arrow_back

Detektif Sekolahan

arrow_forward

Sabtu, 3 Agustus 2019 – Rumah Sakit Unit Daerah mendapat panggilan dari seorang wanita bernama Rina dan mengaku anaknya bernama Dwi ditemukan tewas sehingga dia meminta autopsi diadakan. Ika Pratiwi, yang dulunya mahasiswa magang juga melaksanakan KKN di rumah sakit tersebut, sekarang menjadi dokter resmi. Hari itu dia terpilih untuk menjadi rekan sang supir dan juga temannya, Adel untuk menjemput. Adelia—dipanggil Adel—adalah seorang mahasiswi fakultas kedokteran yang melaksanakan KKN. Posisi yang sama ditempuh oleh Ika tujuh belas tahun yang lalu.

Alamat yang diberikan adalah Rumah Maneken Lilin. Tanpa ragu, tim kecil itu menuju ke sana. Singkat cerita, mereka sampai di tujuan. Tidak lama kemudian, Wawan sang satpam dari rumah itu dan Manunggal, kakak kandung dari korban membopong Dwi yang sudah tidak bernyawa menuju mobil mereka saat mereka membukakan pintu. Manunggal terlihat kelelahan setelah mengangkat adiknya.

“Di mana ibu?” tanya Manunggal yang masih berdiri di depan pintu belakang ambulans kepada seseorang. Ika dan Adel tidak bisa melihat orang yang ditanya Manunggal karena masih sibuk membenarkan posisi korban.

“Entahlah, barusan beliau masih di ruang utama.” Jawaban itu diucapkan oleh seorang siswa baru MA Sukamawar pada jurusan Bahasa. Namanya Ahmad Firdaus.

“Oh ya? Kalau begitu, aku mencarinya dulu.” Manunggal kemudian pergi dan menghilang dari pandangan Ika dan rekannya.

Seorang remaja laki-laki mendekati pintu itu. Dia juga siswa baru MA Sukamawar namun pada jurusan Agama. Namanya Muhammad Idris.

Pertama kali melihat, Ika berpikir dia pernah melihat anak itu sebelumnya. Ketika dia melihat Firdaus menemaninya dibelakang, Ika berani memastikan. Mereka adalah sepasang kembar yang dia bantu proses kelahiran ibunya tujuh belas tahun yang lalu. Meski demikian, Ika sangat yakin mereka tidak mengenal dirinya.

“Saya meminta orang ini diautopsi secepatnya, karena saya ingin tahu penyebab kematiannya,” ucap Idris. Ika saat itu hampir terkejut, tapi dia juga berpikir bahwa itu saatnya untuk menguji lagi ilmunya.

“Kami usahakan, tapi ke mana kami akan menyatakan hasil autopsi?” tanya Ika. Adel saat itu tercengang, tidak percaya bahwa hal seperti itu disetujui.

“Kalian bisa menelponku di nomor ini.” Firdaus terlihat mengeluarkan ponsel dari sakunya. Ika sadar dia tidak membawa ponsel, kemudian menanyakannya kepada sang rekan namun juga tidak membawa.

“Bagaimana dengan Anda, Pak Supir?” Sang supir pun menyerahkan ponselnya. Setelah ponsel berada di tangan Ika, Firdaus menyebutkan nomor ponselnya.

Singkat cerita, urusan mereka di Rumah Maneken Lilin telah selesai. Setelah pintu ambulans di tutup, mereka pun kembali ke rumah sakit.


Selama di perjalanan, Ika menegaskan bahwa peminjaman ponsel sang supir itu hanya untuk mencatat dan menyimpan nomor ponsel Firdaus untuk sementara. Untuk memanggil dan memberitahukan hasil autopsi, sepenuhnya menggunakan ponselnya.

“Kenapa kamu dengan begitu beraninya menyetujui keinginan mereka?”

“Kita lihat luarnya mayat ini dulu saja. Jika memerlukan, baru memeriksa organ dalamnya. Dengan demikian, kita bisa melakukannya dengan cepat.” Begitulah ide Ika sebenarnya. Bukan bermaksud lain, namun untuk mememuhi keinginan dua remaja itu, pemeriksaan luar rasanya cukup, kecuali jika memerlukan pemeriksaan lebih lanjut.

