arrow_back

Detektif Sekolahan

arrow_forward

Malam telah tiba. Suara jangkrik seolah menjadi penghibur. Aku dan Firdaus memutuskan untuk tidur tanpa menyalakan lentera. Kami berjanji satu sama lain hanya menyalakannya kalau ada kepentingan.

Aku baru saja tertidur dan tiba-tiba mendengar lonceng berbunyi. Malam yang sunyi membuatku bisa mendengar pembicaraan orang di kamar sebelah.

“Yah, itu tadi suara apa?” tanya Bayu.

“Iya yah, aku takut,” sahut Ani.

“Tenang anak-anak, tidur saja,” jawab Kirana.

Aku kemudian membangunkan Firdaus dan memberitahukan hal tersebut. Kemudian aku meminta izinnya untuk keluar sebentar dan memakai lentera itu.

Aku membuka pintu dan menutupnya dengan perlahan karena teringat pintu kamar nomor lima yang terkunci tiba-tiba saat ditinggalkan. “Semoga Firdaus tidak terkunci di dalam.”

Dengan lentera yang sudah menyala, aku berjalan ke arah lonceng itu. Menaiki tangganya dengan perlahan.

“Cahyo?” Aku mengira dia yang membunyikan lonceng. Nyatanya keadaannya sekarang sangat tidak enak untuk dilihat. Kepalanya hancur dan tidak berbentuk.

Aku menerangi lonceng itu. Penuh dengan darah. Demikian juga batang pohon besar yang menjadi palu itu.

“Apakah dia dibunuh dengan cara itu?” Kepalanya diletakkan menyandar dengan lonceng. Pelakunya mengayun batang pohon itu dan memukul kepalanya.

Tidak, aku tidak ingin membayangkannya. Aku memilih turun dan berjalan ke arah kuil dengan pelan. Ketika aku masuk, aku sangat terkejut karena melihat kepala Ayu yang terbaring terluka parah.

Aku menjauhkan lenteraku dan menyadari ada cahaya lain. Pintu belakang kuil itu terbuka dan aku melihat sebuah lentera terletak di atas altar tua, tepat di samping kapak berdarah itu namun apelnya sudah hilang.

“Tunggu, berarti–” Aku merasa dipukul dengan keras dari arah belakang dan membuatku kehilangan kesadaran.

Aku cukup khawatir karena Idris belum kembali ke kamar. Apalagi setelah aku mendengar langkah kaki yang berat dari arah jembatan dan aku mendengarnya berkali-kali. Masalahnya, di sini terlalu gelap dan lentera dibawa oleh Idris.

Aku mencari ponselku untuk menyalakan senter kemudian keluar kamar dengan pelan. Pertama aku melihat kamar sekitar dan nampaknya mereka tertidur kecuali keluarga Purnomo karena Idris menceritakan bahwa dia mendengar suara mereka.

“Ah, lonceng.” Idris mengatakan bahwa dia mendengar pembicaraan mereka setelah lonceng berbunyi.

Aku berjalan menaiki tangga dengan cepat. “Tunggu, bukankah Idris bercerita bahwa tangga ini licin? Cahyo bahkan terpeleset.” Aku kemudian sadar bahwa ada bagian tangga yang bisa digunakan dengan cepat.

Sesampainya di sana, aku hanya melihat sebuah apel yang remuk menempel pada lonceng namun warna merah itu bukan dari apel. “Aku yakin ada sesuatu yang terjadi di sini.”

Dari sini aku melihat dalam kuil bercahaya. Cahaya dari lentera yang dibawa oleh Idris. Aku menuruni tangga dan berjalan menuju kuil itu.

“Idris?” Aku melihatnya sendirian di dalam kuil itu namun dia terbaring. Di sekitarnya ada serpihan patung hancur yang sedikit menempel di punggung lehernya.

“Apakah dia dipukul memakai patung tua itu?” Aku menyadari patung itu juga tiada. Padahal pagi tadi aku masih ingat mereka menaruh dupa untuk berdoa.

Tangan Idris mulai bergerak perlahan. Dia mulai sadar dan memegang kepala bagian belakang. Dia melihat tangannya, putih karena bahan yang digunakan oleh patung itu.

“Kenapa kamu ada di sini?” tanya Idris.

“Kenapa kamu tidak kembali ke kamar dan malah tidur di sini?” tanyaku balik.

“Tidur? Kamu bercanda?” Idris kemudian melihat ke sekitar dan menanyakan dimana Ayu. Dia berkata bahwa tadi melihatnya terbaring.

Dia mengambil lenteranya dan melihat ke arah belakang kuil. Aku memilih mematikan senter dari ponselku. Mengetuk dindingnya kemudian secara mengejutkan membuka pintu geser. Kami menemukan Ayu, kepalanya di atas altar dengan kapak yang menempel.

“Kenapa pembunuhnya selalu mengincar kepala?” tanya Idris.

“Risa dengan kepalanya yang terbentur di sumur.” Idris baru saja ingin menunjuk sumur itu namun jasad Risa sudah tiada. “Lah, bukannya mereka bilang besok? Ah, lupakan saja.”

“Kemudian Cahyo di lonceng, kepalanya dipukul.”

“Tunggu, Cahyo di lonceng?” tanyaku memotong. Idris hanya menjawabnya dengan anggukan.

“Tapi tidak ada barusan.” Idris terkejut dengan perkataanku kemudian berucap “Kita akan mencarinya nanti.”

“Sebelumnya, aku menemukan Ayu di dalam kuil ini dengan kepalanya yang sudah terluka dan entah kapan jasadnya dipindahkan ke altar tua ini. Tapi aku cukup salut dengan pelakunya karena menyembunyikan luka itu dengan cara ini.” Idris menunjuk altar.

“Dan pada akhirnya, aku yang dipukul dari arah belakang diincar bagian kepala juga. Atau jangan-jangan, pelakunya adalah orang yang sama?” Kami kembali melalui jalan kuil dan menutup pintu belakang.

Kami mendengar langkah kaki di jembatan. “Ayo, Firdaus. Aku sudah yakin bahwa itu orangnya!” ucap Idris. Kami kemudian pergi dan berdiri di samping kamar kami.

“Usaha yang bagus!” Idris mengucapkannya dengan lantang. Dia kemudian membuat lenteranya lebih terang.

“Tunggu Panjaitan dan Purnomo anaknya?” tanyaku terkejut.

“Menurutku itu bukan Purnomo, Firdaus. Itu kembarannya, yang mengarang legenda demi melakukan berbagai pembunuhan.” Aku memandang Idris.

“Ya, itu kamu Cahyo.”

Komentar