperhatikan dia selalu menggunakan tangan kanannya.”

Berbagai pertanyaan dilontarkan oleh orang-orang yang di dekat Atika. Purnomo ayah Ani berjalan dari arah kuil, Aditya berjalan dari arah sungai, dan Raden berjalan di atas jembatan menyeberang menuju kami.

“Berani juga Raden, entah apa yang dia cari di seberang.” Jembatan itu terlihat sangat berayun, bahkan hanya satu orang yang berjalan di atasnya.

“Dimana Risa?” tanya Maya. Ini menurutku pertama kalinya Maya memperhatikan keberadaan Risa yang nyatanya teman dari suaminya, Raden.

Aku memberi isyarat kepada Firdaus untuk kebolehanku menyampaikannya. Dia mengangguk. “Saya menemukannya di dekat sumur, dan sudah tidak bernyawa.”

Komentar