arrow_back

Detektif Sekolahan

arrow_forward

Senin, 30 September 2019 – Badan Pemadam Kebakaran Sukamawar sedang bersantai di markas mereka saat waktu tengah hari. Seorang pria bernama Taufiq mendapat telepon. Pangkatnya dalam golongan III/c, atau yang lebih sering disebut sebagai seorang Penata, setara dengan Ajun Komisaris Polisi di Polri dan Kapten di TNI. Mungkin itu yang membuatnya menjadi “kapten” dalam tim pemadam ini.

Panggilan tersebut berasal dari nomor yang dia tahu. Mahmud, sang wali kota. Nomor itu dia dapatkan ketika diberi penghargaan untuk tindakan heroiknya, menyelamatkan seorang anak kecil yang terjebak dalam kebakaran.

“Ada apa, Bapak Wali Kota?” tanya Taufiq menjawab panggilan.

“Siswa MA Sukamawar melaporkan air tercemar darah. Mereka mencurigai ada sesuatu di dalam sumur.”

“Baiklah, kami akan segera ke sana.” Taufiq menutup telepon.

“Teman-teman!” teriak Taufiq. Rekan-rekannya mulai mendekati. Pertama, ada Ibrahim, seorang Pengatur Tingkat 1 yang setara dengan Brigadir Polisi Kepala di Polri dan Sersan Mayor di TNI. Kemudian satunya lagi Siswondo, seorang Pengatur Muda Tingkat 1 setara dengan Brigadir Polisi Satu di Polri dan Sersan Satu di TNI.

“Hari ini, kita diberi tugas untuk mengevakuasi sesuatu di dalam sumur yang terletak di MA Sukamawar. Jadi, sediakan tambang, tabung oksigen dan keperluan lainnya.”

“MA Sukamawar lagi?” tanya Ibrahim. Ini adalah kedua kalinya mereka datang ke tempat yang sama setelah kejadian pada hari Senin, 29 Juli 2019. Hari itu, terjadi sebuah ledakan sampai asap yang membumbung tinggi bisa dilihat dari markas mereka. Mereka yang mengetahui akan terjadinya kebakaran bersegera untuk memadamkannya.

“Ya, begitulah. Semoga ini yang terakhir kalinya kita ke sana, juga musibah tidak akan lagi menimpa tempat itu.”

Mereka memilih untuk mengenakan pakaian untuk penyelamatan dan menggunakan mobil bak terbuka atau yang sering mereka sebut dengan portable dibanding mobil truk atau tangki yang biasanya mereka gunakan untuk memadamkan kebakaran. Mobil itu bergerak menuju ke sekolah tanpa membunyikan sirine mengingat hal yang akan mereka hadapi tidak begitu darurat. Setibanya di lokasi, mereka sudah ditunggu oleh Mahmud. Mereka berbicara sebentar di lorong utama sekolah itu.

“Tunggu, sekarang Anda menjadi kepala sekolah di sini?” tanya Ibrahim. “Bagaimana dengan tugas Anda sebagai wali kota?”

“Semuanya saya serahkan kepada Rida, staf khusus saya,” jawab Mahmud singkat. “Sekarang, mari saya antar ke belakang, mengikuti para siswa yang sudah menunggu kalian.” Mereka pun langsung berjalan menuju belakang sekolah.

“Di sini ‘kan, anak-anak?” tanya Mahmud setibanya di belakang.

“Ya!” seru para siswa yang mengantar.

“Silahkan bertugas, sementara saya ada sesuatu yang harus dikerjakan.” Suara Mahmud terdengar dengan jelas di tengah suasana yang tenang itu dan dia pun meninggalkan mereka. Tidak lama setelah Mahmud meninggalkan tempat, operasi itupun dimulai. “Kita lihat dulu bagaimana keadaan sumurnya!” Ditandai dengan perintah tersebut yang diucapkan oleh Taufiq, menunjukkan kewibawaannya sebagai kapten tim.

