Senin, 11 Mei - Aku sedang berjalan di lorong utama MA Sukamawar saat waktu istirahat pertama. Firdaus menyapaku dari belakang dan menanyakan tujuanku. Aku tidak menjawabnya dan sengaja melihat buku yang dibawa Firdaus.
“Kamus?” tanyaku. Firdaus hanya mengangguk.
“Ini mengingatkanku pertama kali kita ke sini,” ucapku. “Semoga tidak sama persis.” Kami berjalan bersamaan menuju perpustakaan. Dari pintu, kami melihat Bambang sedang memakan kue sambil mengerjakan sesuatu di laptopnya.
“Permisi,” ucapku masuk setelah melepas sepatu. Firdaus kemudian mengikutiku dan melapor. Beliau menaruh kue ke piring dan pindah tempat duduk untuk mengurusnya. Setelah selesai, Firdaus menaruhkan kamus itu menuju raknya dan bergegas keluar.
“Ke kelas?” tanyaku menahan tangan Firdaus. “Ingin bicara?” balasnya.
Aku melihat ke bawah meja baca yang pernah kami duduki di sampingnya. “Tunggu di sini.” Aku bergerak dan langsung merogoh bawah meja itu.
“Apa yang kamu lakukan?” ucap Bambang seraya kembali ke tempat duduknya.
“29 Juli tahun lalu, saya dapat satu buku dari sini. Dimana buku itu sekarang?” Kupandang ekspresi Bambang itu mulai gugup. “Saya yakin Anda masih memegangnya ketika buku itu ditagih secara paksa.”
“Buku album alumni itu….” Firdaus mulai menyadari maksudku. “Saya yakin Anda tahu apa yang terjadi sepuluh tahun yang lalu, di ruangan yang tepat berada di sebelah Anda.”
“Teriakan itu, saya yakin Anda mendengarnya.” Firdaus menunduk.
“Jujur, bapak tidak tahu apa-apa.”
“Bapak tahu kejadian itu!” Aku membela Firdaus dan kemarahanku lepas. “Saya yakin Andalah yang menaruh kata ‘tewas’ pada halaman pertama buku itu.” Aku mulai mencoba menenangkan diri. “Kenapa tidak mengenang atau meninggal?”
“Bapak tidak tahu bagaimana kejadian itu secara rinci. Tapi pilihan kata itu memang ide bapak, agar siapapun tahu bahwa Andri meninggal secara mengenaskan.” Akhirnya Bambang itu mau bercerita. Berdasar pengakuan, beliau setelah mendengar teriakan dan tidak lama kemudian Wawan yang mencoba menyelamatkan mereka dipecat. Cerita itu selaras dengan pengakuan Wawan.
“Lantas Bapak melakukan apa?” tanyaku sambil mengelus pundak Firdaus.
“Mengetahui risiko yang bisa didapat dari usaha menyelamatkan mereka, aku sebenarnya sangat tidak ingin melakukannya. Sampai muncul ide untuk memanggil ambulans agar datang ke sekolah ini.” Beliau kemudian menjelaskan bahwa Bagus kembali ke kantornya, hasil mengintip dari pintu. Tim medis berhasil mengeluarkan jasad keduanya. “Aku dapat melihat bahwa luka yang diderita Andri lebih parah.”
“Sampai situ saja yang bapak tahu,” pungkas Bambang.
“Terima kasih, itu sangat membantu. Permisi.” Aku keluar bersama Firdaus kemudian memasang sepatu kami.
“Idris, polisi mana yang mengurus kasus itu?”
“Kenapa kamu menanyakan itu?” tanyaku seraya berdiri karena selesai memasang sepatu.
“Mereka memerlukan waktu sepuluh tahun untuk menangkap pelaku. Itu waktu yang sangat lama untuk kinerja kepolisian. Sekalinya tertangkap pun, barang bukti sudah musnah akibat ledakan itu dan semakin mustahil untuk dicari karena gudang sudah dibangun ulang.”
Aku terdiam melamun sambil memandang pintu gudang. “Kelak kita akan mengetahuinya. Tapi jika kamu ke kelas, silakan.” Firdaus terlihat kebingungan.
“Paling tidak satu misteri terpecahkan. Aku akan memecahkan yang lain. Dah!” Aku melambai kepada Firdaus dan berjalan menuju ruang multiguna. Terdengar bunyi biola dari luar ruangan.
