arrow_back

Enam Tanda Tanya

arrow_forward

“Iya…. Yang bundar dan berwarna coklat itu,” jawab Lily sambil membentuk lingkaran dengan kedua telunjuk.

Sang Penanya terdiam sebentar. “Ah! Yang itu!” ucapnya. “Itu tertinggal saat aku membawamu ke sini.”

“Tidak akan hilang bukan?”

“Memangnya kenapa kalau hilang?”

“Itu pemberian orang jadi pasti sangat berharga. Aku sudah pernah menghilangkannya sekali dan ingin mengembalikannya karena takut menghilangkannya lagi, tapi dia bilang kamu bisa memilikinya.”

“Lah? Bagus dong.”

“Tapi dia bukan pemiliknya!” Lily meluapkan kemarahannya. “Dia hanya teman dari pemberi topi.”

Sang Penanya sedikit kebingungan dengan cara pikir anak kecil ini sampai menghela napas sejenak.

“Baiklah. Aku akan menjamin kamu mendapatkan topi itu kembali dan memastikan bahwa sang pemberi benar-benar menyerahkan topinya kepadamu sehingga kalau hilang, itu tanggung jawabmu.”

Sang Penanya duduk menyamakan tinggi. “Siapapun namamu, dengarkan ini.”

“Ketika itu sudah menjadi tanggung jawabmu, kamulah yang harus menjaganya, bukan mengembalikan kepada pemberinya. Kamu bukan pencuri, jadi aku akan bersikap ‘sedikit lebih baik’ kepadamu.”

Lily mengangguk mendengarkan. Tapi tangannya yang bergerak terus di belakang menemukan sesuatu.

“Apa ini?” Lily membawanya ke depan agar melihat. Dia terdiam sejenak seolah teringat sesuatu.

“Bando Kak Heli?” Lily terdiam lagi. “Pantas saja rambutnya menutupi wajah.”

“Baiklah. Tanpa mengulur waktu lagi, permainan dimulai!”

“Permainan apa?”

“Wah!” Sang Penanya terkejut. “Kamu menyia-nyiakan kesempatanmu.”

“Memangnya kenapa?”

Kali ini Sang Penanya hanya bisa terdiam. Terlihat mulutnya hampir mengumpat namun menghela napas.

“Permainannya sederhana. Kamu harus bertanya kepadaku dan aku akan menjawabnya dengan jujur. Namun, ada beberapa hal yang tidak akan kuberitahu termasuk syarat permainan ini. Kamu harus mencari tahu sendiri dan kedua pertanyaanmu tadi benar-benar membuat kesempatanmu sia-sia. Intinya, jika kamu gagal, ada hukuman yang harus diterima.”

“Lantas, kenapa kamu selalu bertanya padaku?” balas Lily.

“Berbeda dengan pemain lainnya. Kamu baru saja membuatku tertarik. Jadi, aku akan menambah susah dengan kamu harus menjawab pertanyaanku. Sama seperti kebalikannya, kamu gagal jika menjawabnya tidak sesuai keinginanku.”

Lily hanya memandang sambil berusaha memahami. “Baiklah, aku paham sekarang.” Sang Penanya tersentak sekali lagi.

“Siapa kamu sebenarnya?”

“Panggil saja aku. Sang Penanya.”

“Nama yang unik. Sekarang, jelaskan bagaimana kamu membawaku ke sini?” tanya Lily dengan ekspresi serius.

“Sederhana. Kamu hanya kubopong.”

“Kapan?”

“Tepat di tengah malam.”

“Bagaimana dengan Kak Heli?” Lily menunjukkan bando itu.

Entah kenapa, Sang Penanya mengangguk puas.

“Tidak berbeda.”

“Di mana dia tinggal sebelumnya?”

“Tidak tahu. Aku hanya melihatnya keluar dari lorong yang menuju kereta bawah tanah itu dan menyadari dia sesuai kriteriaku.”

Sang Penanya kemudian diam sambil memandang Lily seolah menunggunya. Namun Lily malah turut diam. Sang Penanya terus menunggu selama beberapa saat kemudian bertepuk tangan. Dia pun pergi sebentar kemudian kembali dengan sebuah kotak kecil.

“Ini hadiahmu.”

“Apa ini?”

Sang Penanya membukanya dan menunjukkan sebuah kalung yang seperti gabungan angka enam dan simbol tanda tanya. “Ini hanya kalung sebagai kenang-kenangan. Kenakanlah dan jangan tunjukkan kepada siapapun.” Sang Penanya malah langsung memasangkan ke leher Lily. “Beda dengan yang lain, aku akan memperbolehkanmu menunjukkannya asal diminta oleh orang lain, baik kamu kenal atau tidak. Jadi, jangan tunjukkan secara sembarangan atau kamu akan berakhir seperti orang yang kau panggil Kak Heli itu.” Dia selesai memasangkannya. “Anggap saja fungsi kalung itu seperti kunci jawaban.”