Ibrahim mendekat kepada sumur itu dan memeriksa tali timba yang masih terkait pada katrol. Dia menariknya dan ternyata sudah putus. “Tali timbanya sudah putus, bagaimana cara kita melihat yang di dalam?” tanya Ibrahim memandang ke arah Taufiq.

Taufiq berpikir sebentar. “Ada yang mengajukan diri untuk masuk ke dalam sana?” Suasana tiba-tiba hening. Taufiq saat itu hampir mengajukan dirinya sendiri untuk melakukannya.

“Saya saja,” jawab Siswondo.

Taufiq saat itu cukup terkejut. “Terima kasih,” ucapnya tersenyum sambil menepuk bahu Siswondo. “Tambangnya sudah disiapkan?” Taufiq memandang Ibrahim. “Kalau belum, ambil tabung oksigennya juga.”

Ibrahim langsung mengerjakan perintah itu. Dia pergi kembali menuju mobil untuk mengambil tambang dan tabung oksigennya. Hanya memerlukan waktu kurang dari tiga menit dalam melakukannya.

“Cepat juga mereka.” Komentar dari seorang siswa bernama Muhammad Idris itu terdengar di telinga Ibrahim. Posisi mereka yang tidak begitu jauh dengan timnya membuat Ibrahim penasaran akan siapa yang mengucapkannya.

“Iya dong! Mereka sebagai pemadam kebakaran harus sigap, aku yakin beliau sudah sering membawa benda berat sambil berlari.” Balasan dari komentar itu diucapkan oleh siswa lainnya yang bernama Ahmad Firdaus. Hal itu membuat Ibrahim tersenyum kecil.

Satu kejadian, awal dari segalanya. Sebuah kebakaran menghanguskan puluhan rumah saat itu. Ibrahim adalah orang pertama yang masuk ke dalam rumah dimana diketahui bahwa anak kecil terjebak di dalamnya. Sayangnya kecelakaan terjadi. Rangka atap yang cukup besar itu jatuh tepat ke bagian bahu sampai menindih lengannya saat dia menunduk dan membuatnya cedera. Saat itulah terjadi pergantian, ketika Taufiq yang berhasil menyelamatkan anak kecil itu dan mendapat penghargaan nantinya.

Cederanya tidak terlalu parah sehingga operasi pun tidak diperlukan. Namun yang pasti, sejak saat itu Ibrahim benar-benar melatih bahu dan lengannya kembali. Tebakan siswa bernama Ahmad Firdaus itu nampaknya benar. Dia sering membawa benda berat sambil berlari. Tidak jarang Taufiq memintanya untuk beristirahat ketika dia sangat berkeringat.

Kembali ke operasi evakuasi itu, Taufiq mengeluarkan lilin yang mungkin dia dapat dari sisa ukiran yang digunakan untuk maneken lilin pada rumah terkenal di Sukamawar itu. Dia mengoleskannya kepada tambang, dengan tujuan mengurangi gesekan tali pada dinding sumur yang membuat kemungkinan putus sementara sumur itu tidak diketahui dalamnya. Dia juga menyapu tangan dengan magnesium karbonat kemudian menutupnya dengan sarung dan melakukannya lagi. Sementara itu Ibrahim memasangkan tabung oksigen ke badan Siswondo. Ibrahim selesai. Taufiq melanjutkan tugas dengan memasangkan tambang ke badan Siswondo, mengaturnya agar tidak menyusahkan pergerakan tabung oksigen.

“Sudah siap, Siswondo?” Pertanyaan Taufiq dijawab Siswondo dengan anggukan. Taufiq menepuk kedua pundaknya. Siswondo pun berdoa sebentar kemudian bergerak mendekati sumur itu. Dia masuk perlahan untuk menyelam, sementara Taufiq yang berada paling depan diikuti Ibrahim dan para siswa memegang tambang.

“Ulur perlahan!” Perintah Taufiq langsung dilaksanakan. “Ada yang tahu kedalaman sumur ini?”

