arrow_back

Detektif Sekolahan

arrow_forward

Ahad, 10 Mei – Di salah satu bangku di Winter Garden ini, aku dan Firdaus bersantai menikmati akhir pekan sebagaimana biasanya. Kami membicarakan tentang kasus yang lalu.

“Idris, apakah menurutmu mereka benar-benar akan membubarkan diri pekan depan?” Firdaus nampak skeptis. “Yang kita ketahui dari Winter Flowers ini masih sedikit.”

“Kita bahkan tidak tahu sebesar apa organisasi mereka.”

“Markas mereka pun kita tidak tahu di mana alamatnya.”

“Tidak!” sanggahku. “Kita tidak akan membahayakan diri dengan mencari markas mereka.”

“Aku tahu. Hanya saja, aku merasa hampir semua kasus yang kita hadapi sejak pertemuan sampai sekarang berkaitan semuanya.” Firdaus kemudian mengambil diary kecil dari saku bajunya.

“Sebuah diary?” tanyaku yang dijawab Firdaus dengan anggukan. “Apa isinya?”

“Hanya catatan kecil atas semua kasus yang kita lalui. Lebih mudah ditulis di sini dibanding di ponsel.”

“Bisa dibandingkan dengan punyaku?” Aku juga mengeluarkan diaryku. “Yang jelas semuanya dimulai dari pertemuan kita.”

“Menurutku, semuanya dimulai sejak sepuluh tahun yang lalu. Kematian kakak dan ibuku adalah pemicu semua ini.” Firdaus kemudian bercerita secara mendetail bagaimana sudut pandangnya terhadap kejadian itu. “Biasanya aku tidak pernah menuntut untuk ikut kakakku. Tapi entah kenapa, satu Senin itu mengubah segalanya.”

Firdaus terus bercerita. Dia mengaku sempat dibawa oleh kakaknya, Andri ke sekolah namun ketika ibunya, Tania melihat hal itu dan meminta memulangkannya. Andri pun membawanya pulang dengan menggendong, memintanya untuk menyalakan televisi untuk menghibur kesendirian karena ayahnya bekerja di luar daerah. “Aku tidak menyangka, hari itu terakhir melihat mereka berdua.”

Aku hanya bisa diam, mendengar sambil menahan rasa haru. Aku melepas topiku untuk menghormati kepergian mereka.

“Ada dua orang yang menurutku tahu kejadian itu,” ucap Firdaus. “Penjaga perpustakaan dan Wawan, mantan satpam yang sekarang bekerja di Museum Maneken Lilin.”


“Selamat siang, Pak Wawan!” sapaku setibanya di Museum Maneken Lilin.

“Siang,” jawab Wawan yang baru saja selesai menyeruput kopi. “Mencari Mbak Rina?”

“Tidak, kami ingin berbicara dengan Anda,” sahut Firdaus.

Firdaus kemudian menjelaskan maksud kedatangan kami kembali ke tempat itu. Dia menceritakan ulang tentang teori bahwa Wawan mengetahui kejadian sepuluh tahun yang lalu. Tidak lama kemudian, Rina keluar dari museum itu dan menyapa kami.

“Anda masih tinggal di sini?” tanyaku.

“Tidak,” jawab Rina yang kemudian suaminya mengikuti. “Kami hanya berkunjung untuk memastikan kamar-kamar tertutup. Kami sudah pindah dari sini sejak dijadikan sebagai museum.”

“Kami pergi dulu,” ucap suami Rina yang mendahului kemudian menaiki motor yang diparkirkan di halaman museum itu. Dia menyerahkan helm kepada Rina dan menghidupkan mesin motor kemudian pergi.

“Anda masih memakai monitor CCTV itu dalam mengawasi?” tanyaku.

“Tentu saja. Lihatlah sendiri!” jawab Wawan seraya menunjuk monitor CCTV yang sedang menyala. Tidak ada perubahan besar setelah terakhir kali aku melihatnya yakni saat terjadi pembunuhan dalam rumah yang sekarang menjadi museum ini. Firdaus turut melihat dan cukup kagum.

