arrow_back

Detektif Sekolahan

arrow_forward

Senin, 23 Desember 2019 – Rumah Sakit Unit Daerah Pasir Putih mendapat panggilan yang diteruskan dari panggilan darurat. “Telah terjadi pembunuhan di hotel dekat pantai. Sesegeralah ke sini menjemput mayatnya agar memudahkan penyelidikan.”

“Baiklah, kami akan usahakan.”

Begitu pula dengan Kepolisian Resor Kota Pasir Putih. “Ya, dengan Polresta Pasir Putih. Ada yang bisa kami bantu?”

“Telah terjadi pembunuhan di hotel dekat pantai. Sesegeralah ke sini sebelum pelaku memakan korban lain.”

“Baiklah. Kebetulan ada tim kami yang patroli di sana sehingga bisa diutus ke sana. Tunggu sejenak selama kami menghubungi mereka.” Sang penelepon melihat pantai sambil mendengar ombak menderu.


“Bripda Pratama. Apakah Anda di sana?”

“Siap. Saya masih patroli dengan mobil bersama AKP Martin.”

“Apakah kalian bisa menuju ke hotel dekat pantai?”

“Kami sedang mengarah ke sana.” Mobil mulai melaju namun tidak berapa lama mereka mengerem mendadak. AKP Martin pun turun dari mobil setelah melihat keadaan yang tidak mereka sangka.

“Nampaknya badai yang menerpa daerah ini terlalu parah. Tidak hanya satu yang roboh, di depan kita masih banyak,” ucap AKP Martin ketika kembali ke mobil dan menutup pintunya. “Lapor saja.”


“Mohon maaf, kami tidak bisa segera ke sana. Padahal mereka sangat dekat dengan pantai namun mereka mengatakan jalan terhalang oleh pohon kelapa roboh akibat badai beberapa hari lalu.”

“Apakah tidak ada jalan lain?”

“Seandainya anggota kami yang lain diturunkan pun, nampaknya juga tidak bisa karena itu satu-satunya jalan menuju sana.”

“Baiklah.” Sang penelepon nampak kecewa dan pergi ke hotel.

Namanya Ahmad Firdaus, siswa MA Sukamawar tepatnya pada kelas X Bahasa. Dia memasuki hotel setelah meminta bantuan dari rumah sakit dan kepolisian. Penemuan mayat di ruang tengah sangat mengejutkan semua. Dia mendekati temannya, Muhammad Idris, sesama siswa MA Sukamawar namun pada kelas X Agama. Idris terlihat sibuk bertanya dengan orang yang ada di sana yaitu Amir sang pemilik hotel, Tirto dan Irma sebagai pelayan hotel dan Zain sebagai pengunjung. Idris seolah menjadi detektif yang akan menuntaskan kasus ini. Oleh karena itu, Firdaus tidak ingin mengganggunya dan hanya membisikinya informasi yang dia dapatkan.

“Polisi tidak bisa datang sekarang. Beberapa hari lalu, badai menerjang pantai ini dan jalan mereka terhalang oleh pohon kelapa yang roboh.”

“Bagaimana dengan ambulans?” tanya Idris sedikit memandang Firdaus.

“Kurasa mereka akan tiba sebentar lagi.” Kesimpulan itu diambil Firdaus setelah tidak mendengar perkataan yang diucapkan oleh kepolisian juga diucapkan pihak rumah sakit. Itu berarti jalan mereka tidak terhalang sehingga kemungkinan mereka berada di jalan yang berbeda.


“Kira-kira, siapa yang menelepon tadi?” tanya Sari, salah satu perawat yang ditugaskan untuk pergi ke hotel. “Kenapa kita harus menjemput mayat?”

“Pertanyaanmu akan terjawab ketika kita sampai di sana,” jawab Hendra yang pandangannya fokus pada jalanan.

“Masih jauh?” tanya Tina, perawat lain yang ada di ambulans itu.

“Tidak juga. Lagipula, yang kita jemput ini mayat, bukan keadaan darurat.”

“Kamu bawa spidolnya?” tanya Sari yang kemudian dijawab Tina dengan anggukan. “Siapapun yang menelepon kita, nampaknya telah menghubungi polisi sebelumnya sehingga kita diberi tugas ini.”


