Sabtu, 16 Mei – Masyarakat mendapatkan pesan massal dari nomor tidak dikenal yang aku dan Firdaus duga Winter Flowers pengirimnya. Mereka mengundang semuanya untuk menghadiri acara pembubaran pada besok hari.
“Kami akan menampilkan pertunjukan terakhir!” Kalimat itu menjadi fokus utama kami untuk memaknainya.
Karena berkaitan dengan pertunjukan, hanya satu orang yang kami tahu, yang bisa menjelaskan semua ini. Dimas, sang ilusionis yang seharusnya sekarang berada di penjara.
“Hah? Gak ada?” tanyaku terkejut.
“Kami sudah memeriksa penjara tempat kami menahan Dimas, namun dia tidak ada di sana.” Aku menahan kekesalanku.
“Bagaimana?” tanya Firdaus yang menunggu di luar Markas Kepolisian Kebun Melati.
“Kita harus mencarinya di tempat lain.”
“Ke mana?”
“Di sini kamu rupanya,” ucapku berdiri di depan pintu warung kopi yang berada tiga blok dari Jembatan Kali Sukamawar, tempat yang pernah dipakai untuk lomba bungee jumping saat 17 Agustus.
“Bagaimana kalian bisa menemukanku?” tanya Dimas yang sedang bermain domino. Permainan di warung kopi ini nampaknya sangat unik, biasanya pemain sekadar menaruh kartu di atas meja namun mereka membantingnya.
“Bagaimana kamu yang bisa ada di sini?” tanya Firdaus.
“Kan aku cuma bilang kalau nyerahin diri ke polisi. Siapa bilang aku netep di penjara?” Dimas bahkan menjawab tanpa memandang kami. Kami hanya diam sampai dia membanting kartu terakhir di tangannya. “Aku menang. Permisi dulu.”
Kami pindah ke luar warung kopi untuk berbicara. “Ada apa memangnya?”
“Kamu udah dapat pesan itu?” tanya Firdaus.
“Oh. Winter Flowers. Pertunjukan. Aku akan ada di sana, menyaksikan untuk ke sekian kalinya trikku dipakai tanpa dibayar sepeser pun.”
“Apa yang akan dilakukan mereka?”
“Kamu masih ingat kejadian saat pembukaan taman itu?” tanya Dimas. “Mereka akan melakukannya sekali lagi. Kalian sudah tahu seberapa menyakitkannya balsem itu karena sudah dicampur sampai menjadi biru.”
“Betapa banyak trik ciptaanku dipakai mereka? Mengabdi kepada Kepolisian hanya karena intuisi? Itu keputusan yang salah besar dariku.” Dimas terlihat sangat marah. “Aku kabur dari penjara, untuk menunjukkan kebobrokan mereka. Seandainya kasusku membunuh wanita jalang itu diurus Kepolisian Sukamawar, aku tidak akan berjalan sebebas ini.”
“Kamu ini sebenarnya baik apa jahat sih?” tanya Firdaus. “Idris mengatakanmu berganti kepribadian saat melihat kamu melakukan tindakan itu?”
“Ayolah! Siapa yang tidak marah? Setelah melakukan penyelidikan dan terbukti bahwa dia berselingkuh sampai melakukan tindakan yang bahkan tidak mungkin kulakukan, kemudian ketika ditanya dia berbohong dan ketahuan?”
“Tapi membunuhnya bukan satu-satunya jalan!”
“Kebohongan yang dia lakukan sudah menutup mataku. Buket bunga itu menjadi berdarah, hanya karena aku. Meskipun demikian, aku tetap menziarahi makamnya dan menaburkan bunga setiap bulannya.” Dimas menunduk. “Sampai jumpa besok.” Dia berlari melalui kami dan menaiki angkot yang sedang lewat.
Ahad, 17 Mei – Setengah jam sebelum pukul delapan tepat di pagi ini, aku dan Firdaus sudah berada di Winter Garden, namun ternyata para anggota Kepolisian Sukamawar datang lebih dulu dari kami.
Kompol Bramasta mendekati kami. “Sekarang, bagaimana skenario terburuk?”
“Terjadi ledakan bahan kimia yang membakar kulit.”
“Di mana posisi kalian nanti?” Aku memandang Firdaus.
“Di sini saja,” ucap Firdaus. Pandanganku beralih kembali kepada Kompol Bramasta.
“Kamu!” perintah Kompol Bramasta. “Jagain mereka, aku akan berjaga di belakang panggung.”
“Jangan sampai ada tembak menembak!” ucapku tiba-tiba dengan suara yang cukup keras.
“Kalian dengar itu? Tunaikan tugas ini dengan baik.”
“Halo,” sapa petugas itu. “Saya Ajun Inspektur Polisi Satu Rai, ditugaskan untuk menjaga kalian.”
Waktu menunjukkan jam delapan tepat. Berdiri berbaris di atas panggung, Bagus yang di depan Zain dan seorang wanita yang sangat kukenal.
“Firdaus, dia ada di sini. Ada kemungkinan dia tidak mengetahui kamu ada di sini, bagaimana menurutmu?”
“Aku akan tetap berada di sisimu sampai dia menanggapi kehadiranku. Dari sana, kita akan mendapat kebenaran yang selama ini dicari.”
Suara dari mikrofon yang berdengung mengalihkan perhatian kami. Suara deham seolah menjadi pembuka pembicaraan Bagus di hadapan masyarakat yang menyaksikan. Dengan bangganya, dia mengenakan pakaian dinas wali kota, membanggakan kekuasaan yang dimiliki.
