arrow_back

Detektif Sekolahan

arrow_forward

Selasa, 12 Mei 2020 – Dua orang remaja mengunjungi Markas Kepolisian Resor Kota Sukamawar. Mereka memperkenalkan sebagai siswa MA Sukamawar, masing-masing Muhammad Idris, siswa X Agama yang mengenakan kemeja putih, celana hitam, jubah dan topi bundar berwarna kecoklatan dan Ahmad Firdaus, siswa X Bahasa yang mengenakan kemeja biru lengan pendek dengan garis-garis putih. Mereka berniat untuk melaporkan sesuatu. Idris menyerahkan sebuah kertas, padanya kode QR dengan latar belakang bunga lily tertutupi salju.

“Apa ini?” tanya salah satu petugas yang berjaga. Dia adalah Komisaris Polisi Yanto, Kepala Satuan Samapta Bhayangkara.

“Coba pindai kode itu dengan kamera Anda, seharusnya mengarah kepada sebuah situs web,” ucap Idris.

“Terima kasih telah bergabung dalam progres. Winter Flowers akan membubarkan diri pada hari Minggu, 17 Mei. Hadiah total satu milyar rupiah tidak dapat disalurkan karena tidak mencukupi persyaratan permainan.” Kompol Yanto membacakan tulisan di situs web itu. “Lalu, apa tujuan kalian?”

“Apakah kalian sudah tahu tentang Winter Flowers ini?” tanya Firdaus. Suasana hening menyambut pertanyaan tersebut. Idris terlihat kesal mengetahui hal tersebut dan Firdaus menenangkannya.

“Mereka hebat,” ucap Idris menyeringai. “Sampai sekelas polisi pun tidak mengetahui mereka. Kita hanya beruntung bisa menghentikan tindakan kejahatan yang mereka lakukan.” Idris memandang Firdaus.

“Baiklah, Idris. Apakah perlu aku yang menjelaskan?” Firdaus maju, selangkah di depan Idris namun Idris menahannya.

“Kita akan meminta mereka memeriksa profil Winter Flowers ini sendiri saja. Aku yakin halaman ‘Tentang Kami’ itu masih ada. Gulir saja ke bawah situs, Anda akan menemukannya.” Kompol Yanto terlihat fokus terhadap situs itu dan terkejut.

“Yudi!” Kompol Yanto memanggil. “Ke sini!” Dia menunjukkan ponselnya kepada Komisaris Polisi Yudi, Kepala Satuan Reserse Kriminal. Waktu berlalu seiring mereka membaca halaman tersebut.

“Dapatkah kalian menjamin kebenaran isi situs ini?” tanya Kompol Yudi.

Idris dan Firdaus serentak menjawab, “Ya!”

“Jadi, apa tujuan kalian sebenarnya?” tanya Kompol Yanto.

“Anda sudah membaca di situs tersebut bahwa mereka akan membubarkan diri. Saya dan Firdaus mencurigai bahwa sebuah acara akan diadakan di Winter Garden dekat perbatasan sebagai penanda pembubaran tersebut,” ucap Idris.

“Kami takut jika masyarakat berkumpul di sana dan sesuatu yang buruk terjadi. Oleh karena itu, kami meminta bantuan kalian untuk melakukan penjagaan di Winter Garden pada hari yang telah ditentukan,” sahut Firdaus.

“Baiklah, kami terima tugas itu,” sahut Komisaris Polisi Bramasta, Kepala Satuan Intelijen dan Keamanan yang mendengar pembicaraan itu dari awal namun baru mendekat.

Seorang polisi yang keheranan mendekati Kompol Bramasta. Dia adalah Ajun Inspektur Polisi Satu Rai. “Kenapa Anda menerima hal itu? Bukankah lebih baik menyerahkannya kepada Reskrim karena telah banyak pembunuhan yang dilakukan mereka, atau Densus karena mereka bagi saya adalah teror bagi Sukamawar, bersama Brimob mungkin lebih baik, atau Sabhara yang memberikan perlindungan masyarakat?”