“Tidak!” jawab para siswa serentak.

“Kita akan mengetahuinya segera. Ulur lagi!” Tali terus diulur. Nampaknya lilin yang melapisi tambang itu benar-benar berguna.


Apa yang dirasakan Siswondo di dalam sumur saat itu? Mungkin dia menyesali keputusannya untuk menyangka bahwa sumur itu dalam, juga diameter yang tidak begitu luas cukup menyusahkan untuk turun ditambah dengan tali yang diulur perlahan. Meskipun memakai pelindung, namun air tetaplah benda cair yang membuat objek yang dikenainya basah. Hanya saja, air dalam sumur itu sudah tercemar oleh darah yang membuatnya kotor dan gelap sehingga Siswondo sama sekali tidak bisa melihat apa yang ada di dalam.

Satu jam lebih berlalu. Siswondo merasa dia sudah mencapai dasar dari sumur itu dan merasakan sesuatu mengganjal di sana. Dia merabanya dan cukup terkejut ketika mengetahui bahwa itu adalah mayat manusia. Sekarang dia berpikir bagaimana untuk membawa naik mayat itu. Memegang lengan mayat itu kemudian hanya menariknya memiliki risiko untuk mencederakannya atau bahkan mematahkan tulangnya.

Dia memutuskan untuk bertukar posisi dengan mayat. Pergerakan sangat susah untuk dilakukan di dalam sumur itu namun dia berhasil meletakkan mayat di pundaknya. Dia menekuk tubuh sang mayat dengan hati-hati agar tidak melukainya. Tali pun ditarik pertanda dia meminta untuk naik.


“Tarik sekarang!” perintah Taufiq. “Apapun yang terjadi, tetap tahan!”

Siswondo terlihat naik perlahan. Pilihannya untuk meletakkan sang mayat pada pundaknya nampaknya menjadi pilihan yang cukup tepat karena kedua tangannya harus berpegangan pada tali. Mereka berhasil naik ke permukaan sumur.

“Astaga, baunya tidak enak sekali,” keluh salah satu siswa.

“Tetap tahan! Sampai mereka benar-benar keluar!” Taufiq mengencangkan pegangannya dan mengerahkan seluruh tenaga untuk menahan tali saat itu. Ketika dia sudah yakin dengan usahanya, Ibrahim pun mendapat perintah. “Ibrahim! Sambut mayat itu!”

“Siap pak!” Ibrahim melepas pegangannya. Untungnya tidak ada yang terjadi karena Taufiq sebagai satu-satunya orang dewasa yang masih memegang tali itu masih menahannya dengan kuat. Ibrahim kemudian menyambut mayat itu dan meletakkannya sebentar di samping sumur. Dia melakukannya untuk mengulurkan tangan kepada Siswondo. Siswondo pun menyambutnya dan dia berhasil keluar dari sumur. Setelah mereka aman, perintah selanjutnya diucapkan oleh Taufiq.

“Tugas kita telah selesai! Silahkan melepas pegangan kalian.” Para siswa kemudian melepas pegangannya dari tambang itu. Entah betapa penat tangan memegangnya dalam waktu satu jam lebih. Istirahat yang mereka ambil pun hanya sebentar, sebatas mengibas tangan dan kembali membantu. Ibrahim kembali ke barisan sementara Siswondo maju beberapa langkah, menjauh dari sumur itu.

“Sepertinya kita harus membersihkan mayat ini untuk diidentifikasi,” kata Ibrahim memandang jasad itu.

“Hm, saran yang bagus.” Taufiq mengangguk. “Siswondo!”

“Siap pak!”

“Angkat mayat itu, bawa ke mobil kita dahulu.” Siswondo langsung mengerjakan perintah itu. Kali ini, dia memilih untuk membopongnya saja.

“Baiklah anak-anak, terima kasih telah berjuang bersama kami! Sampai jumpa!” Ibrahim melambaikan tangan.


