Senin, 26 Januari 2009 – Sebuah ambulans tiba di Rumah Sakit Unit Daerah Sukamawar. Dua brankar diminta untuk menjemput jasad dari dalam mobil itu. Dengan cepat, kedua mayat dipindahkan langsung menuju ruang jenazah. Mereka akan membiarkannya di sana sampai pihak kepolisian akan menjemput mereka setelah dilaporkan.
Di saat yang lain pergi, seorang perempuan dengan APD-nya memasuki ruangan itu. Namanya Ika Pratiwi, seorang mahasiswi fakultas kedokteran pada program studi anatomi yang sedang melakukan KKN di sana. Dia masuk perlahan kemudian menutup pintu.
Meski sedang menjalani KKN, nyatanya Ika sudah magang sejak dua tahun lalu. Waktu yang terbilang cukup lama, bahkan pernah menghadapi hal yang tidak dia kira.
5 April 2002, keadaan benar-benar darurat saat itu. Seorang pria berusia 30-an meminta bantuan dengan wajah memelas, karena istrinya mengalami kontraksi, pertanda akan melahirkan. Ika yang kebetulan lewat di lorong sontak ditarik masuk ke dalam ruangan Instalasi Gawat Darurat.
“Tapi Pak, saya belum pernah—”
“Saya mohon!”
Ika menghela napas. Jantungnya berdegup dengan kencang saat itu namun dia berhasil memberanikan diri untuk melakukannya. Dia hanya berharap kepada apa yang dia pelajari, di bidang anatomi yang dapat membantu operasi ini. Singkat cerita, wanita itu berhasil melahirkan secara normal, sepasang laki-laki, kembar tidak identik. Tidak hanya itu, kejadian langka yang membuat Ika semakin kagum adalah warna mata kedua anak itu.
“Indah sekali,” ucapnya terharu. Dia kemudian menyerahkan kedua anak tersebut kepada orang tuanya. Ika ingat betul, yang lahir lebih dulu diberi nama Muhammad Idris dan yang satunya dinamai Ahmad Firdaus. “Aku akan mengingat kalian berdasarkan warna mata,” ucap Ika dalam hati. “Semoga kita bisa bertemu lagi di masa depan, ketika kalian sudah besar.” Ika tersenyum kecil kemudian meminta izin untuk keluar dari ruangan.
Dia menghembuskan napas sebebasnya ketika berada di luar ruangan. Tapi yang jelas, sejak saat itu pekerjaan Ika tidak pernah lepas dari ruangan IGD dan ruang jenazah.
Sebenarnya, sama seperti kejadian dua tahun lalu, dia mengerjakannya tanpa izin. Satu-satunya dasar yang mendukung tindakannya untuk memeriksa kedua mayat adalah kecurigannya terhadap jasad remaja laki-laki yang sudah pucat untuk waktu kematian yang belum begitu lama. Tentu saja, dia memeriksa jasad remaja laki-laki itu lebih dahulu.
Ika melihat seragam sekolahnya agak robek di bagian belakang sehingga dia membalik jasad itu perlahan. Dia pun menemukan banyak bekas luka tusukan kecil di punggungnya, dengan sedikit bercak darah yang mulai mengering. Dia mulai skeptis terhadap teorinya sendiri, bahwa kematiannya belum lama. Diagnosa yang dia berikan adalah kehabisan darah.
Dia pindah menuju jasad sang wanita. Wanita itu masih memakai pakaian dinas bagi pegawai negeri sipil sehingga menarik kesimpulan bahwa mereka adalah guru dan murid. Dia memeriksa namun tidak menemukan luka yang begitu parah. Hanya saja, ada beberapa tanda kekerasan di pergelangan tangan. Dia mencatat semuanya dalam buku kecil yang dibawanya.
Tidak lama kemudian, Ika mendengar langkah kaki mendekat ke ruang jenazah tempat dia berada. Dengan sigap, dia memasukkan buku kecil itu ke bajunya agar tidak dicurigai. Dia beraksi seolah menyiapkan mayat itu untuk dibawa.
Pintu ruangan itu dibuka. Ika cukup terkejut ketika mengetahui yang mendatanginya adalah polisi. Dia tidak mengetahui dari mana mereka sehingga harus mengingat mereka berdasar kelopak melati yang ada pada lambang di seragam kepolisian.
Polisi itu menyadari adanya Ika di dalam ruangan. “Pulangkan mayat ini, kami akan memulai penyelidikan.” Ika tidak langsung percaya karena dia menganggap hal tersebut mencurigakan.
“Apa yang membuat dua orang ini harus dipulangkan segera?” tanya Ika, berharap mendapat jawaban yang memuaskan.
“Wali kota Kebun Melati memberi perintah kepada kami.” Nyatanya jawaban itu membuatnya kebingungan.
Pergulatan terjadi dalam pikiran Ika. “Kami sekarang berada di Sukamawar, kenapa harus Kebun Melati yang mengurus kasus ini? Siapa wali kota yang mereka maksud?”
“Jika kalian yang melakukan penyelidikan, bisakah saya mengetahui hasilnya?” Ika memberanikan diri untuk bertanya namun polisi itu hanya diam. Ika pun berprasangka bahwa ada rencana buruk yang akan mereka laksanakan. Dia memutuskan untuk ikut dalam mobil ambulans menuju alamat yang diberikan oleh kepolisian dalam rangka memberitahukan hasil autopsi sederhananya kepada keluarga.
Setibanya di alamat, Ika keluar lebih dulu untuk membuka pintu belakang untuk mengeluarkan mayat itu. Tepat di saat dia keluar dari mobil, seorang anak kecil yang dia perkirakan berusia dua tahun membuka pintu dan berlari ke arahnya. Mayat pun dikeluarkan dan wajah anak kecil itu berubah. Dia terlihat sangat terkejut atas apa yang dilihatnya. “Ibu? Kakak?”
Ira berusaha keras menahan harunya saat itu. Anak kecil itu menatap wajah dari jasad remaja laki-laki yang Ira duga kakaknya berdasar pertanyaan barusan, kemudian memandang Ira namun Ira menoleh ke lain sehingga mereka tidak bisa menatap satu sama lain. Ira pun kembali ke mobilnya, duduk bersandar ke dinding mobil.
Selama perjalanan kembali ke rumah sakit, Ira sudah tidak bisa menahan tangisnya lagi. Dia menekuk lutut dan memeluknya. “Aku seperti pernah melihat anak itu, tapi kapan?” Ira berusaha mengingatnya namun tidak bisa saat itu karena terlalu sedih.
Sekarang, Ira berharap besar kepada polisi yang mengaku akan mengurus kasus itu. Nyatanya, dia tidak pernah mendapat kejelasan.