Setibanya di rumah sakit, mayat itu langsung dibawa ke rumah jenazah, ruangan yang tepat untuk jasad tanpa nyawa. Tanpa menunggu waktu lama, Ika memulai pemeriksaan dari kepala.

Pemeriksaan itu berlangsung tidak begitu lama, juga tidak secepat Ika inginkan. Penemuan pertama Ika adalah adanya bekas tambang di leher korban. Ika menduga dua hal, korban dicekik atau bunuh diri dengan cara gantung leher. Adel sempat ingin menghentikan Ika di sana. “Masih dua kemungkinan, Adel. Kita harus membuatnya tersisa satu dan melaporkannya kepada anak itu.”

Pemeriksaan di lanjutkan. Ika baru menyadari adanya bagian yang robek dari pakaian korban. Dari sana, petunjuk mulai bermunculan dan mengarah kepada satu tempat, jantung. Ditemukan satu luka tusukan, untuk lebarnya hanya kecil tapi belum diketahui dalamnya. Adel saat itu tidak ada kerjaan, memeriksa pisau bedah yang terletak rapi di atas nampan dan menarik perhatian Ika. “Bawa pisau-pisau itu ke sini.”

Ika kemudian membandingkan pisau yang ada pada nampan dengan luka robek di jantung dan cocok untuk salah satu yang kecil. “Bagaimana mereka mendapatkan pisau seperti ini dan untuk apa?” tanya Ika sambil menunjukkannya kepada Adel kemudian meletakkannya kembali pada nampan.

“Hm…. Mengingat nama alamat kita tadi, mungkin mereka memerlukannya untuk mengukir lilin untuk menjadikannya patung.” Ika mengangguk mendengar pernyataan Adel. “Tapi ada satu hal yang mengganggu saya.”

“Apa itu?” tanya Ika.

“Kedua penemuan kita barusan menunjukkan ada dua metode. Anggaplah orang ini bunuh diri, tapi bukankah itu terlalu ribet? Kalau menusuk jantung sudah cukup, kenapa harus gantung diri?”

Wajah Ika berubah terkejut juga bahagia. “Berarti dia dibunuh! Pelaku mungkin menggantungnya untuk menyembunyikan fakta itu!” Ika pun mendekat kepada Adel dan merangkulnya. Kemudian Ika mengambil ponselnya untuk menelpon Firdaus.


Ponsel Firdaus tiba-tiba berdering. Dia merogoh saku untuk mengambilnya dan langsung menjawab panggilan itu. “Ya, halo?”

“Saya perawat yang ada di ambulans tadi. Kami sudah selesai memeriksa dan menemukan cukup fakta yang bisa diberikan.”

“Saya akan menyerahkannya kepada Idris saja.” Terjadi jeda tanpa suara selama beberapa saat.

“Bagaimana?” tanya Idris.

“Pertama, kami menemukan bekas tambang di leher korban, menandakan korban dicekik atau gantung diri. Namun yang paling penting adalah, kami menemukan luka tusukan di jantung korban seukuran pisau kecil. Jadi, kami menduga bahwa korban dibunuh.”

“Terima kasih atas informasinya.” Panggilan itu dihentikan.


Ika melepas ponsel dari telinganya. “Kamu cerdas, Adel. Semoga kita menjadi rekan untuk selamanya.”

“Kurasa tidak, Kak Ika,” sahut Adel murung.

Ekspesi bahagia Ika sontak berhenti. “Kenapa?” Rangkulan itu lepas.

“Informasi yang saya dapatkan dari kampus, saya di sini hanya untuk melaksanakan KKN. Saya yakin tidak ditempatkan ke sini jika sudah lulus nanti.”

“Terima kasih, Adel.” Ika menunjukkan senyuman terbaiknya. “Meski mungkin nanti kita jarang bertemu, tapi kita tetap teman ‘kan?” Adel mengangguk terharu bahagia.


Komentar