Tim pemadam itu telah tiba di markas mereka. Mayat itu diturunkan setelah membuka pintu bak belakang mobil. Siswondo membalik mayat itu dan memeriksa punggungnya.

“Apa yang kamu lakukan, Siswondo?” tanya Ibrahim.

“Hanya memastikan dia tidak cedera.” Taufiq hanya tersenyum sementara menyiapkan selang yang sudah mengaliri air dengan kecepatan yang pelan. Ibrahim dan Siswondo membersihkan mayat itu sementara Taufiq memeriksa tambang yang telah digunakan.

“Siswondo, di ketinggian berapa air sumur itu?” tanya Taufiq sambil mengurai gulungan tali, berharap bisa mengukur kedalaman sumur.

“Entahlah, saya rasa Anda dua kali mengulur baru saya tenggelam sepenuhnya.” Suasana hening, hanya aliran air yang membasahi mayat itu yang terdengar di markas mereka.

“Perkiraanku dalamnya sekitar 20 meter.” Siswondo dan Taufiq terlihat cukup terkejut mendengar perkataan Taufiq. “Berarti itu termasuk sumur sehat dan aku yakin mereka juga menggunakannya untuk air minum. Sekarang, seandainya airnya tercemar seluruhnya, bagaimana kita bisa membersihkannya?”

“Saya yakin itu sumur buatan, sehingga kita bisa mengurasnya kemudian mencari mata air lain untuk dialirkan ke sumur itu, atau buat sumur baru beberapa meter dari tempat itu.”

“Pilihan kedua itu urusan kepala sekolah, jadi kita usahakan pilihan pertama dulu. Siswondo, kita akan ke sana, sementara kamu, Ibrahim.” Ibrahim memandang Taufiq. “Kamu menjaga markas, siapa tahu seseorang akan datang memerlukan bantuan, panggil juga teman yang lain jika tidak mampu sendirian.”

Singkat cerita, mereka selesai membersihkan mayat itu. Taufiq mengambil telepon di markas mereka untuk memanggil seseorang. “Halo, RSUD Sukamawar? Tolong jemput mayat di Markas Pemadam Kebakaran, dan saya minta berkoordinasi dengan polisi untuk memberitahukan jika ada warga yang kehilangan salah satu anggota keluarganya. Terima kasih.” Telepon itu ditutup.

Taufiq kemudian melambaikan tangan kepada Siswondo untuk membantunya menaikkan mesin pompa air tekanan tinggi ke dalam bak mobil. Mereka berbicara sebentar dan memutuskan untuk mengganti pakaian menjadi kaos oblong, sementara Ibrahim berganti menjadi pakaian siaga atau piket. Setelah mereka selesai, Taufiq naik ke dalam mobil sebagai supir namun Siswondo memilih untuk hanya duduk di bak saja. Mereka pun kemudian pergi.


Taufiq dan Siswondo tiba di MA Sukamawar. Mereka heran ketika melihat mobil polisi terparkir di halaman. “Ada apa ini?” tanya Siswondo.

Siswondo pun turun lebih dahulu dari mobil untuk menuju ke belakang sekolah, tempat sumur itu berada, diikuti oleh Taufiq. Alangkah terkejutnya ketika sumur itu sudah dibentangkan garis polisi padanya.

“Oh, halo!” Seorang polisi yang bertugas menyelidiki sumur itu menyadari kedatangan Siswondo.

“Briptu Kuncoro. Anggota Satreskrim Polresta Sukamawar.” Polisi itu mengulurkan tangannya.

Taufiq yang sudah berada di samping Siswondo menyambutnya. “Taufiq. Anggota Badan Pemadam Kebakaran Sukamawar.” Jabatan tangan itu hanya sebentar.

Siswondo berbisik. “Tunggu, bukannya Anda kap—” Bisikannya terpotong oleh tangan Briptu Kuncoro yang terulur ke arahnya. Dia pun menyambutnya. “Siswondo, juga Anggota Badan Pemadam Kebakaran Sukamawar.”