“Bagaimana dengan pertanyaan tadi?” tanya Wawan. Firdaus nampaknya sangat haus akan jawaban beliau sehingga langsung mengiakan. “Baiklah, dimulai dari keributan yang terdengar dari luar sekolah.”

Wawan mulai bercerita. Beliau menjelaskan bahwa sebelum kejadian itu, keributan terdengar. Dari sana beliau mengenal Rina, yang meminta tolong kepada Tania atas tindakan asusila terhadapnya. Hal itu membuat kami tahu bahwa Rina mengenal Tania sebagai guru Bahasa Indonesia di MA Sukamawar.

“Bagaimana kalau beliau berbohong?” tanya Firdaus.

“Tidak,” jawab Wawan. “Mbak Rina sudah menunjukkan hasil visum dan dapat dibuktikan kebenarannya. Tindak asusila itu benar-benar terjadi, bahkan sampai melewati batas.” Firdaus hanya terdiam sementara aku meminta beliau untuk melanjutkan cerita.

Wawan mengaku hanya melihat dari posnya. Rina kemudian pergi dengan tubuh yang masih gemetar sementara Tania langsung berlari menuju kantor kepala madrasah dengan kemarahannya. Beliau bercerita bahwa tidak tahu apapun lagi yang terjadi setelahnya.

Sampai terdengar teriakan “Lepaskan!” dari Tania. Perhatian Wawan teralihkan ke lorong itu, di mana Tania diikat tangannya dibawa masuk ke gudang sebelah perpustakaan itu.

“Oh, jadi itu sebabnya!” seru Firdaus. Seruan itu mengejutkanku.

“Apa?” tanyaku kebingungan.

“Aku tahu bahwa ibuku menderita klaustrofobia setelah tidak sengaja terkurung di kamar sendiri. Beruntung saat itu masih bisa diselamatkan. Tapi saat itu tidak.”

“Sulit bernapas atau bisa saja sangat panik sehingga terkena serangan jantung….” Aku terdiam sebentar setelah mengucapkan itu. “Lalu apa yang terjadi setelahnya?” tanyaku kepada Wawan untuk mengalihkan topik pembicaraan.

“Pak Bagus naik ke lantai dua. Dari posku, aku tidak ada mendengar teriakan tolong tapi aku bisa melihat bahwa Andri sangat panik ketika berada di depan pintu gudang itu.” Andri diceritakan Wawan berusaha mendobrak pintu namun tidak bisa kemudian naik ke lantai dua menyadari bahwa di sana ada pintu jebakan yang mengarah ke gudang itu. Dari posnya, Wawan mengaku melihat sedikit perkelahian sampai Andri jatuh dari lantai dua menuju pintu jebakan itu dan hanya terdengar teriakan setelahnya. “Di saat itulah, aku berlari menuju gudang itu dan mencoba mendobrak pintu. Bagus mendapati Wawan yang melakukan itu tampak marah.

“Apa yang akan kamu lakukan? Menyelamatkan mereka?” tanya Bagus. “Kamu dipecat!”

“Aku tidak mengindahkannya dan tetap mencoba mendobrak,” jabar Wawan.

Bagus meneriakkan “Pergi sana!” kepada Wawan saat itu. “Itu saja, aku benar-benar tidak tahu apa yang terjadi setelahnya karena bersiap-siap untuk meninggalkan sekolah itu,” pungkas Wawan.

“Kenapa Anda tidak menyelamatkan dari awal,” tanya Firdaus, “Dari dimasukkannya ibuku ke gudang itu?” Air mata Firdaus menetes dan dia tidak menahannya.

“Apa yang kutakutkan, ternyata tetap terjadi,” jawab Wawan. “Pada akhirnya, aku tetap dipecat dan kehilangan pekerjaan untuk waktu yang lama.”

“Firdaus, maafkan aku. Aku sangat menyesal tidak menolong mereka lebih awal. Korban bisa diminimalisir, tidak seperti ini seharusnya semua berakhir.”

“Tidak apa,” Firdaus menyeka air matanya menggunakan tangan. “Paling tidak, aku sudah mengetahui salah satu dari kebenaran yang dicari selama ini.”

“Bagaimana dengan Andri?” tanyaku.

“Hanya sampai situ yang kutahu.” Wawan menegaskan jawabannya.

Komentar