arrow_back

Detektif Sekolahan

arrow_forward

Sabtu, 6 Juni – Ujian kenaikan kelas telah diadakan dari Senin, 26 Mei sampai Rabu, 3 Juni. Hanya saja hasilnya disampaikan hari ini, bertepatan dengan perpisahan kelas XII yang akan diadakan di MA Sukamawar. Halaman sekolah yang cukup luas menjadi tempat diadakan acara tersebut.

Kursi-kursi telah disusun dan kami diperintahkan untuk duduk sesuai dengan kelas dan jurusan sehingga aku dan Firdaus pasti terpisah tempat duduk sehingga kami memilih untuk duduk di bangku taman MA Sukamawar sebelum acara dimulai.

“Kenapa harus bawa orang tua sih, untuk menerima raport? Baru semester ini lo, biasanya kan tidak.” Aku sangat kesal dengan keputusan Mahmud, sang kepala sekolah baru.

“Ya, aku tahu. Sebentar lagi ayahku—bukan, Irsyad akan datang. Karena hal itu sudah diumumkan sebelumnya, maka aku memintanya untuk mewakili kita.”

“Sudah kamu tanyakan hal itu? Apalagi setelah kebenaran yang kita dapat 17 Mei lalu.”

“Nanti aku menanyakannya di sini, agar kamu juga bisa mendengarnya.”

“Bukankah itu tidak sopan? Mengapa tidak langsung ke rumah saja.”

“Kan belum datang.” Aku hanya terdiam.

“Ngomongin kebenaran, jadi aku mau cerita nih, Idris. Pagi tadi, sebelum ke sini, aku sempat mengubrak-abrik kamar ayahku—tapi tenang, dirapikan kok—dan ketemu dokumen hasil autopsi kakak Andri dan ibu Tania yang selama ini disembunyikan dan kita lebih dulu mengetahuinya. Tania yang hanya terluka ringan namun Andrilah yang terluka parah. Dia benar-benar kehabisan darah setelah sekian lama berada di ruangan itu,” Firdaus memandang ke belakang, “Mungkin karena tertusuk paku itu.” Aku tidak mau membayangkannya.

“Dokter yang melakukan autopsi bernama Ika. Aku rasa dokter itu sebenarnya mengenal kita namun kita tidak. Semoga bisa bertemu.”

“Oh ya, aku juga nemuin novel bikinan ibuku. Judulnya The Beautiful Flowers. Salah satu babnya adalah Winter Flowers.” Dia menunjukkan foto sampul buku itu dan isi yang dimaksud. “Metafora itu selama ini dari novel itu. Aku curiga Irsyad ini menyebarkan cuplikan dari bab tersebut dan melahirkan organisasi kejahatan itu.”

“Kamu bawa ponsel?”

“Ya, niatku untuk mengabadikan momen nanti sih. Tapi selain itu, buat jaga-jaga.”

“Perhatian kepada seluruh siswa dan tamu undangan, kami minta untuk duduk di tempatnya masing-masing karena acara sebentar lagi akan dimulai.” Pemberitahuan dari pembawa acara itu membuat kami sepakat untuk pergi.

Tempat duduk yang tidak harus sesuai absen, kelas X Agama dan Bahasa yang bersebelahan menjadi kesempatan yang kami manfaatkan untuk duduk bersebelahan dan membicarakan beberapa hal.

Pembawa acara kemudian menjelaskan susunan acara dan aku kebingungan sekaligus terkejut ketika sambutan ketua OSIS menjadi salah satu acara. “Tunggu, jika Mustafa sang ketua OSIS telah tewas, berarti….”

“Zain!” Firdaus memandangku. “Dengan tewasnya Mustafa, secara tidak langsung dia naik pangkat dari wakil menjadi ketua OSIS.”

“Tapi dia seharusnya tidak mungkin datang, mengingat tanggal 17 Mei itu dia sudah ditahan oleh Kepolisian Sukamawar?” Aku berusaha mengingat dengan keras sambil memegang bagian kepalaku.

“Ya, kecuali dia menggunakan trik yang sama dengan Dimas bebas dari penjara, jika dia benar-benar memberi hampir seluruh triknya.”

“Acara kedua, sambutan-sambutan. Sambutan yang pertama, kami mintakan kepada Yang Terhormat, Kepala Madrasah Aliyah Sukamawar sekaligus Wali Kota Sukamawar. Kepada Bapak Mahmud, kami persilakan.”

Mahmud kemudian menaiki panggung. Isi sambutannya secara garis besar hanya ucapan permintaan maaf sebagai kepala sekolah dan wali kota yang telah gagal menyelamatkan sesuatu yang dalam kepemimpinannya. Dia menyebut semua tragedi yang terjadi di Sukamawar dan khusunya sekolah ini dan menyalahkan diri atas beberapa kejadian seperti 17 Agustus.

“Saya akhiri dengan sebuah ungkapan terkenal. Setiap ada pertemuan pasti ada perpisahan. Kita tidak bisa menolaknya karena itu sudah menjadi takdir Tuhan.” Beliau langsung turun dari panggung setelahnya.

“Ada yang aneh dengan beliau,” gumamku.

“Sambutan kedua, kami mintakan kepada Ketua OSIS MA Sukamawar. Kepada—”

Sebuah ledakan mengejutkan kami. Perhatian kami teralihkan ke sumber suara itu. Asap muncul dari depan panggung dan begitu pekat.

“Tiba-tiba aku teringat kejadian malam tahun baru,” ucap Firdaus yang terdengar sayup-sayup di telingaku. “Ya kan, Idris?”

Aku terdiam sebentar sampai akhirnya menyahut, “Ya!” namun pandanganku tetap fokus terhadap tempat kejadian itu.

Asap itu mulai berkurang sementara terdengar batuk dari tamu-tamu yang menghadiri acara ini. Dari kepulan asap itu, muncul seseorang yang membuka penyamarannya secara perlahan.

“Zain!” Untuk kedua kalinya, Firdaus mengucapkan nama itu lebih dulu dariku.

“Muhammad Idris!” teriak Zain meskipun dia mengenakan mikrofon tempel. “Aku tahu kamu ada di sana!” Dia menunjuk ke arah kami. “Majulah ke mari dan selesaikan urusan kita selama ini!”

“Jangan Idris!” cegah Firdaus dengan tangan. Namun aku tetap memutuskan untuk berdiri sehingga Firdaus juga.

“Hanya kamu kali ini. Jangan bawa temanmu itu!”

“Kamu mendengarnya, Firdaus. Singkirkan tanganmu itu.” Ucapanku nampaknya cukup kasar sehingga membuat Firdaus menunduk.

Aku sebenarnya merasa sangat tidak nyaman karena sudah berniat untuk jarang muncul ke publik lagi, namun aku memilih untuk menjawab panggilannya dan pergi mendekatinya. Tepat di saat aku mendekat dengannya, kerangka atap panggung itu bergoyang dan mulai bergerak ke arah kami. Aku dan Zain melihat ke arah itu.

“Ini tidak sesuai rencanaku,” ucap Zain.

“Apa maksudnya tidak sesuai rencana?” tanyaku kebingungan.

Kerangka atap panggung mulai jatuh dan pada akhirnya menimpa Zain dan–


“Idris!” teriakku berlari menuju tempat kejadian perkara.

Komentar