“Ayolah, Rai. Bukankah juga tugas kita mengamankan kegiatan sosial/politik masyarakat? Tugas Reskrim sekarang mengembangkan kasus jika benar mereka pelaku pembunuhan di beberapa tempat yang dua remaja itu maksud. Jika kita menurunkan Densus juga Brimob, saya khawatir mereka takut sehingga membatalkan acara itu. Tapi Sabhara?” Kompol Bramasta mendekati Aiptu Rai untuk berbisik. “Kita tidak akan meminta bantuan mereka kali ini. Saya mencium bau-bau penyusup di antara mereka.”

“Oh ya, apakah seorang pria bernama Abdul Hamid pernah bekerja di sini?” tanya Idris tiba-tiba.

Komisaris Besar Polisi Ahmad Isa mendengar pertanyaan itu dari ruangannya, terpancing untuk mendekat sambil membawa sebuah bingkai foto kecil di tangan kanan dan lencana di tangan kirinya.

“Apakah maksudmu orang ini?” Kombes Pol Ahmad Isa menunjukkan foto itu.

“Ya, itu orangnya,” jawab Idris dengan yakin.

“Dulu dia pernah bekerja di sini. Bergabung dengan Sat Reskrim, ketua tim forensik siber. Suatu hari, dia mengajukan pengunduran diri, namun tidak pernah menyebutkan alasannya. Aku masih ingat ketika dia melepas lencananya dan menaruhnya di atas meja.” Kombes Pol Ahmad Isa membuka genggaman tangan kirinya dan memandang lencana itu sebentar kemudian kembali menggenggamnya. “Dia pun pergi setelahnya dan aku tidak tahu lagi bagaimana kabarnya.”

“Kenapa kamu bertanya?”

“Saya hanya ingin membenarkan dugaan sebelumnya. Bahwa beliau dengan kemampuannya, bekerja atau dipekerjakan di sini.” Idris tersenyum, namun dapat dilihat bahwa dia menahan air matanya menetes. “Dan satu lagi. Perangkat lunak ciptaan beliau berupa hitungan mundur dicuri dan disalahgunakan oleh Bagus menjadi bom waktu untuk meledakkan gudang di MA Sukamawar. Saya menyadari hal itu karena sistemnya sama.” Idris pun pergi diikuti Firdaus. “Terima kasih atas bantuannya.”

Setelah mereka pergi, perdebatan itu dilanjutkan.

“Terus apa yang Anda inginkan? Kita menyamar dan pergi ke taman itu? Intelijen di Indonesia beda dengan di Amerika, Pak. Selama ini kita hanya mengurusi perizinan senjata api.”

“Kalian berhentilah berdebat dan kerjakan kasus yang kalian ambil alih itu!” perintah Kombes Pol Ahmad Isa sambil kembali ke ruangannya.


Beberapa anggota Satuan Intelijen dan Keamanan berkumpul di ruangan mereka setelah dipanggil Kompol Bramasta.

“Baiklah, teman-teman.” Kompol Bramasta berdiri di depan papan tulis putih sambil memegang spidol. Di sana sudah tertempel beberapa gambar. “Setelah berkomunikasi dengan Sabhara dan Reskrim yang lebih dahulu mendapatkan akses kepada situs web resmi Winter Flowers, informasi yang mereka berikan menunjukkan bahwa kita, Polresta Sukmawar sangat kecolongan atas hal ini. Sudah banyak kejahatan yang mereka lakukan, namun baru kali ini terbongkar dan kita hanya mendekati akhir dari masalah ini.”

“Kita mulai dari pemilihan nama organisasi yang berkaitan dengan anggota. Winter Flowers atau bunga musim dingin adalah sebuah metafora bagi orang melalui masa susah mereka. Bedanya, mereka membalas kesusahan mereka.” Kompol Bramasta melingkari tulisan di papan tulis.

“Ketika saya mengatakan kejahatan mereka banyak, malah mereka yang dengan beraninya merincikan seluruh kejahatan yang mereka lakukan. Salah satunya adalah mendirikan perusahaan farmasi secara ilegal untuk menciptakan berbagai obat-obatan namun beberapa bahan dilebihkan. Contohnya, mereka memproduksi Sitalopram dan Simetidin yang di mana dosis Sianida dilebihkan. Kita tidak mengetahui apakah obat itu sudah memakan korban atau tidak.”

