Minggu, 14 Juli 2019.
“Zain, besok tahun ajaran baru di MA Sukamawar akan dimulai.” Keadaan Zain saat itu sangat kalut. Entah apa yang membuatnya menjadi demikian, sampai tidak memedulikan perkataan Bagus, ayahnya yang menjabat sebagai kepala sekolah.
“Memangnya ada apa? Bukankah aku lulus dan sudah menjabat sebagai pemimpin OSIS selama tiga tahun?” Tapi Zain berpikir lagi setelah mengucapkan hal itu. “Matsama….” Ada satu hal yang membuatnya lebih kesal.
“Bagaimana jika aku yang menjadi penanggung jawab Matsama tahun ini? Ada hal yang harus kulakukan.”
“Serius? Setelah perlakuanmu barusan? Aku tidak akan mengucurkan uang untuk hal ini.”
“Mustafa.” Zain menelepon Mustafa yang menjadi rekannya saat menjabat sebagai OSIS.
“Apa?”
“Kamu sibuk?”
“Tidak juga.”
“Pasang jas almamatermu. Kita akan meminta sumbangan hari ini.”
“Untuk apa?”
“Matsama yang kita ampu untuk terakhir kalinya.”
Tok tok. “Permisi.”
Seorang remaja lelaki membukakan pintu. “Ada apa?”
“Saya Mustafa, Ketua OSIS MA Sukamawar ingin meminta sumbangan untuk keperluan acara yang akan kami adakan.”
“Baiklah. Tunggu sebentar.” Pintu masih terbuka sedikit namun remaja lelaki itu meninggalkan mereka. Teriakannya memanggil ayah terdengar oleh Mustafa dan Zain. Seorang pria dewasa kemudian menyambut mereka dan Zain mendekat dengan kardus kosong di tangannya. Dia meletakkan uang sejumlah lima ribu rupiah. Mustafa dan Zain kemudian pergi dan sang remaja menutup pintu.
“Besok cepetin datang ke sekolah ya. Ada beberapa hal yang harus kusampaikan.” Zain meminta kepada Mustafa yang telah kelelahan dan duduk di bangku taman MA Sukamawar. “Nah, ini untukmu. Ambil mumpung aku masih baik.” Zain menyerahkan beberapa lembar. Mustafa langsung menyambutnya dan itu membuat Zain tersenyum menyeringai. “Pergilah sekarang sebelum aku berubah pikiran.”
Zain kemudian duduk di bangku dan menelepon ayahnya, Bagus.
“Apa lagi?” tanya Bagus yang nampaknya tidak suka terus ditelepon.
“Tidak banyak. Suruh OSIS yang menjabat agar datang ke sekolah lebih awal.” Telepon langsung dimatikan oleh Zain. Dia mulai berjalan menuju ruang multiguna yang akan digunakan besok.
Zain berada di dalam ruangan itu cukup lama. Yang pasti, dia mengubah dinding loker sehingga barang-barang di dalamnya bisa diambil dari luar dan mempersiapkan tirai hitam untuk latar panggung. Lampu sorot dia pastikan masih berfungsi dengan baik sebelum meninggalkannya.
Malam hari, Zain mulai merancang kasus sesempurna yang dia bisa. Dia bahkan sudah memiliki rencana agar Mustafa menjadi pelakunya dengan cara mengakui segalanya.
Senin, 15 Juli 2019.
“Selamat pagi semuanya. Kalian seharusnya sudah mengenalku sejak satu atau dua tahun lalu. Aku Zain dan hari ini semuanya harus berjalan di bawah rencanaku. Jika salah sedikit saja, aku tidak akan ragu untuk membunuh kalian dan jangan anggap pernyataanku ini hanya candaan. Paham?”
“Paham.” Anggota OSIS yang menjabat nampak tidak ikhlas menjawab.
Masa Taaruf Siswa Madrasah diselenggarakan di ruang multiguna, dibuka oleh Mustafa dan Zain. Rencana pertama dijalankan. Fokus para peserta dialihkan kepada pembawa acara yang melakukan pembukaan dan teman di samping.