“Aku akan memberitahukan cara bermainnya kepada setiap orang yang kutemui agar mereka tidak berakhir seperti yang kau inginkan.”

“Tidak boleh!” Lily memandang dengan mata memelas.

“Pengaruhmu tidak sekuat itu,” sanggah Sang Penanya.

“Peraturan yang telah kusiapkan sejak lama, menjelaskan bahwa mereka yang selamat dari permainan hanya boleh menceritakan apa yang terjadi ketika ditanya tanpa menjelaskan permainan itu sendiri dan caranya.”

“Itu berlaku juga untukmu, anak kecil,” Sang Penanya mengucapkannya dengan tegas tetapi Lily malah menguap.

“Karena kamu berhasil, tidurlah. Aku tidak akan mengganggumu lagi.” Sang Penanya langsung meninggalkannya.

Di kamarnya, Sang Penanya hanya membanting kursi lipat yang sudah dia siapkan. Dia terlihat sangat kesal karena gagal.


Lily membuka mata perlahan. Dia kemudian langsung duduk dan memandang ke belakang setelah merasakan sesuatu yang aneh mengganjal kepalanya.

“Topiku!” Lily langsung memeluknya. Tapi dia langsung teringat kejadian malam tadi.

“Ketika itu sudah menjadi tanggung jawabmu, kamulah yang harus menjaganya, bukan mengembalikan kepada pemberinya.” Hal itu seolah terngiang di telinganya dan membuatnya memeluk topi itu lebih erat.

“Meong.” Suara kucing terdengar dan membuat Lily memandang ke sekitar. Kucing putih itu mendekat perlahan.

Lily mengenakan topinya dan memeluk kucing itu. “Felix!” Dia melepasnya. “Tubuhmu kurus,” ucap Lily cukup terkejut kemudian terus membelai. “Maafkan aku mengiramu telah hanyut setelah banjir yang satu itu. Itu salahku yang meninggalkanmu.” Dia bahkan meneteskan air mata.

“Tapi bagaimana kamu bisa ada di sini?” tanya Lily. Dia diam sejenak kemudian teringat lagi. “Jangan bilang….” Lily langsung mencari sesuatu di lehernya sampai seseorang tiba dan agak mengejutkannya.

“Kak Anto?” Lily berhenti dan langsung memeluk orang itu. “Kakak ke mana saja?” Dia menggoyang-goyang tubuh Anto sambil menangis. “Sejak kakak pergi dari sini, semua temanku juga menghilang satu per satu!”

“Maafkan kakak. Kakak baru kembali dari Kota Harapan. Mulai sekarang, kamu tidak akan sendirian lagi di sini.” Anto kemudian melihat kucing putih kurus berbaring. “Itu kucingmu?” Kucing itu terus berjalan mendekat.

Lily masih memeluk Anto. “Kak, aku takut….”

“Kenapa?”

Lily baru saja akan bercerita namun teringat lagi. “…hanya boleh menceritakan apa yang terjadi ketika ditanya….”

“Aku sepertinya mimpi buruk.”

“Kalau begitu jangan ceritakan. Cukup untukmu saja. Pasti ada hal yang bisa kamu pelajari dari mimpi itu,” kata Anto. Lily pun mengangguk.

Kucing itu telah sampai di samping Lily dan Lily mengambilnya.

“Astaga. Kucingmu kurus sekali,” ucap Anto terkejut. “Kamu tinggal di sini, ya…. Biarkan aku—” Lily terus memandang. “Maksudku kita akan ke restoran sama-sama. Siapa tahu mereka memiliki makanan terbaik untuk kucingmu.”


Lily memasuki restoran itu. Dering lonceng terdengar saat dia mendorong pintu.

“Selamat datang,” sambut sang kasir.

Lily berjalan mendekat. Perhatian orang-orang yang sedang makan tiba-tiba berhenti dan terus memandangnya. Mungkin bagi mereka, itu adalah pertama kalinya melihat anak kecil memasuki restoran.

“Permisi.”

“Ya, ada apa?”

“Apakah kalian memiliki sesuatu untuk dimakan kucingku?”

Anto yang masih berlari masuk dan mendekat dengan ketegasan. “Awas jika kamu menaruh sesuatu yang lain.” Lily hanya memandang sambil membelai kucingnya.


Komentar