Kompol Bramasta berpindah posisi kemudian menunjuk salah satu gambar seseorang. “Pria ini, dia bernama Bagus. Mantan kepala sekolah MA Sukamawar yang ternyata menjadi orang terkaya di kota sebelah, Kebun Melati. Dia telah membunuh dua orang. Tania, guru Bahasa Indonesia dan anaknya Andri yang juga berada di MA Sukamawar. Dengan kekayaannya, dia memiliki kekuasaan melebihi wali kota Kebun Melati itu sendiri dan aku curiga dia menyuap Kepolisian Resor Kota Kebun Melati sehingga kasus ini dibiarkan mengambang.”

“Kemudian remaja ini,” tunjuk Kompol Bramasta pada foto orang lainnya. “Namanya Zain, anak dari Bagus. Dia diangkat oleh ayahnya menjadi Wakil Ketua OSIS di MA Sukamawar sebelum sempat menghilang. Sama seperti ayahnya, dia telah merancang beberapa kasus bahkan membunuh Mustafa, temannya sendiri yang merupakan Ketua OSIS. Mayatnya ditemukan di dalam sumur belakang MA Sukamawar dan kebenaran akan hal ini dapat dijamin oleh Reskrim, terutama Kuncoro.” Kompol Bramasta memandang ruangan tengah, seolah ingin mengundangnya. “Tidak hanya di Sukamawar, dia juga melakukan kejahatan di Kota Pasir Putih. Dia telah membunuh Alif dan menaruh mayatnya di depan menara jam pusat kota. Dia juga merancang permainan bernama Progres sebelumnya, entah apa maksudnya.”

“Terakhir namun tetap penting, Mina Hamidah. Istri dari salah satu orang yang pernah bekerja di tempat kita, Abdul Hamid. Ketika salah satu remaja itu bercerita tentang perangkat lunak yang diciptakan Abdul Hamid dicuri oleh Bagus, istrinya sendiri pelakunya. Dialah yang menyalin perangkat lunak itu dari komputer sang suami dan menyerahkannya kepada Bagus. Sebagaimana yang telah dikatakan salah satu remaja itu, Bagus menggunakannya untuk meledakkan gudang. Saya tidak yakin dia meledakkan ruangan itu tanpa alasan, kecuali—kemungkinan besar—pembunuhan Tania dan Andri dilakukan dalam ruangan itu.”

“Untuk semua informasi ini, kedua remaja yang datang tadi telah menjamin kebenarannya. Jika ternyata salah, kita bisa pidanakan mereka berdua. Namun jika benar, operasi ini harus kita selesaikan, agar masalah ini tuntas sampai ke akarnya. Maka, persiapkan diri kalian untuk menghadapi hari Minggu nanti.”


Sabtu, 16 Mei 2020 – Masyarakat Sukamawar mendapatkan pesan dari nomor tidak dikenal. Para aparat di Polresta Sukamawar pun tidak luput dari hal tersebut. Isinya adalah undangan untuk menghadiri acara pembubaran yang mereka adakan di Winter Garden. “Kami akan menampilkan pertunjukan terakhir!”

“Apa maksud mereka?” Para aparat kebingungan.

Kompol Bramasta mengumpulkan anggotanya di ruangan. “Apakah kalian mendapatkan pesan itu?” Yang lain mengangguk, membenarkan hal tersebut.

“Saya yakin hal yang besar terjadi besok. Kalian benar-benar harus mempersiapkan diri sebelum berpencar. Jangan sampai hal yang tidak diinginkan terjadi.” Para anggota terlihat kesal karena tidak suka dikumpulkan hanya untuk hal ini. Mereka mulai membubarkan diri.

“Tunggu dulu!” ucap Kompol Bramasta. “Selama tiga hari belakangan, saya sudah menyelidiki hal tambahan mengenai Winter Flowers ini. Kecolongan yang kita alami nampaknya terlalu parah.” Kompol Bramasta berdiri di depan papan tulis.