Di saat mereka mengenal satu sama lain, anggota OSIS mulai beraksi. Mereka mulai mengambil barang-barang dari loker dan meletakkannya di tempat lain. Namun, mereka juga takut atas beberapa hal sehingga menaruhnya tidak begitu jauh.
Zain melakukan semacam patroli setelah acara pada hari pertama ditutup. Dia melihat dua remaja yang berhasil menemukan barang mereka dengan cepat di musala. Sebenarnya Zain tidak puas karena tidak menyangka anggotanya hanya menaruh sedekat itu. Tetapi karena dua remaja itu, Zain terpikir rencana baru yang sebenarnya hanya dimodifikasi.
Selasa, 16 Juli 2019.
Zain menculik dirinya sendiri di atas panggung. Lampu sorot dan latar tirai hitam benar-benar mendukung aksinya. Sarung tangan putih dan lengan pakaian hitam untuk menutup mulutnya dan mundur seolah sambil memberontak. Nyatanya, dia langsung melarikan diri melalui UKS di belakang Ruang Multiguna. Dia terus berlari dan berakhir di musala, tempat dia melihat kedua remaja itu menemukan barang mereka.
Dugaannya benar. Dua remaja itulah yang menemukannya lebih awal. Salah satu dari mereka bahkan menanyainya setelah memperkenalkan diri sebagai Muhammad Idris. Tentu saja Zain menjawab semua dengan kebohongan agar Idris berpikir bahwa Mustafa pelakunya. Dia lebih tidak sabar lagi ketika Idris ingin menyampaikannya besok.
Rabu, 17 Juli 2019.
Muhammad Idris dan Ahmad Firdaus. Zain sudah mendapatkan nama lengkap keduanya. Mereka bekerja sama pada hari terakhir Masa Taaruf Siswa Madrasah ini dan menunjuk Mustafa sebagai pelakunya.
Tapi ada satu hal yang berjalan tidak sesuai rencana Zain. Mustafa jatuh pingsan dan itu tidak ada di naskah dan Zain tidak pernah memberitahukan agar melakukannya. Zain terpaksa berimprovisasi.
“Ada apa sebenarnya denganmu?” Zain langsung bertanya saat Mustafa baru membuka matanya. Dia berbaring di kasur UKS.
“Aku yakin di antara orang-orang di sini, ada orang yang meneruskan ide kreatif Anda. Jika Anda mengarahkannya ke jalan yang benar.” Zain mengutip ucapan Idris. “Seharusnya kamu sempat menyanggahnya!” ucap Zain dengan marah.
“Aku … lelah….” Suara Mustafa terdengar lemah. Zain mulai kesal dan mengambil bantal dari bawah kepala Mustafa dan mulai menekan ke wajahnya.
Mustafa terlalu lemah dan tidak melawan. “Ah, ini tidak seru.” Zain melepasnya sementara Mustafa ngos-ngosan.
Zain melihat ponselnya. “Temui aku di belakang sekolah pada 29 September 2019. Jangan lupa.” Dia mulai berdiri dan menjauh. “Oh ya,” Zain berhenti, “semoga lekas sembuh.” Dia pun benar-benar pergi.
Minggu, 29 September 2019.
“Kamu datang juga.” Zain berdiri setelah duduk di bibir sumur.
“Ada apa memangnya?” tanya Mustafa yang datang dengan seragam sekolah karena dipaksa Zain.
“Kamu tahu besok tanggal berapa?” tanya Zain.
“Kenapa memangnya?”
“Mendekatlah.” Zain memanggil Mustafa. Mustafa mendekat dan Zain memukul kepalanya dengan satu batu bata di tangan kirinya sampai pingsan.
“Tidurmu nyenyak?” tanya Zain. Mustafa diikat dengan tambang sumur.
“Apa yang akan kamu lakukan?” Mustafa mulai memberontak sementara di tangan Zain sudah ada sebuah pistol. Mustafa pun semakin memberontak.
