arrow_back

Detektif Sekolahan

arrow_forward

“Tapi selain itu, buat jaga-jaga.” Aku teringat jawabanku atas pertanyaan Idris. Pemadam kebakaran menjadi orang pertama yang kupanggil dan menjelaskan dengan cepat melalui telepon kemudian perawat satu-satunya yang kudapat nomor teleponnya.

Panitia mulai ricuh dan berdatangan untuk menyingkirkan kerangka itu. Tidak lama Barisan Pemadam Kebakaran datang dan turut membantu. Waktu terus berlalu sementara para undangan terlihat cemas dan ketakutan setelah melihat apa yang terjadi. Pada akhirnya kerangka itu berhasil disingkirkan sedikit demi sedikit.

Zain adalah orang pertama yang ditemukan dan aku langsung memeriksa keadaannya yang terluka parah. Lengannya kupegang dan detak jantungnya melambat. Aku memeriksa tubuhnya, hidung dan mendekatkan wajahku untuk mendengar napasnya. “Negatif,” ucapku karena dadanya sama sekali tidak turun naik juga tidak ada napas yang terasa dan terdengar dari wajahnya.

“Teruskan pencarian!” teriak pak Ibrahim, kepala pemadam kebakaran.

Pencarian terus dilanjutkan sampai kami menemukan Idris yang juga terluka parah, terutama di bagian kepala. Keduanya dibawa ke rumah sakit menggunakan ambulans yang berbeda, mengingat satu ambulans hanya muat satu orang.

Aku mencoba mendekat, menuju pintu ambulans namun dicegat seorang tenaga medis lainnya. “Biarkan saya ikut!” ucapku marah kepada mereka sampai pada akhirnya diperbolehkan.

Perawat yang kukenal itu berpindah tempat seolah mengizinkan ikut, sampai Irsyad memanggil, “Firdaus!” Beliau berlari dan agak ngos-ngosan saat dekat denganku. “Ada apa?”

Aku hanya terdiam sambil memandang Idris yang sedang terbaring di dalam ambulans itu. Kepalanya sudah diperban sementara untuk menahan darah terus keluar. Aku terus diam, bahkan ketika menaiki ambulans itu. “Ayah ikut,” ucap Irsyad seraya ikut.


Sesampainya di rumah sakit, wajah Idris semakin memucat. Perawat itu menegaskannya dengan mengatakan bahwa Idris kekurangan darah. Namun sebelum itu, dia harus melewati CT scan terlebih dahulu untuk memeriksa kemungkinan cedera.

“Kenapa tidak MRI saja?” tanya perawat itu.

“Aku yakin dia hanya menderita cedera kecil. Lagipula, hasil scan CT scan tepat berada di tengah antara rontgen dan MRI, dari segi waktu maupun biaya,” jawab sang dokter pria. Keputusan cepat diambil, sang perawat menerima usulan dokter itu.

Sang dokter pria mengantarnya namun perawat itu tetap tinggal di sini, menemani kami di ruang tunggu. Aku berinisiatif mengajukan tanganku. “Maukah Anda memeriksa golongan darah saya? Jika sama dengan Idris, maka saya lebih dari bersedia untuk mendonorkan darah kepadanya.”

“Bawakan saya sampel darah korban yang dibawa menuju ruang CT scan itu ke ruangan .” Perintah perawat kepada seorang tenaga medis yang kebetulan lewat. Dari sini, aku curiga bahwa beliau lebih dari sekadar perawat biasa, sikap beliau menunjukkan seorang dokter yang berpengalaman.

“Bapak tetap di sini, saya akan membawa anak Anda ke ruangan pendonoran darah.” Irsyad mengangguk.


Aku kembali menunggu di ruangan yang telah disediakan, menyaksikan Idris yang masih pucat dikembalikan ke ruang Instalasi Gawat Darurat. “Tiba-tiba, aku teringat Andri yang jauh lebih pucat dari itu. Bertahanlah, Idris!” gumamku duduk di sebelah ayahku.

“Ini hasil pemeriksaan golongan darah tadi.” Perawat itu menyodorkan dokumen dua lembar. Dia membawa kantong darah menuju ruang perawatan Idris.

“Golongan darah ayah apa?” tanyaku sambil membaca dokumen itu. “Jujur ya!” Aku menegaskan.

“Golongan darah ayah? O,” jawab Irsyad.

“Sama dengan ibu dan kakak dong?”

“Seharusnya ya.”

“Ayah, ibu dan kakak bergolongan darah O. Kenapa aku satu-satunya AB, sama dengan Idris?” Aku memandang wajah Irsyad yang terkejut atas ucapanku. “Aku sudah tahu kebenarannya di satu sisi, tapi belum sisi Anda.”

“Mina, ibu Idris mengatakan bahwa aku seharusnya mati setelah dibuang ke Kebun Melati. Apakah Anda akan mengakui bahwa saya hanyalah adopsi?” Bapak Irsyad hanya terdiam.

“Atau saya membantu membuktikannya,” ucap perawat yang tanpa kusadari berada di sampingku. Fokusku kembali terarahkan pada membaca dokumen itu dan menyadari nama dari orang yang menanda tanganinya.

“Dokter Ika?” tanyaku memandang perawat itu. “Orang yang bertanggung jawab atas autopsi Andri dan Tania!”

“Juga kelahiran kalian, yang menjadi kasus kelahiran pertama dan satu-satunya yang saya tangani sebelum ditugaskan untuk autopsi dan sekarang perawat dari ambulans. Satu-satunya keterkaitan semua tugas saya adalah ruangan Instalasi Gawat Darurat.”