“Kita kembali ke awal pembahasan. Pada pertemuan pertama, kita telah membahas tentang Sitalopram dan Simetidin.” Kompol Bramasta menunjuk satu titik di papan tulis. “Benar saja, obat-obatan itu telah memakan korban. Seorang wanita yang merupakan turis dari Jepang bernama Fuyumi ditemukan keracunan di dalam kereta dengan tujuan Kota Dingin – Kota Harapan. Informasi ini saya dapatkan dari kedua Polres. Kita tidak akan membiarkan hal ini terjadi lagi.”

“Dan Winter Garden itu, sebuah kasus terjadi sebelumnya, tepatnya pada 1 Maret 2020 yang lalu. Sebuah ledakan bahan kimia yang komposisinya sama dengan balsem produksi mereka. Salah satu korban adalah anak kecil. Rekaman CCTV dapat memastikan hal ini. Maka, kita benar-benar perlu bersiap untuk hal ini. Pastikan kalian memakai helm pelindung dan rompi anti peluru. Saya akan menanyakan skenario terburuk menurut kedua remaja itu, karena saya yakin, mereka juga hadir dalam acara itu sebagai pelapor.”


Minggu, 17 Mei 2020 – Hari yang ditunggu—namun sebenarnya tidak menginginkan keburukan—terjadi telah tiba. Satuan Intelijen dan Keamanan Kepolisian Resor Kota Sukamawar berpencar di Winter Garden sejak jam tujuh. Komisaris Polisi Bramasta sempat mengadakan pertemuan terakhir sebelum operasi dilaksanakan, dengan tujuan mengenali lokasi yang mereka amankan.

Setengah jam berlalu, kedua remaja itu datang, Idris dan Firdaus. Mereka berpakaian sama dengan saat melapor beberapa hari yang lalu. Kompol Bramasta yang menyadari kehadiran mereka, mulai mendekat.

“Sekarang, bagaimana skenario terburuk?” tanya Kompol Bramasta.

“Terjadi ledakan bahan kimia yang membakar kulit,” jawab Idris. Rupanya mereka menduga hal yang sama, batin Kompol Bramasta.

“Di mana posisi kalian nanti?” Idris memandang Firdaus.

“Di sini saja.” Firdaus menjawabkan sehingga pandangan Idris kembali ke arah Kompol Bramasta.

Kompol Bramasta pun melihat ke sekitar. “Kamu!” tunjuknya. “Jagain mereka, aku akan berjaga di belakang panggung.” Kompol Bramasta mulai berjalan ke tujuannya.

“Jangan sampai ada tembak-menembak!” ucap Idris dengan lantang tiba-tiba.

“Kalian dengar itu?” tanya Kompol Bramasta memandang semua rekannya yang telah berpencar. “Tunaikan tugas ini dengan baik.” Kompol Bramasta pun lanjut berjalan.

“Halo. Saya Ajun Inspektur Polisi Satu Rai, ditugaskan untuk menjaga kalian.” Aiptu Rai menyapa Idris dan Firdaus.

Waktu terus berlalu sampai menunjukkan jam delapan tepat. Berjalan dari samping panggung sebelah kanan, ada tiga orang yang naik. Bagus, Zain dan Mina Hamidah. Sat Intelkam seharusnya bersyukur sekarang karena para atasan dari organisasi kejahatan hadir semua di sini. Ini adalah kesempatan besar untuk menghentikan aksinya.

Aiptu Rai memandang ke arah panggung, namun posisinya yang berada di dekat Idris dan Firdaus membuatnya bisa mendengar pembicaraan mereka.

“Firdaus, dia ada di sini,” ucap Idris. “Ada kemungkinan dia tidak mengetahui kamu ada di sini, bagaimana menurutmu?”

“Aku akan tetap berada di sisimu sampai dia menanggapi kehadiranku,” jawab Firdaus. “Dari sana, kita akan mendapat kebenaran yang selama ini dicari.” Aiptu Rai sama sekali tidak memahami maksud pembicaraan mereka.

