arrow_back

Enam Tanda Tanya

arrow_forward

Penutup mata wanita itu disingkirkan. Ruangan itu begitu gelap dan hanya satu lampu sorot dari atas yang menerangi. Seorang pria dengan pakaian serba hitam lengkap dengan topi dan masker membawa kursi lipat di tangan kirinya. Dia kemudian membuka kursi lipat itu untuk duduk di depan sang wanita.

“Permainan dimulai,” ucap pria itu dengan suara dalam.

“Di mana aku? Siapa kamu?”

“Kamu sedang berada di sebuah tempat yang tidak diketahui orang banyak, namun tidak jauh dari pusat kota. Aku? Panggil saja aku, Sang Penanya.”

“Sang Penanya?”

“Kamu tidak bisa menanyakan yang sama lebih dari satu kali. Lanjutkan jika tidak ingin sesuatu yang buruk.”

“Kamu gila?”

“Aku menanggap kamu bertanya ‘Apakah kamu gila?’, maka jawabannya adalah tidak.”

Wanita itu memandang sang pria dengan ekspresi tidak percaya. “Kamu benar-benar gila!”

“Ini adalah kedua kalinya kamu menanyakan pertanyaan yang sama. Satu kali lagi, sampai jumpa….” Pria itu melambaikan tangannya.

“Baiklah…” Sang wanita pasrah dan menghela napas. “Kenapa aku bisa ada di sini?”

“Wah, sekarang kamu mulai paham cara mainnya.” Pria itu meregangkan lehernya dengan suara retakan yang cukup terdengar. “Sederhana, kamu memenuhi kriteria untuk menjadi korbanku.”

“Apa saja?”

“Gagal!” Sang Penanya berdiri. “Terima kasih telah bermain.” Dia kemudian menjatuhkan wanita yang duduk sedari tadi.

“Apa yang akan kamu lakukan?”

“Tenanglah. Meski kamu wanita, aku pria terhormat yang tidak akan melakukan lebih dari semua orang bayangkan dengan orang yang sama nasibnya sepertiku.” Sang Penanya mengatur kursi lipat itu dan mulai meletakkannya di leher wanita dalam posisi menjepit. “Lihatlah, permainan telah berakhir dan aku terus menjawabmu.”

Sang Penanya menginjak kursi lipat itu. Dia begitu menikmati suara wanita yang sedang dicekik.

“Kenapa kamu tidak menanyakan, ‘Bagaimana aku akan mengeksekusimu nanti?’. Dengannya kamu bisa bebas.” Wanita itu kemudian batuk darah sampai kehilangan nyawanya.


Masyarakat Kota Dingin untuk pertama kalinya heboh setelah ketidak pedulian mereka selama bertahun-tahun. Polresta bahkan turun tangan untuk menghadapi kasus yang satu ini.

Wanita itu, tulang lehernya patah sehingga terlihat agak terputus namun dikaitkan dengan sesuatu yang terlihat seperti kawat pancing.

“Siapapun pelakunya, dia benar-benar menginginkan perhatian kita.”

“Dia bisa saja membuangnya di hutan ini, bukannya menaruh di tengah jalan setapak yang menjadi jalan menuju pusat kota.”

“Aku takut dia pembunuh berantai yang akan mencari korbannya lagi setelah ini.”


“Brum. Brum.” Seorang gadis cilik memainkan topi bundar layaknya setir mobil sambil duduk di bangku taman. Nama gadis cilik itu ialah Lily. Anak yatim, dari ibu tunggal bernama Melinda atau mereka memberi gelar sebagai Ume.

Mereka yang dimaksud adalah sebuah organisasi kejahatan yang menamakan diri sebagai bunga musim dingin, mengaku telah melewati berbagai masa sulit padahal hanya ingin balas dendam. Sayang, Melinda terlibat di dalam organisasi tersebut sehingga harus ditahan bersama anggota yang hadir dalam pembukaan Winter Garden, taman tempat Lily berada sekarang.

Hari itu, Lily bersikeras tidak ingin tinggal di panti asuhan, sedangkan keluarganya sudah tiada lagi. Kota Dingin, penduduknya tidak jauh dari nama kota itu sendiri. Bahkan mereka mengurung Lily di bawah tanah meski terus memberinya makan karena percaya bahwa dia penjamin kebahagiaan. Tanpa Lily, Kota Dingin akan kehilangan kehangatan secara sepenuhnya.