Ambulans itu tiba di hotel yang mereka tuju. Mereka menyalakan sirine sebelum sampai ke sana, untuk memberi tanda bahwa mereka sudah ada di sana. Firdaus menyambut mereka tepat saat keluar dari pintu belakang ambulans.

Sari memastikan spidol berada di tangannya dan terlihat terkejut karena tidak menduga seorang remaja yang menelepon mereka. Tina keluar setelah menyiapkan tandu dan Hendra keluar dari kursi supir setelahnya untuk turut membantu mengeluarkan tandu dan kantong jenazah. Mereka kemudian dituntun menuju ruang tempat kejadian perkara.

Sesampainya di sana, Sari pun bertanya, “Siapa pemilik hotel ini?”

Amir mengacungkan tangan dengan kebingungan sambil menjawab, “Saya!”

“Kami meminta izin sekaligus menyampaikan sesuatu. Kami telah berkoordinasi dengan pihak kepolisian dan kami diminta untuk menandai tempat mayat terbaring.”

“Jika itu prosedurnya, silahkan,” ucap Amir. “Aku ingin tahu siapa pembunuh bendaharaku ini.” Semuanya kecuali Tirto dan Irma cukup terkejut mendengarnya.

Sari pun mendekati mayat itu dan mulai menandai dinding tempatnya tersandar. Selama mereka sibuk, yang lain mulai memasuki ruangannya masing-masing. Kecuali Alif, dia keluar menuju tenda yang terpasang di dekat pantai. Mereka sangat sibuk dan fokus kepada mayat yang mereka hadapi, sampai melupakan pisau karena tidak pernah memandangnya.


“Jadi, apa yang akan kita lakukan? Bagaimana kalau kita diperlukan ke hotel itu?” tanya Bripda Pratama sambil menyandarkan kepalanya ke setir.

“Menurutku kita pulang saja dan meminta bantuan untuk menyingkirkan pohon-pohon itu. Kita akan beraksi saat fajar menyingsing, setelah menyiapkan segala yang diperlukan untuk pergi ke sana. Lagipula, kita belum tahu tugasnya.” AKP Martin meyakinkan.


“Kenapa kalian pulang?”

“Jalan kami terhalang. Bantu kami menyingkirkan pohon itu,” ucap Bripda Pratama.

“Mobil off-road kita masih diperbaiki juga bukan?” sahut AKP Martin. “Lagipula, kita perlu membahas apa yang sebenarnya terjadi karena aku sangat bingung akan perintah yang diberikan. Ke hotel? Untuk apa?” AKP Martin melepas topi dan menaruhnya di atas meja.

“Pembunuhan terjadi dan kalian tidak langsung ke sana? Bagaimana jika pelakunya berulah lagi?”

“Mana kami tahu?” AKP Martin terus menyahut namun kali ini dia menuang air ke gelas untuk meminumnya sebentar lagi.

Kombes Pol mendatanginya dengan tersenyum sambil membawa dokumen. “Itu hasil forensik korban pertama. Semoga itu menjelaskan semuanya.”

“Oh, oke. Terima kasih pak.” AKP Martin tersenyum balik kemudian menghirup airnya. Bripda Pratama yang melihat kejadian canggung itu mendekati AKP Martin. AKP Martin yang menyadari Bripda Pratama mendekat juga melihat dokumen itu dan menunjuk satu arah. Dia menghabiskan airnya dalam sekali teguk kali ini sementara Bripda Pratama menunduk.

“Dikatakan di sini bahwa korban meninggal akibat luka tusukan pisau, namun pisaunya belum ada di tangan kita.”

“Jangan-jangan, mereka lupa mengambil pisaunya?” Bripda Pratama terlihat gelisah.

“Pikir positif saja, Pratama. Mungkin mereka juga tidak bisa mengantarnya akibat jalan yang terhalang menuju kantor kita.” AKP Martin menepuk punggung Bripda Pratama. “Besok, kita akan tahan pelakunya.”


Selasa, 24 Desember 2019 – RSUD Pasir Putih mendapat telepon pada jam tiga dini hari. Sebuah tugas diberikan kepada tim yang telah melakukannya. Ya, mereka diminta untuk menjemput mayat yang berada di hotel tempat dijemput sebelumnya.

“Serius, pagi-pagi ini?” Sari kebingungan dengan tugas yang diberikan oleh pihak rumah sakit pada waktu itu.