Dengung yang dikeluarkan mikrofon dan dehaman dari Bagus memulai semuanya. Saat itu, Bagus mengenakan pakaian dinas yang menandakan bahwa dia adalah wali kota. Aku rasa Pak Bramasta salah dalam menyampaikan penjelasan, batin Aiptu Rai.

“Kami adalah Winter Flowers, orang-orang terpilih yang telah melalui kesulitan selama hidupnya. Melalui pabrik kefarmasian, kami menyediakan obat dalam berbagai bentuk yang telah kami racik di pabrik sendiri. Melalui panti asuhan, kami membuat semua anak merasakannya dan membiarkan orang lain menikmatinya. Melalui hukum, kami mendirikan dinding dan menciptakan doktrin kebencian meskipun hanya antar dua kota. Melalui kekuasaan, telah kami bunuh orang-orang yang menghalangi kami.”

Aiptu Rai juga tidak memahami apa yang mereka maksud kecuali kalimat kedua dan terakhir. “Lihat, Firdaus.” Pembicaraan Idris kembali terdengar di telinganya. “Mereka mengakui kejahatan yang dilakukan. Apalagi yang ditunggu?”

“Sitalopram, Simetidin, dan balsem hanya permukaan dari yang mereka kerjakan. Panti asuhan, pantas saja Lily tidak mau ikut dan menetap di tempatnya. Dinding itu sekarang dihancurkan, begitu pula doktrinnya. Mustafa adalah salah satu contoh orang yang dibunuh setelah menghalangi mereka.” Aiptu Rai tidak mengetahui siapa Lily yang dimaksud oleh Idris, namun yang lain, dia mulai memahaminya karena sudah dijelaskan sebelumnya. Dinding yang dia maksud, Aiptu Rai menyadari bahwa itu adalah dinding perbatasan antar Sukamawar – Kebun Melati. Dalam perjalanan menuju Winter Garden, dia juga melihatnya sehingga mengerti kali ini.

“Belum semuanya,” jawab Firdaus.

Aiptu Rai terkejut. “Masih ada?” batinnya.

“Kami telah menyelamatkan banyak orang melalui proyek restoran yang kami bangun di kota kebanggaan kita semua.” Bagus melanjutkan pidatonya. “Kami juga telah membantu calon-calon Winter Flower selanjutnya melalui permainan daring yang membuat kemajuan bagi seluruh kota namun karena tujuan kami gagal, maka saatnya membubarkan diri.”

“Itu tragedi pada restoran di Kebun Melati yang pernah kita kunjungi, bahkan meracuni peminum es teh dengan menaruh racun pada es dan membiarkannya meleleh. Juga, menamai permainan daring mereka dengan Progres yang berarti kemajuan namun nyatanya dalam segi kejahatan.” Penjelasan Firdaus sangat tidak disangka oleh Aiptu Rai. Ternyata, masih ada kejahatan lain yang mereka lakukan namun tidak mereka ketahui. Dia juga heran, bagaimana Firdaus bisa mengetahui hal itu sedangkan mereka tidak.

“Meskipun kami membubarkan diri, bukan berarti orang-orang seperti kami akan berhenti. Winter Flowers akan terus tumbuh, tidak akan layu!” Bagus dengan lantang menyatakan hal tersebut. “Sebelum acara ini ditutup, Kami membuka sesi tanggap—”

Dor! Entah dari mana tembakan itu namun Bagus roboh ke arah belakang.

“Kompol Bramasta melapor kepada Aiptu Rai,” radio dua arah yang ada di tubuh Aiptu Rai mengeluarkan suara, dia pun mengambilnya, “8-7 saudara Idris dan Firdaus bahwa bukan saya yang melakukan tembakan, ganti.”

“Siap, 8-6!” Aiptu Rai menyahutnya. “Kalian mendengarnya?” Dia memandang Idris dan Firdaus.

“Jika bukan beliau, siapa lagi?” tanya Idris kebingungan.

