“Bagaimana kamu tahu itu Cahyo?” tanya Firdaus.
“Selain kacamata dan jam tangan antik, menurutmu apa yang membedakan Cahyo dengan Purnomo?” tanyaku balik.
Firdaus terlihat berpikir. “Baiklah, aku tidak tahu.”
“Purnomo adalah seorang yang tidak banyak bicara, sedangkan Cahyo adalah orang yang setia menguatkan legenda,” ucapku tersenyum. “Aku akan menjelaskan untukmu.”
“Bicarakan dengan Cahyo, dia di dalam kuil tadi. Seharusnya dia tahu bagaimana agar hal ini tidak terjadi dua kali.” Aku memulai dengan mengutip perkataan dari Panjaitan. “Kamu harus mengingat kalimat tersebut, Firdaus. Itu adalah kuncinya.”
“Namun sebelumnya, meski aku sempat menanyakan tentang buah apel, nyatanya jawaban akan pertanyaan mengenai lonceng menjadi titik awal.”
“Menurutku dia sudah mempersiapkan akan apa yang dia lakukan malam ini. Dia bahkan menyebutkan bahwa tidak membunyikan lonceng di malam hari karena itu memanggil si iblis merah.”
“Mohon maaf sebelumnya Idris, karena aku memotong penjelasanmu. Berbicara tentang lonceng, menurutku kamu benar atas hal tersebut.” Firdaus memotong penjelasanku namun aku tidak marah karena dia nampaknya akan menjelaskan hal yang tidak kuketahui.
“Menurutku, siang tadi saat dia terpeleset di tangga, itu hanya menguatkan pencegahan kecurigaan mengarah kepadanya. Padahal saat aku menaikinya, aku sadar ada bagian dimana bersih.” Aku hanya menyambut penjelasannya dengan senyuman karena hal sesederhana ini menguatkan bahwa Cahyolah pelakunya.
Firdaus berterima kasih kepadaku karena telah mengizinkan dia memotong pembicaraanku kemudian menyuruhku untuk lanjut dengan menanyakan bagaimana Risa bisa terbunuh. “Menurutku yang memberi lentera adalah Cahyo sementara yang membawa makanan adalah Purnomo. Untuk itu, dia berhasil memerankan kembarannya.”
Raden dan Maya, Aditya dan Setyo keluar dari kamar mereka, mungkin setelah mendengar pertanyaan Firdaus. Aku tetap melanjutkan penjelasanku.
“Risa nampaknya tidak pernah menyentuh lentera sejenis ini.” Aku mengangkat lentera di tanganku. “Dia tidak tahu bagaimana cara menyalakannya sementara Atika hanya tidur dan tidak membantunya.”
Tak lama kemudian Jumadi keluar dari kamarnya. Mungkin dia masih ingin tidur namun cukup terganggu dengan pembicaraan kami yang tiba-tiba nyaring saat malam ini.
Aku kemudian menjelaskan bahwa dia berlari ke arah sumur karena kepanikannya akibat lentera yang apinya menyala secara besar sampai membakar kamarnya dan di sanalah tempat Risa dibunuh. “Cahyo sudah siap menunggu di belakang kuil akan orang-orang yang terkena jebakannya.”
Selanjutnya, kujelaskan bahwa kapak itu menjadi senjata utama meskipun ada beberapa hal lain yang digunakan untuk membunuh. Dia memanfaatkan suasana ricuh yakni pemadaman kamar yang terbakar dan penyelamatan Atika untuk kabur.
Pembahasan selanjutnya adalah pembunuhan Purnomo saudaranya dan Ayu ibunya. “Dia ingin memperkuat legenda yang dibuat-buat ini.”
“Kamu masih ingat kalimat itu, Firdaus?” Firdaus hanya mengangguk. “Cahyo adalah satu-satunya orang yang sangat mengetahui tentang legenda itu karena dialah yang membuatnya.”
“Tindakannya membunuh saudara di lonceng hanya untuk memancing seseorang pergi ke sana sehingga dia bisa membunuh ibunya.” Aku menjelaskan bahwa akulah orang yang terpancing untuk pergi ke lonceng dan dibiarkan menyaksikan kekejaman yang telah terjadi itu.
Namun yang menjadi masalah baginya adalah pergerakanku masih terlalu cepat sehingga aku melihat jasad ibunya yang dibunuh di kuil dan pintu belakang yang terbuka. “Lentera yang Anda tinggalkan di atas altar memperlihatkan dengan nyata.”
“Oh, berarti saat itu dia menghilangkan jasad Purnomo entah kemana kemudian menukarnya dengan apel yang diremukkan lebih awal ketika aku melihat ke sana,” ucap Firdaus kepadaku. Aku hanya mengangguk.
“Karena aku melihat hal tersebut, dia ingin membunuhku dengan memukul kepala bagian belakang menggunakan patung tua yang mereka ‘sembah’ biasanya.” Aku meyakini saat itu adalah waktu dimana dia memindahkan jasad ibunya ke altar.
“Kemudian apa tugas Panjaitan?” tanya Firdaus kepadaku.
“Dia hanya melindungi anaknya yang tersayang Cahyo.” Firdaus mengangguk mendengar jawabanku. “Kenapa kamu mengangguk seolah memahaminya? Dia bahkan tidak menginginkan Purnomo ada dan hari ini adalah waktu yang tepat baginya untuk menghilangkannya.”
Firdaus terdiam sejenak, kemudian bertanya kepada Cahyo, “Apa alasan Anda melakukan ini?”
“Kurasa aku tidak harus menjelaskan alasannya. Aku membiarkan kalian menebak-nebak. Oh ya, legenda itu tidak dibuat-buat. Iblis merah itu benar-benar ada.”
Cahyo kemudian mendorong ayahnya sampai terjatuh ke sungai. Ayahnya menghilang di tengah kegelapan malam. Dia kemudian melepas tali jembatan dan melambaikan tangannya.
Aku sempat kesal karena ini kedua kalinya seorang pelaku terlepas. “Tenanglah kalian,” ucap Raden. “Saat aku iseng menyeberang siang tadi, aku menyadari banyak binatang buas di hutan sana. Harimau dan beruang adalah yang pertama kulihat.”
Kami kemudian mendengar suara terkaman. “Nah, itu buktinya,” ucap Raden. “Alangkah baiknya kita tidur dulu, nampaknya ujung-ujungnya besok kita yang memakamkan Risa, Purnomo dan Ayu yang kalian sebut itu.”
Aku sontak teringat dan kembali ke belakang kuil. Kedua mayat itu sekarang sudah menghilang, tanpa bekas. Bahkan kapak itu seolah menjadi batu, bagian dari altar tua.