Ahad, 7 Juni – Liburan akhir semester genap mulai diadakan. Aku memanfaatkan kesempatan ini untuk jalan-jalan lebih leluasa, tidak terbatas meskipun faktanya hari ini merupakan akhir pekan sebagaimana waktu biasanya aku melakukannya.
Tujuan pertama yang kupilih adalah bangku taman MA Sukamawar, merasakan angin sepoi-sepoi selama duduk. Bedanya, sekarang aku hanya sendirian. Berpakaian kemeja biru bergaris putih, baju non-seragam sekolah pertama yang kugunakan saat jalan-jalan bersama Idris. Aku masih ingat, tujuan kami adalah Rumah Maneken Lilin yang sekarang sudah menjadi museum dan cukup sering kami kunjungi akhir-akhir ini.
Angin bertiup deras menerbangkan kelopak mawar. Salah satunya menempel di atas pahaku. “Layu.” Aku masih ingat Idris mengucapkannya sehingga tidak bisa menahan air mataku dari menetes.
“Apakah aku benar-benar pembawa sial seperti perkataan ibu?” tanyaku pada diri sendiri.
Aku memilih untuk pergi ke tempat lain. Entah kenapa, aku sangat ingin mengunjungi Winter Garden namun tidak sanggup melihat rumah Idris sehingga aku hanya sekadar lewat.
Bangku itu, yang menjadi tempat terakhir kami duduk bersama, aku duduk di sana. Tidak begitu lama, aku mendengar teriakan dari seorang gadis yang kami kenal. “Kak!” Suara itu berasal dari kejauhan namun terus mendekat.
“Lily?” tanyaku memandangnya yang ngos-ngosan setelah berlari. “Ada apa?”
Melihat Lily membuatku teringat sesuatu. Aku membuka ponselku dan fotonya bersama Idris masih ada di galeri. Senyuman kecil adalah satu-satunya hal yang bisa kuberikan ketika melihatnya.
“Mana teman kakak?” tanya Lily yang hanya membuatku bisa terdiam. “Aku pengen ngembaliin topinya, udah ketemu!” Aku baru sadar dia memegang topi bundar berwarna coklat itu.
“Bukannya dia udah ngasih ke kamu?” Aku memasukkan ponsel ke dalam saku. “Simpan aja.”
“Aku takut kalo hilang lagi. Lagipula dia kan selama ini detektif. Dia yang berhak memakai ini, bukan aku.” Lily dengan begitu polosnya mengucapkan hal itu sambil menyerahkannya padaku.
“Lily.” Aku menarik napas panjang sambil menyambut topi itu. “Sekali lagi, simpan aja. Kamu terlihat bagus banget pas make topi itu. Sama, ayo berharap bareng-bareng, agar bertemu dengannya lagi. Dia hanya pergi, meski agak mustahil dia kembali.” Aku memasangkan topi itu padanya dan memintanya untuk pulang.
Sore hari, aku memutuskan untuk naik Jembatan Kali Sukamawar. Perlu usaha yang banyak agar bisa sampai di puncak sehingga aku heran bagaimana Idris yang kurang enak badan saat 17 Agustus itu masih bisa melakukannya. Aku duduk berjuntai ketika sampai di sana, menyaksikan pemandangan dari titik tertinggi yang bisa diraih. Lapangan Sukamawar benar-benar bisa dilihat dari sini.
“Hei nak! Turunlah!” teriak seseorang dari bawah namun aku tidak menghiraukannya. Teriakan itu malah membuatku ingin berdiri.
“Andai Idris ada di sini, dia juga tidak akan membiarkanmu mati!” Ucapan itu membuatku terdiam sekaligus tersadar sehingga memilih untuk turun dari puncak jembatan itu perlahan.
Sesampainya di bawah, aku sangat terkejut atas identitas orang yang memanggilku. “Dimas?” Dia memakai jaket kulit hitam.
“Kamu masih hidup?” tanyaku tidak percaya. “Kamu menggunakan—”
“Aktingku hebat bukan?” tanya Dimas dengan lagak bercanda. Dia membuka resleting jaketnya dan menampilkan kemeja putih yang berlubang. Aku juga dapat melihat jahitan di dadanya. “Tapi itu asli. Aku mengalami operasi dan peluru yang dikeluarkan dari tubuhku masih kusimpan. Pakaian ini sekarang bersih hanya karena aku mencucinya namun aku membiarkan lubang ini tanpa menjahitnya.”
“Tuhan seolah menginginkan aku masih hidup dan ditugaskan untuk menyampaikan sesuatu kepadamu.” Dimas memandang langit dari jembatan. “Oh ya, namamu Firdaus ‘kan?” Aku hanya mengangguk.
“Aku ada yang ingin diceritakan tapi tidak di sini, jalanan mulai ramai sekarang. Ada saran?”
“Taman Sukamawar, dekat lapangan, seharusnya di sana juga ada bangku.” Aku memandang ke arah yang dimaksud. “Kami duduk di sana hanya sebentar, karena terganggu saat 17 Agustus itu.” Aku terdiam.
“Mari kita ke sana,” ajak Dimas dengan senyuman.
“Jadi, apa yang ingin kamu ceritakan?” Kami duduk bersebelahan dimana aku duduk di sebelah kiri.