“Dimas!” teriak Zain. Idris yang mendengar nama Dimas disebutkan sontak meliha ke belakang, diikuti oleh Firdaus dan Aiptu Rai. Aiptu Rai menyadari bahwa pakaian yang dikenakan Dimas adalah Pakaian Dinas Harian Polisi Tidak Berseragam, lengkap dengan Kalung Lencana Polri.

“Itu untuk tagihanmu yang tidak pernah dibayar,” ucap Dimas dengan lantang.

Aiptu Rai dapat melihat bahwa Zain marah saat itu dan membalas dengan tembakan sehingga merobohkan Dimas. “Lapor! Satu petugas gugur.” Aiptu Rai yang menganggap bahwa Dimas adalah bagian dari polisi melaporkannya di radio dua arah yang dipegangnya. Beberapa rekannya pun menarik Dimas ke tempat yang lebih aman sambil menahannya dari pendarahan.

“Pistol mereka sepertinya berasal dari sumber yang sama,” ucap Idris. Aiptu Rai tidak menyadari hal itu meski dia juga sempat melihat kedua pistol. “Kepolisian Kebun Melati,” sahut Firdaus.

Aiptu Rai terkejut sekaligus heran. “Bagaimana mereka tahu dari sekadar melihat bahwa logistik kedua pistol itu disediakan Polresta Kebun Melati?” tanya Aiptu Rai dalam batin.

Kompol Bramasta pun naik panggung dari arah belakang dan menjauhkan pistol dari tangan Zain kemudian memborgolnya. Zain saat itu sangat memberontak namun Kompol Bramasta tetap berhasil menahannya.

Suasana saat itu benar-benar kacau. Masyarakat yang berhadir riuh. Wanita dari panggung itu turun mendekati Idris dan Firdaus. Tangan Aiptu Rai sudah siap untuk menarik pistol melihat hal tersebut. “Mina!” teriak Zain yang dibawa turun panggung oleh Kompol Bramasta.

Anggota Satuan Intelijen dan Keamanan yang lain keluar dari tempat persembunyiannya dan menodongkan senjata ke arah Mina.

“Ingat permintaanku tadi!” teriak Idris. Senjata pun diturunkan.

Mina memandang Firdaus. “Bagaimana kamu masih bisa hidup?”

Firdaus pun maju selangkah sehingga berada tepat di samping Idris, sambil memandang Hana. Aiptu Rai membatasi mereka agar tidak terjadi hal yang tidak diinginkan meski sebenarnya dia tidak paham maksud pertanyaan Mina.

“Aku sudah membuangmu di dalam kardus, menuju Kebun Melati. Siapa yang memungutmu, pembawa sial?” Aiptu Rai tidak menyangka ucapan itu keluar dari mulut Mina namun dia dapat melihat ekspresi Firdaus tenang saja.

“Ada apa ini?” tanya Kompol Bramasta mendekat. Rupanya, dia telah menyerahkan Zain kepada rekannya.

“Bawa dia ke pengadilan. Kenakan Pasal 362 KUHP. Untuk buktinya, mungkin nanti akan saya bawa.” Idris mengucapkannya tanpa memandang Mina.

“Beraninya dirimu, Idris!” Idris hanya menunduk mendengar ucapan itu dari Mina.

“Dugaan kita yang buruk, ternyata membawa kenyataan yang lebih pahit,” ucap Kompol Bramasta. “Pasukan bubar, jalan!” Satuan Intelijen dan Keamanan mulai membubarkan diri. Aiptu Rai memilih untuk ikut dengan Kompol Bramasta.


“Bukankah sudah saya bilang, alangkah baiknya kita serahkan saja kasus ini ke satuan lain? Hal yang terjadi bahkan lebih buruk dari apa yang kedua remaja itu pikirkan.” Aiptu Rai mengatakannya ketika tiba di Markas.

“Itu bukan salah kita. Tapi paling tidak, pelaku kejahatan terbesar di Sukamawar telah tewas. Seharusnya kasus yang kita hadapi bersama tidak akan sesusah itu lagi,” sahut Kompol Bramasta.

“Ya, seharusnya,” pungkas Aiptu Rai.


Komentar