“Sepertinya hotel itu menambah mayat baru lagi,” ucap Hendra dengan nada bercanda. Jenazah bendahara yang mereka jemput kemarin sudah diletakkan di ruang mayat.

“Siapapun pelakunya yang membunuh mereka, pasti dia memiliki dendam yang sangat besar.” Tina menaruh tangannya di dagu. Sari dan Hendra tersenyum melihat tingkah Tina sehingga dia pun tersipu. Mereka bergegas menaiki ambulans setelahnya.


“Nenyak tidurnya?” AKP Martin yang terlihat segar duduk di sebelah Bripda Pratama dan mengejutkannya yang baru bangun. Mereka memutuskan untuk menginap di kantor malam itu karena harus pergi ke hotel yang akan mereka temui sebelumnya. “Cuci mukamu segera. Jalan yang terhalang sudah diatasi. Rekan-rekan kita juga siap membantu.”

Bripda Pratama terlihat masih mengantuk karena terus menguap. “Nampaknya aku yang akan menyetir kali ini,” ucap AKP Martin tersenyum kecil melihatnya sambil melipat tangan di dada.


Kali ini, Idris yang menyambut mereka. Dia menuntun mereka mengarah kepada ruangan tempat jenazah Amir berada yang nampak seperti kantornya. “Maaf mengganggu kalian pagi-pagi ini. Kami tidak bermaksud demikian.” Idris berjalan kembali ke hotel dengan santai.

“Polisi belum datang?” tanya Sari.

“Belum. Tapi saya yakin mereka berusaha keras untuk menyingkirkan pohon yang menghalangi jalan,” Idris yang berjalan paling depan memalingkan wajah, “dan itu membuat saya berpikir, apakah RSUD dan Mabes berada di jalan yang berbeda?”

“Ya, kamu benar.” Idris terlihat memberikan senyuman dan berdiri di ruangan tengah, tepat di sebelah Firdaus. Dia hanya menyaksikan tim dari RSUD menyelesaikan tugas mereka.

Ketika tim itu mulai berangkat pulang, Idris berucap, “Terima kasih telah berkumpul di sini.” Suaranya terdengar sayup-sayup oleh tim itu.

“Apakah para remaja itu detektif?” tanya Tina.

“Jika ya, semoga mereka bisa menuntaskan kasus ini dan akhirnya usai,” jawab Hendri.


Para polisi tiba di hotel dekat pantai itu dengan membunyikan sirine sepanjang perjalanan yang sudah dimudahkan. Tiba-tiba, seorang pria berlari ke arah pantai diikuti oleh seorang remaja yang diketahui sebagai Muhammad Idris nantinya.

“Kejar dia, dia penjahatnya!” Idris berteriak kepada polisi seraya menunjuk dan terus mengejar. AKP Martin dan Bripda Pratama keluar dari mobilnya untuk turut mengejar.

Sementara itu, para anggota lain diminta bertahan di tempat oleh Firdaus. Dia memanggil dari dalam hotel. Polisi terkejut ketika melihat seorang wanita terkapar dengan luka tusukan yang dibabat agar tidak semakin parah. Terlihat wanita itu masih bertahan.

“Mbak Irma ini telah membunuh bendahara dan pemilik hotel ini. Jadi, mohon bawa beliau ke kantor.” Firdaus menunjuk pisau yang tergeletak di lantai. “Itu senjatanya. Sepertinya pihak rumah sakit dan kami selalu melupakannya. Kali ini, hal itu tidak akan terjadi.” Salah seorang polisi memakai sarung tangannya dan membalut pisau itu dengan sapu tangan yang dia bawa. Firdaus tersenyum karena berpikir bahwa mereka telah menyiapkan segalanya sebelum tiba di sini.

“Tunggu, bukannya temanmu tadi mengatakan orang yang berlari itu penjahatnya?”

“Dia Zain, anggap saja dia dalangnya. Dia yang mempengaruhi pikiran Mbak Irma sehingga melakukan tindakan tidak terpuji itu. Doakan dia berhasil tertangkap hari ini.” Polisi itu pun memborgol tangan wanita bernama Irma itu dan membawanya ke mobil.


Pandangan mereka terlindung oleh kabut pagi namun yang jelas pria itu terus berlari. Dia menemukan speedboat di pantai itu dan kabur dengan menaikinya. Bripda Pratama menembakinya namun tidak ada yang kena.