“Tenanglah. Ini Revolver dan isinya hanya enam.” Zain mulai menyiapkannya. “Tapi aku akan menghabiskannya.”
Tembakan demi tembakan seolah bergema di sekolah yang sedang libur pada hari itu. Sasaran tidak pernah luput dari jantung. Zain terlihat menikmati saat itu. Peluru habis, dan dia memutus tambang itu dan menjatuhkan Mustafa ke dalam sumur.
Minggu, 22 Desember 2019.
“Aku bosan.” Rasa kalut yang diderita Zain kambuh. Dia melihat jadwal dan hari itu ayahnya memberitahukan bahwa libur semester ganjil di MA Sukamawar sudah dimulai.
Zain memiliki ide. “Kita akan liburan ke sana bersama.”
“Ke mana?” tanya Bagus.
“Kota Pasir Putih,” jawab Zain dengan tegas, “tapi tidak hanya kita.”
“Pertama, kenapa harus Kota Pasir Putih? Kedua, siapa yang akan ikut?”
“Hotel Indah yang terletak tidak jauh dari Pantai Pasir Putih sedang mengadakan promo dimana mereka menggratiskan yang menginap di sana sampai tahun baru tapi hanya untuk beberapa orang pertama. Aku akan menghadiahkannya kepada Muhammad Idris dan Ahmad Firdaus dan kebetulan mereka peringkat pertama bukan?”
“Bagaimana kamu tahu? Bukankah kamu tidak berhadir saat pengumuman itu?” Bagus terkejut.
“Banyak hal yang tidak ayah tahu. Tapi yang pasti, aku mau ayah melakukan sesuatu nanti di sana jika diperlukan.”
Zain tiba di Kota Pasir Putih lebih awal, tepat setelah badai reda. Dia melihat menara jam dari kejauhan. Dia membangun tenda terlebih dahulu di dekat pantai sebelum menuju ke sana.
Di area menara jam, terlihat seorang pria sedang menyapu dedaunan gugur. Zain melihatnya dari jarak yang tidak begitu jauh kemudian mendekat karena melihatnya menyapu sambil mendengarkan musik dengan pengeras suara di telinga.
Jiwa predatornya bangkit. Zain menyiapkan pisau lipat yang dia bawa dan mendekat. Kesempatan semakin lebar melihat pintu menuju menara jam terbuka lebar. Zain menarik pria itu ke dalam menara dan mulai mengeksekusi. Dia keluar sendiri dengan percikan darah dimana-mana.
“Ah, namanya Alif rupanya. Aku akan menggunakan nama itu dalam penyamaranku kali ini.”
Tidur Zain di tendanya agak terganggu. Bukan karena nyamuk yang berkeliaran, tetapi suara wanita yang menangis. Dia bangun dan mendekati perlahan. Terlihat wanita itu hanya duduk memeluk lututnya dan memandang pantai.
Zain menyiapkan pisau untuk membunuh wanita itu dan dia sadar sampai Zain berpikir harus menyembunyikannya. Ternyata wanita itu tidak memandang dan Zain memperhatikan bahwa dia berpakaian seperti pelayan hotel dengan tanda nama Irma.
“Ada apa, Irma?” Zain bersikap seolah peduli, bertanya dengan suara dalam.
Irma terlalu larut dalam kesedihan, seolah memerlukan seseorang untuk diajak bicara sampai tidak memedulikan siapa orangnya.
“Amir—” Irma mengumpat saat itu. “Lelaki itu…” Dia mulai bercerita dan anehnya, Zain terus mendengarkan.
“Kenapa kamu tidak membunuhnya saja?”
“T-tapi—” Irma akhirnya memandang Zain.
“Karena jika kamu tidak membunuhnya, akulah yang akan membunuhmu.” Zain menyamakan tingginya dan menaruh pisau lipat itu tepat di depan matanya. “Dengan pisau sekecil ini, aku akan memastikan rasanya sakit karena kamu mati perlahan.”
Zain kembali berdiri. “Sampai jumpa besok. Di Hotel Indah, tempatmu bekerja.”