“Bagaimana Anda bisa di sini?” tanya Siswondo.

“Ada dua laporan yang kami terima. Pertama, laporan dari rumah sakit tentang mayat remaja yang mereka urus. Kedua, kepala sekolah yang meminta penyelidikan terhadap penemuan mayat. Sehingga saya mengambil kesimpulan bahwa mayat remaja yang mereka maksud ditemukan di sini. Setelah berbicara dengan kepala sekolah setibanya di sini, beliau langsung mengarahkan ke sumur. Biar saya tebak, kalian menemukannya di dalam kemudian mengeluarkan?”

Siswondo mengangguk. “Kalian hebat,” puji Briptu Kuncoro. “Sekarang, apa tujuan kalian kembali ke sini?”

“Kami menduga sumur itu hanya buatan. Kami berpikir untuk menguras air yang sudah tercemar itu dan menggantinya dengan air yang jernih melalui pengaliran dari sumber yang baru. Jika rencana ini gagal, maka kami akan memberitahukan kepala sekolah bahwa beliau harus membuat sumur baru. Sumur yang mereka gunakan ini termasuk sumur sehat, jadi saya yakin mereka sangat memerlukan adanya.” Taufiq menjelaskan.

“Niat kalian bagus, tapi mohon maaf, tidak sekarang,” ucap Briptu Kuncoro. “Saya masih melakukan identifikasi dan masih menemukan sedikit bukti. Saya sangat yakin ini kasus pembunuhan karena korban tidak mungkin bunuh diri kemudian menenggelamkan dirinya ke dalam sumur. Hanya saja, belum ada tanda pelaku.”

“Bagaimana kalau kami melakukan apa yang kami mau?” tanya Siswondo. “Dengan air sumur yang dikuras, bisa saja kami menemukan barang bukti di dalamnya?”

“Saya tolak saran itu untuk sementara. Saya masih melakukan penyelidikan di luar sumur dan fokus bertanya kepada siswa lain yang mengenal korban.”

“Tapi dengan itu, bukankah kerjaan Anda lebih mudah?”

Taufiq merasakan perdebatan akan terjadi sehingga memegang pundak Siswondo dari belakang. “Tenanglah, Siswondo. Biarkan dia mengerjakan tugasnya dan kita kembali ke mobil.” Siswondo hanya diam dengan wajah kesalnya kemudian pergi dan diikuti oleh Taufiq.


Waktu sudah sore. Taufiq dan Siswondo belum pulang dari tugas mereka. Ibrahim yang agak mengantuk, duduk di kursi memandang jam dinding. “Jam empat lewat tiga puluh menit.”

“Halo! Pak Taufiq!” Pintu markas diketuk dengan keras ditambah teriakan remaja itu. Ibrahim mendengar teriakan itu, hanya saja dia buang air kecil kemudian mencuci muka terlebih dahulu baru membukakan pintu.

Wajah remaja itu nampak terkejut ketika melihat Ibrahim yang membukakan pintu. “Di mana Pak Taufiq?” Remaja itu bernama Ahmad Firdaus, siswa MA Sukamawar yang turut membantu operasi mereka tadi.

“Beliau kembali ke MA Sukamawar dan masih di sana.”

Remaja itu memandang temannya sesama siswa MA Sukamawar, Muhammad Idris yang ada di luar. “Pak Taufiq di sekolah kita. Ke sana?”

“Tidak dulu. Aku sangat kelelahan sekarang. Biarkan aku istirahat sejenak.”

Firdaus terlihat heran. “Ada apa denganmu? Tidak biasanya kamu kelelahan berjalan. Kita sudah cukup sering—berjalan, kenapa baru sekarang kamu kelelahan?”

“Bukan apa-apa. Hanya saja, tubuhku melemah hari ini.”

“Baiklah, kita istirahat dulu di sini. Tapi, sebentar lagi kita lanjutkan perjalanan kita.” Firdaus menghela napas. “Kamu yakin tidak apa-apa?”