“Kami adalah Winter Flowers, orang-orang terpilih yang telah melalui kesulitan selama hidupnya. Melalui pabrik kefarmasian, kami menyediakan obat dalam berbagai bentuk yang telah kami racik di pabrik sendiri. Melalui panti asuhan, kami membuat semua anak merasakannya dan membiarkan orang lain menikmatinya. Melalui hukum, kami mendirikan dinding dan menciptakan doktrin kebencian meskipun hanya antar dua kota. Melalui kekuasaan, telah kami bunuh orang-orang yang menghalangi kami.”
“Lihat, Firdaus. Mereka mengakui kejahatan yang dilakukan. Apalagi yang ditunggu?” tanyaku menoleh sedikit ke belakang. “Sitalopram, Simetidine, dan balsem hanya permukaan dari yang mereka kerjaan. Panti asuhan, pantas saja Lily tidak mau ikut dan menetap di tempatnya. Dinding itu sekarang dihancurkan begitu pula doktrinnya. Mustafa adalah salah satu contoh orang yang dibunuh setelah menghalangi mereka.”
“Belum semuanya,” jawab Firdaus.
“Kami telah menyelamatkan banyak orang melalui proyek restoran yang kami bangun di kota kebanggaan kita semua. Kami juga telah membantu calon-calon Winter Flower selanjutnya melalui permainan daring yang membuat kemajuan bagi seluruh kota namun karena tujuan kami gagal, maka saatnya membubarkan diri.”
“Itu tragedi pada restoran di Kebun Melati yang pernah kita kunjungi, bahkan meracuni peminum es teh dengan menaruh racun pada es dan membiarkannya meleleh. Juga, menamai permainan daring mereka dengan Progres yang berarti kemajuan namun nyatanya dalam segi kejahatan.” Firdaus memaparkannya kepadaku.
“Meskipun kami membubarkan diri, bukan berarti orang-orang seperti kami akan berhenti. Winter Flowers akan terus tumbuh, tidak akan layu!” Bagus begitu menegaskan kalimat tersebut. “Sebelum acara ini ditutup, Kami membuka sesi tanggap—”
Dor! Tembakan itu membuat Bagus roboh ke arah belakang.
“Kompol Bramasta melapor kepada AIPTU Rai, 8-7 saudara Idris dan Firdaus bahwa bukan saya yang melakukan tembakan, ganti.”
“Siap, 8-6!” sahut Rai. “Kalian mendengarnya?” tanya Rai kepada kami.
“Jika bukan beliau, siapa lagi?”
“Dimas!” teriak Zain. Aku sontak memandang ke belakang.
Untuk pertama kalinya, aku melihatnya memakai kemeja putih lengan panjang dengan kalung polisi menggantung di lehernya.
“Itu untuk tagihanmu yang tidak pernah dibayar.”
Zain terlihat marah dan membalas dengan tembakan juga. Dimas roboh setelahnya.
“Lapor! Satu petugas gugur,” ucap AIPTU Rai melalui Handy Talky-nya. Beberapa anggota polisi kemudian menjauhkan tubuh Dimas dari TKP.
“Pistol mereka sepertinya berasal dari sumber yang sama.” Ucapanku membandingkan kedua pistol itu yang kemudian disahut Firdaus. “Kepolisian Kebun Melati.”
Kompol Bramasta akhirnya muncul ke hadapan publik dan menjauhkan pistol dari tangan Zain dan memborgolnya. Zain sangat memberontak namun Kompol Bramasta lebih kuat sehingga dia berhenti melawan.
Di tengah kekacauan, seorang wanita mendekati kami. “Mina!” teriak Zain yang mulai dijauhkan dari tempat kejadian perkara.
Satuan Intelijen dan Keamanan serentak menodongkan senjata ketika ibu mendekatiku.
“Ingat permintaanku tadi!” teriakku. Senjata mereka kemudian diturunkan.
Pandangan ibu mengarah kepada Firdaus. “Bagaimana kamu masih bisa hidup?”
Firdaus yang berada lebih belakang dariku melangkah maju dan berdiri tepat di sampingku. Dia melakukan kontak mata kepada wanita itu. Petugas yang berada di dekat kami menjadi pembatas.
“Aku sudah membuangmu di dalam kardus, menuju Kebun Melati. Siapa yang memungutmu, pembawa sial?” Firdaus hanya diam padahal menurutku dia sangat terkejut atas ucapan tersebut.
Kompol Bramasta yang telah menyerahkan Zain kepada petugas lainnya mendekati kami. “Ada apa ini?” tanya beliau.
“Bawa dia ke pengadilan. Kenakan pasal 362 KUHP,” ucapku tanpa memandang wajahnya. “Untuk buktinya mungkin nanti akan saya bawa.”
“Beraninya dirimu, Idris!” Aku hanya menunduk terdiam.
“Dugaan kita yang buruk, ternyata membawa kenyataan yang lebih pahit,” ucap Kompol Bramasta. “Pasukan bubar, jalan!” Satuan Intelijen dan Keamanan mulai membubarkan diri, begitu pula kami memilih untuk pulang. Aku terus menunduk sepanjang jalan.
“Tak apa Idris, kamu telah melakukan hal yang benar dan kita sudah mendapat kebenarannya.”
“Ya …hanya saja … aku merasa ini sebuah pertanda.”