“Permisi,” ucapku masuk dengan membuka pintu setelah melepas sepatu. Aku sempat terkejut karena ternyata itu Edo, guru Seni Budaya baru kami yang sedang duduk di sebuah kursi di tengah ruangan.
“Ada apa?” tanya beliau menghentikan permainannya.
“Hanya ingin masuk ruangan ini setelah hampir setahun tidak berkunjung. Bapak?”
“Mempersiapkan pelajaran selanjutnya untuk kelas X Bahasa.”
“Baiklah. Saya tidak menggangu ‘kan?” Edo menggeleng.
Tempat pertama yang kutuju adalah penaruhan barang yang tidak pernah dipindah dari sana. Aku berpikir bagaimana cara tas Firdaus bisa hilang. Dinding rak itu tembus ke luar ruangan ketika dibuka dan menutup otomatis. Siapapun bisa mengambilnya dari luar. Tapi hal itu tidak begitu membantuku.
Aku masih teringat ketika Firdaus menuduh Zain saat di Pantai Pasir Putih bahwa dia pembunuh Mustafa yang jasadnya kami temukan di dalam sumur. Itu berawal dari kesalahan deduksiku pada kasus pertama yang kuhadapi. “Haha. Betapa percaya dirinya aku menunjuk Mustafa sebagai pelaku padahal Zain yang merancangnya.” Air mataku perlahan menetes namun segera kuseka.
“Ada apa?” tanya Edo yang melihatku sehingga kembali menghentikan permainannya. Dia melepas biolanya dan mengambil botol di lantai dekat kursi untuk minum.
“Tidak apa-apa. Mungkin kelelahan karena tadi malam begadang.” Aku tidak berbohong karena masih memikirkan cerita Firdaus tentang Andri dan Tania. “Misteri keluarganya sudah terpecahkan. Tinggal keluargaku,” pikirku.
Aku berjalan menuju panggung, memikirkan cara Zain ‘menculik dirinya sendiri’ saat acara itu. Aku mengetuk dinding dan menyadari bunyi yang berbeda. “Ruangan apa di belakang pak?”
“UKS kalau tidak salah. Bapak sendiri tidak pernah pergi ke sana.” Beliau selesai minum dan mengembalikan botol pada tempatnya.
Aku juga menyadari bahwa ada tirai hitam yang seharusnya dijadikan penutup dinding. Edo berdiri dari tempat duduknya untuk mengotak-atik sakelar.
“Baru pertama kali ke sini Pak?” tanyaku sambil menyibak tenda hitam, mencoba menjatuhkan dari ikatan yang menahannya.
“Tau aja.” Tepat di saat Edo mematikan lampu ruangan, tirai itu jatuh dari ikatannya dan menutup dinding. Aku berdiri tepat di hadapan dinding, terlindung tirai hitam. Dengan mengintip, aku dapat melihat lampu sorot menyala, menyinari tempat duduk Edo.
Aku mendorong bagian dinding yang terdengar berbeda dan benar saja, ini mengarah ke UKS dan aku menutupnya kembali. “Aku bisa menghilang dengan mudah melalui cara ini. Saatnya aku kembali ke kelas.”
Aku masuk ke aula, memenuhi undangan dari Edo untuk belajar Seni Budaya di tempat itu. Tepat di saat kami masuk, beliau menyalakan lampu kemudian menyibak tenda.
“Ada apa?” tanyaku masuk kemudian diikuti.
“Tadi ada seorang siswa datang ke sini. Dia sempat berjalan menuju rak itu,” beliau menunjuk tempat penaruhan barang saat acara perkenalan, “Kemudian pergi ke sini dan hilang.”
“Bagaimana ciri-cirinya?”
“Saya tidak—” beliau berpaling memandangku. “Temanmu saat di acara konser musik klasik itu.”
Aku sempat terdiam kemudian mendekati beliau yang sedang mengikat tenda agar terbuka. Yang kulakukan mengetuk dinding dan menyadari ada bagian yang bunyinya berbeda.
“Ruangan apa di sebelah?”
“Dia menanyakan hal yang sama. UKS setahu bapak.” Aku hanya tersenyum kemudian bergabung dengan teman-teman sekelas. “Dia keluar jalan UKS. Saya yakin sekarang dia sudah berada di kelas.”