“Sial!” Idris mengucapkannya sambil duduk berlutut meninju pasir. “Baiklah, mungkin aku perlu kembali ke hotel.” Idris pun berdiri dan berjalan kembali ke hotel dengan kepala menunduk karena murung, menjauh daripada polisi yang berada di belakangnya.

Sementara itu, AKP Martin memarahi Bripda Pratama atas tindakannya. “Apa yang baru saja kamu lakukan? Tidak ada tembakan darinya namun kamu membalasnya? Kamu masih ngantuk ya?” Bripda Pratama menunduk. “Baiklah. Saya minta maaf.”

“Nampaknya kamu akan menulis laporan setibanya di kantor nanti.” Mereka terus berjalan sampai tiba di depan hotel. AKP Martin dan Bripda Pratama kembali ke mobilnya. Firdaus menyambut Idris yang masih menunduk. “Kamu nampaknya murung.”

“Ya, kami gagal menangkap Zain. Bagaimana dengan Mbak Irma?”

“Dia berhasil bertahan karena mas Tirto memberi jasnya untuk dijadikan perban. Dia kemudian dibawa polisi.”


“Irma, pelayan hotel.” Wanita itu terus menunduk selama di ruangan interogasi. Banyak hal yang mereka tanyakan tentang apa yang telah dia perbuat, sampai pada akhirnya dia terbukti bersalah.

Sementara itu, Bripda Pratama terlihat sibuk di mejanya. AKP Martin yang melihatnya berdiri untuk mendekat. “Aku bercanda.” Dia menarik tangan Bripda Pratama. Bripda Pratama memandangnya kebingungan. “Jika aku jadi kamu, aku pasti melakukannya juga. Dia penjahat ulung dari Sukamawar, dan dia lebih baik kalau tiada.”

Bripda Pratama terlihat masih bingung. “Jadi laporan ini terserahmu.” AKP Martin pun meninggalkannya dengan kembali menuju mejanya. Bripda Pratama tersenyum kecil. “Dia sangat unik. Terkadang santai, terkadang tegas.”


Selasa, 31 Desember 2019 – Kota Pasir Putih melanjutkan tradisinya dalam merayakan malam tahun baru. Kepolisian Resor pun sudah diberi perintah untuk mengamankan malam itu. Diduga saat itu akan lebih ramai dari tahun sebelumnya. Dugaan itu dimulai dari banyaknya masyarakat yang berkumpul di pantai beberapa hari terakhir.

Selain itu, sebuah kecelakaan terjadi pada 25 Desember 2019 lalu. Pohon cemara raksasa di pusat kota yang terinspirasi oleh Rockefeller Center Christmas Tree di New York City roboh dan menewaskan satu orang sementara tiga lainnya luka-luka. Kecelakaan yang sama dicegah agar tidak terjadi lagi dengan ditugaskannya beberapa bintara untuk menjaga tempat tersebut.

Polisi menjaga menara jam di pusat kota yang terinspirasi oleh Big Ben di London sejak pukul 21.00 waktu setempat. Keadaan begitu damai, sampai 23.59 ketika hitung mundur diteriakkan oleh masyarakat yang berkumpul di tempat itu. Ipda Pratama yang berada di sana sebenarnya agak mencurigai seseorang yang memegang kembang api tepat di depan menara jam, namun menghadap masyarakat.

Ketika hitungan mundur mencapai angka satu, terjadilah ledakan seperti bom asap dan membuat masyarakat agak panik. Ipda Pratama pun bertindak dengan mendekati sumbernya secara perlahan. Asap mulai hilang dan sesosok mayat terlihat sehingga masyarakat semakin panik. Rekan polisi lainnya menyadari hal itu dan segera menutupinya dari pandangan masyarakat dengan berdiri di sekitarnya.

“Harap tenang! Jangan panik” teriak Ipda Pratama. Hal itu seperti tidak didengarkan oleh masyarakat.


1 Januari 2020 - Mayat yang tergeletak setelah ledakan itu sekarang berada di ruang forensik RSUD Pasir Putih dan diselidiki sebab kematiannya. Mapolresta Pasir Putih heboh atas informasi itu. Banyak rekan Ipda Pratama yang protes atas keputusannya yang meminta sebab kematian mayat itu tetap diselidiki padahal sudah jelas sebagai akibat dari ledakan. “Dapatkan identitasnya saja sudah cukup. Bukankah itu kecelakaan?”

