Raden dan Maya terlihat sangat terkejut. Aku kemudian menyuruh Firdaus untuk melihat lentera yang diberikan kepada Risa dan Atika dan menyelidiki apa yang membuatnya bisa meledak sementara aku bersama Raden, Maya, Panjaitan, Purnomo anak Panjaitan pergi ke belakang kuil.
Aku kemudian menyadari bahwa di atas altar tua terdapat sebuah kapak berlumur darah dan apel yang seandainya dimakan satu gigitan lagi akan habis. Aku beranggapan bahwa kapak tersebut adalah senjata pembunuhan.
“Iblis merah! Dia mu-muncul!” ucap Purnomo anak Panjaitan. Dia terlihat agak ketakutan melihat hal tersebut.
“Anda sebelumnya hanya membawaku ke sini bukan?” Pandangku ke arah Panjaitan. “Sekarang, apa sebenarnya altar ini?”
“Dulu altar ini kami gunakan untuk menyembelih rusa yang kami dapat dari berburu di seberang. Kepalanya kemudian kami persembahkan kepada arwah nenek moyang agar iblis merah tidak muncul.”
Aku hanya menggumam dalam hati. “Kepercayaan mereka ini terlalu kuat.” Namun berdasarkan apa yang Panjaitan ucapkan, aku mengetahui bahwa di seberang sungai mungkin hutan.
“Apa yang Anda lakukan di seberang tadi?” tanyaku kepada Raden.
“Tunggu, Anda ke seberang?” tanya Purnomo anak Panjaitan. “Anda seharusnya tidak melakukan itu! Astaga, ini akan semakin memburuk.”
“Maaf, saya tidak tahu kalau tidak boleh. Saya hanya iseng.”
“Iseng? Enyah–”
“Jangan, kamu terlalu kasar Purnomo,” ucap Panjaitan. “Bicarakan dengan Cahyo, dia di dalam kuil tadi. Seharusnya dia tahu bagaimana agar hal ini tidak terjadi dua kali.”
Purnomo anak Panjaitan yang terlihat masih kesal pergi mengeliling untuk menuju dalam kuil.
“Tidak apa-apa nak, semua orang pernah melakukan kesalahan.”
“Sekarang, apa yang akan kalian lakukan dengan mayat Risa ini?” tanyaku.
Raden memandang Maya. Maya memberi isyarat bahwa dia tidak tahu. “Bukankah dia temanmu? Kamu yang seharusnya lebih memerhatikannya.”
“Izinkan kami mengurusnya. Kami akan menguburkannya di seberang sesuai dengan kepercayaan kami, agar kutukan ini tidak menyebar ke orang lain.”
Raden berterima kasih kepada Panjaitan atas bantuan. Mereka kemudian pergi menuju kamar karena aku mengikuti. Hanya saja, aku singgah sebentar di depan kuil untuk melihat.
Di dalam kuil, Cahyo, Purnomo anak Panjaitan dan Ayu membicarakan masalah iblis merah. Aku hanya mendengar sekilas karena tidak ingin diam lama-lama.
Raden dan Maya terlihat berbicara kepada Aditya dan Setyo. “Bagaimana kalau kita pulang saja? Tempat ini menyeramkan,” ucap Maya.
Sementara itu keluarga Purnomo tidak terlihat lagi sehingga aku menanyakannya kepada Firdaus. “Mereka kembali ke kamar untuk menenangkan diri.”
“Jadi, bagaimana penyelidikanmu?” tanyaku sambil memandang Atika yang masih tersandar.
“Pertama, Atika berbohong namun Jumadi pacarnya sepertinya tidak mengetahui hal itu. Setelah aku paksa bicara setelah semua pergi, dia mengaku mengidap Kleine-Levin Syndrome dimana sindrom itu membuatnya tertidur lama. Sehingga sebenarnya dia tidak mengetahui apa yang terjadi kecuali berdasarkan penglihatannya sekilas.”
Firdaus kemudian mengajakku masuk ke kamar nomor lima itu untuk melihat keadaannya. “Aku tidak berani menyentuhnya, tapi aku yakin ada yang salah dengan lentera mereka.” Dia menunjuk ke lantai dan dinding sebelah timur yang sebelumnya terbakar.
Aku mendekati lentera itu. Bentuknya unik, ada semacam pompa kecil di bagian bawah lentera itu. Terlihat kaca yang melindungi sumbu itu pecah.
Aku mencoba memahami cara menyalakannya. Bagian atas lentera itu bisa dibuka. Tercium aroma minyak tanah yang terkena sarung tanganku. Aku beranggapan bahwa seharusnya lentera ini dinyalakan dari atas.
Ketika kupompa lentera itu, anehnya menyemburkan minyak tanah yang hampir saja mengenai wajahku dan tidak lama kemudian sumbu itu menyala. Aku dengan segera meniup api tersebut agar tidak membesar.
“Oke, Firdaus. Sepertinya aku sudah tahu.”
“Bagaimana?” tanya Firdaus.
“Menurutku Risa tidur di bagian sini, dan mungkin dia perlu penerangan. Nah, kita tidak diberitahu bagaimana cara menyalakannya. Mungkin anggapan pihak kuil adalah kita tahu karena lentera ini sudah lama ada dan beredar ‘kan?”
“Benar juga, sepertinya orang tua kita lebih tahu tentang lentera model ini.”
“Nah itu dia! Masalahnya, Risa ini sepertinya asal nyoba doang. Dia memasukkan minyak tanah dari atas yang sepertinya dia buang wadahnya kemudian. Padahal cukup dengan memompa, sumbu ini akan menyalakan api.”
“Berarti karena api membesar dan dia panik, lentera itu jatuh dari tangannya kemudian jatuh dan pecah,” sahut Firdaus.
Atika kemudian masuk ke kamarnya dan kami memutuskan untuk keluar agar tidak mengganggu. Terlihat Raden, Maya, Aditya dan Setyo benar-benar bersiap untuk pulang.
“Tunggu dulu!” ucap Cahyo. “Aku sudah mendengarkannya dari saudaraku Purnomo.”
“Kalian sudah mengundang iblis merah dan ingin pulang begitu saja?” Cahyo terlihat marah. “Kalian tidak boleh pulang sampai besok dimana kami akan menguburkan teman kalian itu.”
“Baiklah. Lagipula hari mulai gelap,malam akan segera tiba,” ucap Setyo.