“Mina, mohon maaf ya, kurasa wanita itu tidak tahu diri. Saat aku jatuh, aku—sudah memberitahumu bahwa aku masih hidup sehingga—masih mendengar pembicaraan dan sangat membenci ucapannya yang mengatakan bahwa kamu adalah pembawa sial.”
“Aku tegaskan bahwa hal itu sangat salah sehingga kamu tidak harus melakukan tindakan yang merugikan dirimu sendiri, Firdaus. Aku tahu kebenarannya dari Idris.” Aku terkejut atas hal itu.
“Itulah yang ingin kuceritakan. Semenjak aku ditahan setelah menjalani persidangan itu, Idris sering mengunjungiku di penjara. Aku yakin dia pasti sangat terkejut ketika mengetahui aku kabur.” Dimas memandang wajahku namun aku berpaling.
“Kami bahkan sempat berbagi cerita, dan apa yang diceritakannya? Dia menceritakan dirimu, Firdaus.” Aku hanya menolehnya sebentar.
“Dia berkata bahwa dia bangga memiliki teman sepertimu. Semenjak kalian berteman, dia tidak pernah lagi mengalami perundungan, dia sekarang bisa jalan-jalan kemanapun dia mau. Kemudian ada yang menyebutmu pembawa sial?” Dimas meninggikan suaranya “Semua itu hanya kebetulan, Firdaus. Aku juga mengalaminya sejak dipekerjakan oleh Kepolisian Kebun Melati. Yang terpenting adalah kamu mengetahui pelaku beserta kebenarannya.” Kami terdiam sejenak.
“Sekarang, Kepolisian Sukamawar mempekerjakanku di tempat mereka. Tapi kali ini, aku diawasi Provos dari Divisi Provam, jadi aku tidak bisa melakukan sebebas keinginan. Aku dilepaskan dari kasusku karena pacarku itu pernah melakukan tindak kejahatan yang bahkan tidak kuketahui dan terbukti sehingga menjadi buron mereka. Kepolisian seolah sangat bersyukur atas kepergiannya.”
“Tapi di luar daripada itu, aku masih ingat ucapan Idris.” Dimas memakai sarung tangan untuk mengambil setangkai mawar. “Aku tahu kok, kamu sebenarnya orang baik. Caramu aja yang belum tepat.” Dia kemudian mengambil sebilah pisau dari jaketnya dan menyingkirkan durinya.
“Dan sekarang aku melakukannya lagi. Mencuri mawar milik pemerintah, untuk diberikan kepada Idris dengan alasan ingin menyampaikan salam kepadanya karena aku belum pernah melihatnya sejak hari pembubaran itu.” Dimas sadar atas perbuatannya kemudian menyerahkan mawar itu juga berdiri dari tempat duduknya dan menepuk punggungku. “Serahkan itu kepada Idris dan sampaikan salam dari sang ilusionis. Ingat, aku hanya melakukan tindak kejahatan jika ada orang yang lebih dahulu melakukannya kepadaku dan Idris tidak sehingga bunga itu sudah kujamin keamanannya. Lihatlah aku sekarang, mulai kembali ke jalan yang lurus. Aku yakin ini ada hubungannya dengan Idris. Aura kebaikan yang dia bawa seolah memancar kepada diriku.”
“Oh ya, bagaimana dengan Zain? Aku belum pernah melihatnya juga.” Dimas berhenti padahal aku tahu dia benar-benar ingin pulang dan memandangku.
“Dia tewas pada acara perpisahan kemarin.”
Dimas terlihat tidak percaya. “Bagaimana kalau itu bukan dia?”
Kujawab dengan keyakinan bahwa itu benar-benar Zain, ditambah dia membuka penyamarannya setelah muncul di hadapan publik sampai kerangka atap panggung jatuh sehingga itu terakhir kalinya.
“Dia menggunakan trik dengan risiko tinggi itu.” Dia memalingkan wajah. “Aku sudah peringatkan agar tidak pernah melakukannya karena bisa ada korban yang jatuh.”
“Biasanya seorang pesulap tidak akan memberitahukan rahasia, tapi aku akan memberitahukannya kepadamu.” Dia sekarang bahkan tidak memandangku. “Dia dari awal acara bersembunyi dalam kerangka itu kemudian melempar bom asap yang pernah kuberikan kepadanya kemudian turun ke panggung baru ke halaman. Dia mungkin salah mengeksekusinya sehingga kerangka itu bergoyang dan jatuh ke arahnya.”
“Meskipun aku telah membunuh ayahnya, tapi aku berduka cita atas kepergiannya.” Dimas memandang arlojinya.
“Aku yakin, kita akan bertemu lagi jika kamu dan Idris masih menghadapi kasus. Duluan ya, Firdaus.” Dimas melambaikan tangan kepadaku. “Sampai jumpa.” Dia berlari untuk menaiki angkot yang lewat sebagaimana biasanya.
“Dia tidak akan berubah,” pikirku melihat kelakuan Dimas. “Tapi itu menandakan dia masih menjadi dirinya sendiri.” Aku memandang mawar itu dan berdiri.
Aku terus berjalan menyusuri trotoar di Sukamawar. Satu-satunya alasan untuk aku ke rumah Idris hanyalah menyerahkan mawar ini.
Sesampainya di depan rumah Idris, aku tidak bisa menahan air mataku menetes. “Aku tidak sanggup….” Aku memutuskan untuk menyelipkan bunga mawar itu dari bawah pintu,tanpa mengetuk dan segera pergi.