Ada satu hal yang membuatnya tidak ingin ditinggalkan di panti asuhan. Trauma.

Semua teman sebayanya di sana mulai hilang satu per satu. Lily belum mengetahui apa yang terjadi sampai saat ini. Kehampaan dan kesendirian mulai meliputi Lily. Kesepian, duduk di satu sisi jungkat-jungkit tanpa ada orang di sisi lainnya.

Sampai 1 Maret 2020. Hari dimana Winter Garden dibuka. Lily bertemu dengan seorang remaja yang dia kira sebagai detektif karena pakaiannya berupa topi bundar dan jubah untuk membantunya mencari ibu karena sempat tersesat dalam keramaian. Meski tidak tahu nama remaja itu, Lily masih berterima kasih karena dia diberikan topi bundar itu.


Lily sedang berjalan menuju panti asuhan dengan segala kepahitan yang dia harus terima karena dia sangat tidak senang berada di sana. Hanya karena beberapa oranglah dia bisa bahagia.

Lily terus berjalan di jalan setapak itu sampai melihat kerumunan warga yang sangat jarang dia lihat, bahkan hampir mustahil sehingga itu membuatnya penasaran.

Dengan tubuh kecilnya, dia bisa melewati celah-celah di antara kerumunan itu. Sampai dia melihat apa yang mereka perhatikan sejak tadi.

Lily mulai meneteskan air mata sembari kilasan ingatan itu mulai muncul di benaknya. “Kak Heli?”

Seorang wanita dari Laboratorium Forensik memandang ke belakang di tengah-tengah pemeriksaannya yang hampir selesai. “Kamu mengenalnya?”

Lily hanya menangguk dari kejauhan.

“Sini,” ajak wanita itu. Lily mendekat perlahan.

“Wajar kamu takut atau curiga. Jadi, untuk menenangkan dirimu, izinkan aku memperkenalkan diri. Namaku Adelia, panggil saja Adel. Nama kamu siapa?”

“Lily.”

“Halo Lily!” Adel melambaikan tangan di depan wajah Lily dan itu membuatnya tersenyum.”Jadi, siapa ‘Kak Heli’ ini bagimu?”

“Kakak kandung. Dia sudah lama menghilang.”

Adel lebih terkejut. Dia pun mengajak Lily agar lebih menjauh dari mayat itu dan berbicara lebih lanjut.

“Maukah kamu menceritakannya?”

Lily mengangguk perlahan kemudian melepas topi dan memeluknya.

“Jadi, ibuku pernah bilang bahwa aku punya kakak wanita berlama Heli. Tapi akutidak pernah melihatnya. Nyatanya, rasa penasaran terus tumbuh sehingga aku terus berusaha untuk mencari tahu.” Lily berhenti sejenak dan melihat Adel seperti berpura-pura mendengarkan karena terus mengangguk. “Ringkasnya, aku menemukan album foto dan menemukan seorang wanita selain ibuku. Aku meyakini itulah kakakku.” Lily kembali memandang Adel sebagai isyarat bahwa ceritanya telah selesai.

“Turut berduka cita. Maaf telah bertanya.” Adel mengelus kepala Lily kemudian menunduk.

“Tak apa,” sahut Lily sambil tersenyum kecil.


Lily tidur sendirian di tengah ruangan panti asuhan itu. Sayang, kuncinya tidak lebih dari sekadar pengganjal yang bahkan bisa dibuka dengan dorongan yang cukup kuat. Sang Penanya memasuki panti itu dengan senter kecilnya. Dia mengangkat Lily secara perlahan.


Lily bangun perlahan dan melihat sekitar. Sebuah lampu sorot meneranginya dari atas dan membuatnya melindungi mata dengan tangan.

“Mereka membawaku ke bawah sini lagi?” Lily mulai duduk dan mengusap kedua matanya untuk melihat sekitar sekali lagi.

“Felix!” Lily memanggil sebuah nama sambil berdecak.

“Tunggu dulu.” Sang Penanya mendekat. “Siapa Felix?”

“Siapa kamu?” Lily memandang dengan wajah agak ketakutan.

“Jawab dulu pertanyaanku.”

“Felix adalah nama kucing peliharaanku. Warnanya putih.” Lily melihat sekitar untuk ketiga kalinya. “Ini bukan tempat itu?”

“Tempat itu?”

“Oh bukan. Jika ini tempat itu, mereka pasti memasukkanku ke dalam kurungan itu.” Sang Penanya tersentak.


Komentar