Senin, 23 Desember 2019.
Zain memasuki Hotel Indah dengan pakaian corak hijau, tas, kacamata hitam. Dia sebelumnya belum pernah berpakaian seperti itu sehingga andai berbohong akan identitasnya, siapapun akan percaya. Dia memasuki ruang tengah setelah turut mendengar teriakan yang menjadi penanda. Di sana, dia mengaku sebagai Alif, seorang pengunjung yang ingin bertemu dengan seseorang di hotel.
Zain sangat kesal saat keluar dari hotel. “Bagaimana bisa dia membunuh orang yang salah? Dasar wanita bodoh. Semoga dia besok berhasil melakukannya.”
Selasa, 24 Desember 2019.
“Alif.” Zain dibangunkan oleh Firdaus di tendanya. Saat melihat yang membangunkannya, Zain hampir mengumpat dan menyebut namanya namun teringat harus menyempurnakan penyamarannya.
“Apa?” tanya Zain.
“Kamu harus ke hotel segera.” Firdaus kemudian pergi dengan wajah menahan kekesalannya, tanpa menjelaskan tujuan Zain. Zain tersenyum menyeringai.
“Apakah mereka bermain detektif lagi seperti hari itu?” Zain mentertawakannya. Dia kemudian melihat ponselnya. “Ah, akhirnya sinyal ada juga.”
Zain menelepon Bagus. “Bersiaplah di pantai segera dengan pakaian yang telah kutentukan. Pastikan kapal cepat itu siap karena kamu harus berlari dan menaikinya.”
Zain melihat mayat dari celah pintu yang agak terbuka. Dia kemudian melihat pisau yang tergeletak. “Itu yang dipakai Irma? Haha, lemah.” Dia menahan tawanya dan mencoba larut dalam kejadian yang dia anggap sebagai sekadar permainan. Sampai di saat Idris dan Firdaus mengenalinya.
“Aku sudah menduganya,” batin Zain. Dia terus bermain.
“Dan Anda juga yang membunuh Kak Mustafa!” Tidak hanya Idris yang terkejut atas ucapan Firdaus, Zain juga sampai berpikir, “Dari mana dia tahu?”
“Apa alasanmu menuduhku?” tanya Zain melawan.
“Aku merasa penjelasan Idris salah ketika Matsama itu. Memang terlihat Anda diculik, tapi sebenarnya Anda menyembunyikan diri Anda sendiri ke musala karena itu tempat terdekat. Jadi sebenarnya, Andalah yang merancang kasus itu, namun dia mengaku itu rancangannya.”
“Sial, dia mengetahuinya.” Zain berpikir dalam keheningan. Sampai dia melihat Irma terlihat lega. “Bagaimana dia bisa tenang dalam keadaan seperti ini?”
Dia mendengar sirine polisi dan semakin panik. Zain mengambil pisau yang tergeletak itu dengan tangannya yang masih mengenakan sarung dan menusukkannya ke tubuh Irma. Zain melihatnya terduduk kemudian berlari ke luar.
“Kejar dia, dia penjahatnya!” teriak Idris sambil berlari.
Zain sempat melihat polisi yang tiba di sana namun dia melepas pakaiannya saat berlari dan menggantinya dengan yang baru sampai digantikan oleh Bagus yang ditepuk bahunya. Bagus yang keadaannya cukup buruk saat itu sampai sangat kurus berlari menuju kapal cepat itu. Rupanya Bagus berpakaian yang sama dengan Zain sehingga berhasil menipu Idris dan para polisi.
Selasa, 31 Desember 2019.
Zain masih bingung jasad Alif mau diapakan. Sampai dia teringat dengan temannya Dimas sang ilusionis. Mereka pun menyiapkan pertunjukan untuk malam itu, bertepatan dengan tahun baru.
Sebuah bom asap dimodifikasi sehingga mirip dengan kembang api akan dia gunakan. Itulah yang Zain nyalakan dan menarik Alif keluar dari dalam menara saat semuanya diributkan, sementara dia kabur melalui semak-semak.