“Ya, aku tidak apa-apa.” Nyatanya Idris yang tadinya berdiri perlahan duduk bersandar ke tembok.

“Tetap saja aku tidak percaya denganmu.” Firdaus mendekati Idris dan meletakkan punggung tangan ke dahinya.

“Dahimu agak panas, Idris. Nampaknya kamu demam. Aku akan menelepon rumah sakit agar—”

“Tidak usah!” Firdaus hanya diam namun tetap mengambil ponselnya.

“Firdaus, sudah kubilang, jangan—”

“Ayah.” Idris terkejut sekaligus tenang. “Bisakah Ayah pergi ke Markas Pemadam sekarang? Bawa Idris pulang!” Firdaus mengembalikan ponsel ke sakunya.

“Bagaimana dengan rencana kita?” Suara Idris melemah. Nadanya pun terdengar gemetar.

Firdaus duduk di samping Idris. “Lupakan itu untuk saat ini. Sekarang, kamu harus istirahat. Yakinlah, urusan ini segera selesai.” Firdaus kemudian berdiri.

“Pak Ibrahim, jagakan dia sebentar ya. Aku akan ke sekolah, melihat mereka.”

“Ya. Bapak akan diam di sini. Bapak juga menunggu sebenarnya, tapi baiklah.” Ibrahim mengangkat bahunya. Firdaus kemudian berlari kecil menuju sekolahnya.

Tidak lama setelah Firdaus pergi, Ibrahim penasaran dengan keadaan Idris. Dia pun menyentuh dahi Idris untuk merasakannya juga. Idris terlihat agak marah. “Saya baik-baik saja.” Nada bicaranya masih gemetar.

Ibrahim kemudian masuk markas sebentar dan kembali dengan sebotol air mineral. “Minumlah,” ucapnya menyerahkan kepada Idris. Idris menyambutnya dan minum perlahan. “Saya akan ada di sini sampai ayah temanmu itu datang.”


Seseorang yang mengendarai motor menurunkan kecepatannya ketika mendekati Markas Pemadam, dan dia singgah tepat di depan Idris. Dia adalah Irsyad, orang yang berperan sebagai ayah bagi Firdaus. Firdaus adalah orang yang tersisa dari keluarganya setelah terbunuhnya sang istri, Tania dan sang anak, Andri.

Dari ekspresinya, dia sebenarnya berniat untuk meminta Idris naik namun setelah melihat wajahnya yang agak pucat, niat diurungkan dan mulai turun dari motor.

“Sini, saya bantu. Anda tetap di motor saja.” Ibrahim kemudian menaikkan Idris ke jok belakang motor itu. “Pegangan yang erat ya….” Ibrahim menepuk pundak Idris.

“Terima kasih,” ucap Irsyad memandang Ibrahim. Mereka pun pergi setelahnya.


Mobil bak terbuka itu kembali ke markas.

“Kenapa kalian begitu lama?” tanya Ibrahim menyambut mereka.

“Kami harus menunggu polisi selesai melakukan identifikasi di sumur itu dahulu, kemudian menguras air, membersihkan sumurnya, lalu mengisinya dengan air yang baru.” Siswondo menjelaskan.

“Siswondo benar, sumur itu ternyata buatan dan kami juga telah mengalirkan sumber air baru ke dalamnya.”

Ibrahim tersenyum. “Hari yang cukup melelahkan, bukan?”

“Mengapa kamu bilang begitu?”

“Tadi ada dua remaja yang berkunjung. Dari memanggil satu sama lain, namanya Idris dan Firdaus. Mereka berniat mencari Anda, Pak Taufiq. Entah apa tujuannya. Tapi yang pasti, Idris nampak kelelahan, mungkin akibat berjalan terlalu jauh.”

“Aku harap mereka akan menemuiku lagi nanti. Tapi sekarang, saatnya kita istirahat.” Taufiq memandang wajah Siswondo. Dia berpaling dan pergi begitu saja menuju loker.


Komentar