Aku kagum sekaligus bingung. “Ya, aku juga kurang paham alasan direktur rumah sakit mengganti tempat tugas saya. Tapi untungnya, pengalaman jadi tambah banyak.”

“Maukah Anda menceritakan kelahiran itu?” Dokter yang mengurus CT scan mendekati Dokter Ika sambil menyerahkan dokumen hasil pemeriksaan.

Beliau membaca sebentar. “Astaga, ini berbahaya!”

“Ada apa?” tanyaku gugup.

“Nampaknya bagian belakang dari kepalanya pernah mengalami retak sebelumnya. Sekarang retakan itu membesar dan memungkinkan pecahnya pembuluh darah sehingga mengganggu ingatannya.”

Aku terdiam sebentar mencoba mengingat. “Kuil Iblis Merah!” seruku. “Aku menemukannya tergeletak di dalamnya. Serpihan patung tua yang dipukulkan masih tersisa di bagian belakang kepalanya sampai dia sendiri terbangun dan membersihkannya.”

“Pantas saja. Ingatannya setahuku lebih kuat dariku. Tapi bagaimana dia bisa lupa wajah Andri padahal dia sudah dua kali melihatnya. Di buku alumni itu dan foto di rumahku.” Aku menunduk. “Aku melihat dia berusaha keras untuk mengingat hari pembubaran Winter Flowers itu sampai memegang bagian belakang kepalanya.”

“Teruslah berusaha agar dia tetap hidup, Dokter. Aku sudah banyak kehilangan orang tersayang, aku tidak mau dia menjadi bagian dari mereka.” Aku memandang mata dokter, tanda sangat menaruh kepercayaan sekaligus harapan kepada beliau.

“Foto keluarga itu upaya agar aku percaya bahwa aku bagian dari keluarga ‘kan, Yah?” Aku memandang Irsyad.

“Kamis, 3 April. Ruang Instalasi Gawat Darurat diisi oleh seorang wanita bernama Mina Hamidah dengan suaminya, Abdul Hamid. Dia melahirkan sepasang putra kembar dan aku masih ingat, yang pertama keluar dinamai sang suami Muhammad Idris dan yang kedua Ahmad Firdaus.” Dokter Ika bercerita. “Kamu Ahmad Firdaus bukan? Matamu yang indah, begitu pula Idris masih kuingat.”

“Aku pergi dulu untuk mencari cara menyelamatkan kakak kandungmu itu.” Dokter Ika kemudian pergi memasuki ruang IGD.

“Jadi, apakah ayah akan mengakuinya? Tidak, bapak Irsyad?”

“Baiklah, huft.” Irsyad menunduk. “Suatu hari, aku, Tania dan Andri mengadakan piknik keluarga di Kebun Melati. Sampai kami mendengar tangisan dan menemukan sebuah kardus yang ternyata berisi dirimu, kurasa kamu masih berusia setahun saat itu. Andri yang memiliki usulan untuk mengadopsimu.”

“Kenapa kalian mau mengadopsi pembawa sial sepertiku?” tanyaku mulai berlinang air mata. “Lihat bagaimana keadaan orang-orang di dekatku! Ibuku sendiri membuangku!” Aku menutup wajahku.

“Anda juga ‘kan, yang nyebarin kutipan novel Ibu Tania?” tanyaku mengusap air mata. “Tentang Winter Flowers itu?”

“Ya, ada apa memangnya? Istriku sudah mengizinkannya.”

“Kutipan itu hanya melahirkan sebuah organisasi yang melakukan berbagai kejahatan dan berlindung di belakang alasan bahwa mereka telah melalui kesusahan padahal mereka hanya menginginkan kekuasaan.”

“Terima kasih telah merawatku sampai saat ini. Namun dari sekarang, karena aku sudah tahu kebenarannya, aku tidak bisa lagi selamanya bersama—ayah.” Aku memberikan senyuman kemudian pergi masuk ke ruangan IGD dan duduk di sebelah Idris yang masih kritis.

Suara Mahmud terdengar dari luar ruangan. “Anda ayahnya Firdaus ‘kan? Saya mau menyerahkan—”

“Serahkan saja dengan orangnya langsung. Dia di dalam sana,” sahut Irsyad memotong.

Mahmud kemudian memasuki ruangan, dan berlutut menyamakan tinggi di sampingku. “Maaf bapak gagal lagi. Seandainya bapak tidak terburu-buru turun dari panggung, mungkin hal itu tidak terjadi. Biaya perawatan bapak yang nanggung.” Aku memandang beliau karena terkejut.

“Tidak apa-apa, saya tahu bapak sebenarnya sangat sibuk mengampu dua tugas sekaligus.” Mahmud hanya tersenyum.

“Oh ya, bapak mau ngasih ini,” beliau menyerahkan semacam paket yang terbungkus kertas amplop coklat.

“Apa isinya? Boleh kubuka?” Mahmud hanya mengangguk. Ketika dibuka, kudapatkan dua buah piagam. “Selamat untuk kalian. Sama-sama peringkat pertama lagi.” Aku tidak bisa menahan rasa haruku.

“Bapak pergi dulu, ada urusan lain yang harus diselesaikan.” Beliau mengusap kepalaku kemudian mengangguk tanda pernyataan permisi kepada Dokter Ika. Aku melihat beliau mengangguk juga kepada ayahku dari pintu yang terbuka.

Aku memandang Firdaus. “Idris….” Elektrokardiogram mulai mengeluarkan suara aneh.

“Denyut jantungnya melambat! Risiko berhenti sangat tinggi! Siapkan defibrilator sementara aku membuka pakaiannya,” perintah Dokter Ika.

“Bertahanlah.”

Komentar