AKP Martin datang untuk membela dengan mengatakan bahwa letak luka berbeda. Orang yang memegang kembang api alias bom asap itu dengan mayat hasil penemuan bukanlah sama. “Aku yakin salah satu dari kita akan bertemu orang yang meyakinkan teori ini,” ucap AKP Martin memandang Ipda Pratama.

Ipda Pratama kebingungan. “Apa maksudmu?”

“Kita ditugaskan untuk mengamankan TKP sebentar lagi. Takutnya ada masyarakat yang tidak berkepentingan memasukinya dan merusak bukti. Jadi, siapkan dirimu, kita akan pergi.”


Ipda Pratama bertugas menjaga menara jam itu dan melihat kedatangan dua orang remaja yakni Idris dan Firdaus saat waktu menunjukkan dekat jam sembilan pagi tepat. Mereka berani menerobos garis polisi sehingga dia harus menghalangi. “Apa yang ingin kalian lakukan di sini?” tanyanya.

“Kami ingin melihat pemandangan dari atas menara ini,” jawab Idris.

“Tidak boleh,” jawab Ipda Pratama dengan singkat dan tegas.

“Bagaimana kalau bertukar informasi saja. Anda yang ke atas sana?” Firdaus memberikan solusi.

“Informasi?” Ipda Pratama tertawa kecil mendengarnya. Firdaus menyembunyikan kekesalannya saat itu kemudian menunjukkan sebuah foto dari ponselnya. “Anda mengenal dua orang ini?” tanyanya.

“Astaga. Yang satu ini benar-benar dicari di seluruh provinsi.” Ipda Pratama terkejut melihat foto itu.

Idris tersenyum kecil. “Yang mana?” tanyanya.

“Yang menyerahkan kembang api itu.” Ipda Pratama menunjuknya.

“Siapa dia?”

“Namanya Dimas. Dia menggelari dirinya sendiri sebagai ‘Sang Ilusionis’. Kejahatan yang dia lakukan selalu susah untuk dihalangi.”

“Kembang api yang diserahkan Dimas itu digunakan dalam kejadian malam kemarin.” Idris menjelaskan. Ipda Pratama memperhatikan foto yang ditunjukkan Firdaus sekali lagi dan seolah bersikeras bahwa mayat yang ditemukan tergeletak berbeda dengan Zain yang menerima itu.

“Memang beda, ada triknya, pak. Makanya kami ingin memeriksa dulu, seandainya benar maka saya bisa memberitahukan Anda triknya,” ujar Idris.

“Tapi, bagaimana keadaan mayat itu?” tanya Firdaus.

“Lengan kirinya hampir terputus, dan memar di belakang kepala dan punggungnya.” Ipda Pratama mengatakan hal tersebut berdasarkan pemeriksaan luar oleh dokter forensik ketika mengantar mayat itu ke RSUD. Firdaus nampak mencatat hal itu di ponselnya.

“Bagaimana sekarang?” tanya Idris. Ipda Pratama tetap melarang dengan alasan tidak ada jalan masuk. Idris terlihat kecewa dan mengajak Firdaus pulang bersama.

AKP Martin yang melihat hal itu dari kejauhan mendekati Ipda Pratama. Dia memberitahukan bahwa proses identifikasi telah selesai dan korban tersebut bernama Alif, seorang warga setempat yang sudah lama menghilang.

“Oh ya, siapa mereka barusan? Apa yang mereka lakukan?”

“Firasatmu benar, begitu pula teori kita.” AKP Martin terlihat kebingungan mendengar perkataan Ipda Pratama. “Kembang api yang dipegang itu adalah barang buatan buron, Dimas sang ilusionis.”

“Berarti pembunuh Alif pasti orang yang memegang kembang api itu,” ucap AKP Martin. “Dimas tidak mungkin melakukannya karena kenal saja tidak, bagaimana bisa mengkhianatinya sebagaimana motifnya terdahulu.”

“Sial!” Ipda Pratama tersadar.

“Ada apa?” tanya AKP Martin.

“Mereka sudah pulang dan bahkan tidak memperkenalkan diri kepadaku. Aku tidak bisa menanyakan siapa sebenarnya orang yang memegang kembang api itu kepada mereka.”

“Aku yakin merekalah yang akan menghentikannya. Kalau tidak, biarkan Tuhan yang membalas tindak kejahatannya.”


Komentar