“Anto! Lama tidak berjumpa!” Rupanya sang kasir mengenali Anto.
“Kamu tidak banyak berubah, Agung.” Anto menyeringai. “Tapi kenapa kamu sekarang menjadi kasir dengan pakaian yang lebih sederhana seperti ini? Bukankah dulunya pelayan? Jas biru gelap dengan dasi kupu-kupu merah diapakan?”
“Ya, sebelum kasir pergi dari kota ini. Jadi, setelan itu tersimpan dengan baik di lemariku.”
“Kalian saling mengenal?” tanya Lily polos.
“Kurang lebih seperti itu,” sahut Anto sambil memperhatikan pandangan Agung yang tidak bisa mengalihkan penglihatannya dari Lily. “Halo? Kamu lupa apa yang harus dilakukan sekarang?” Anto melambaikan tangannya di depan mata Agung hingga tersentak.
“Oh iya. Maafkan aku. Tunggu sebentar.” Agung meninggalkan meja kasir. Tidak lama kemudian dia kembali dengan sepiring daging.
“Apa itu?”
“Daging ikan mentah.”
“Mentah? Apakah kamu bodoh? Tidakkah kamu melihat kucing ini sudah kurus dan sekarang ingin membunuhnya?” Anto marah. “Masak segera.”
Agung memandangnya terdiam. “Wah, padahal aku berencana memberikannya secara cuma-cuma. Tapi, jika kamu ingin daging itu dimasak, maka harus bayar.”
Wajah Lily terlihat sedih sambil terus membelai Felix. Dia meraba-raba baju untuk mencari saku dan menyadari tiada uang bersamanya.
“Aku akan membayarnya,” ucap Anto.
“Baiklah. Aku akan membawanya ke dapur terlebih dahulu.”
Selama menunggu, Lily yang agak lelah berdiri mulai duduk dan bermain dengan kucingnya. Anto mulai mendekat kepada seorang pelanggan yang begitu serius dalam membaca buku menu.
“Apa saja yang dijual di sini?” tanya Anto turut penasaran. Pelanggan itu memandangnya dengan diam kemudian melirik kepada buku menu yang tidak terpakai di atas meja.
Anto pun membukanya dan mulai membaca secara memindai. Pandangannya kemudian fokus kepada menu di sebelah kiri bawah halaman pertama.
“13. Sup manusia.” Anto agak terkejut. “Apa ini?” Dia menunjukkannya kepada pelanggan itu.
“Aku tidak tahu bahannya apa,” Anto langsung mengetahui bahwa pelanggan itu berbohong tapi dia terus mendengarkan, “tapi rasanya paling enak di antara menu-menu yang lain. Anehnya, akhir-akhir ini, rasanya agak berbeda dari biasanya.”
“Anto!” panggil Agung. Anto dan Lily memandang bersamaan. “Pesananmu telah siap.”
“Berapa?” tanya Anto mendekat.
“Dua puluh ribu rupiah,” jawab Agung dengan santainya. Anto sempat terkejut dengan harganya dan mengira Agung melebih-lebihkan, namun demikianlah yang tertulis di buku menu dan itu mengingatkannya akan sesuatu.
“Bisakah aku menanyakan bahan dari menu nomor tiga belas?” tanya Anto.
“Mana aku tahu.” Anto juga dapat melihat kebohongan pada jawaban Agung. “Tanyakan koki kami, Dani. Jika dia mau memberitahukannya.” Agung kemudian menyeringai. “Sekarang, bayar!”
Anto langsung menyerahkan selembar uang senilai dua puluh ribu rupiah dengan cukup kasar kemudian berpikir sejenak. “Bisakah kamu membungkusnya? Kami akan membawanya pulang saja.”
Agung langsung memasukkan pesanannya ke dalam kantong kertas dan meninggalkan piring.
“Ayo Lily. Kita pulang dulu.”
Anto dan Lily telah tiba di panti asuhan. Lily langsung mencari mangkok tak terpakai di dapur dan langsung menumpahkan ikan goreng itu ke dalamnya. Dia mengambilnya sepotong untuk dimakan dan sisanya untuk Felix. Lily turut duduk untuk memandangnya makan.
“Lily.”
“Ya, Kak Anto?” sahut Lily sambil memandang.
“Kenapa kamu bisa ada di sini lagi? Bukannya sebelum kakak pergi, kamu bilang mau tinggal sama ibumu?”
“Ibuku ditahan karena ikut … apa namanya? Hama … apalah itu.” Yang ingin Lily sebut adalah Hamamelis mollis, nama alternatif dari organisasi jahat itu. “Jadi, sejak saat itu, rumahku sudah disegel oleh polisi. Di depan pintu, tali kuning itu terbentang sejak lama. Karena itu, aku memutuskan kembali ke sini saja walau sangat benci tempat ini, terlebih lagi di bawah sana.”
“Bawah sana?”
“Aku dikurung oleh masyarakat di bawah tanah.”
Anto terkejut. “Lalu, bagaimana kamu makan?”
“Pokoknya, warga sekitar ada saja yang memberikan makanan.”
Anto terdiam sejenak kemudian mendekat kepada Lily dan menyamakan tingginya. “Oh ya, kamu bilang, sejak kakak pergi, semua temanmu menghilang?”
“Ya. Aku juga penasaran ke mana mereka pergi.”
“Begini. Aku merasa ada seseorang yang ingin mencarimu nanti. Jadi, aku ingin mulai malam ini, kamu kembali ke rumahmu.”
“Bukannya terkunci?”
“Aku akan mengusahakannya. Jadi, sore nanti, pergilah ke sana. Jangan hiraukan garis polisi itu.”
“Halo, Koki Dani.”
“Oh?” Koki Dani terkejut setelah memotong daging. “Kenapa kamu masuk?”
“Aku sudah minta izin dengan Agung.”
“Oke. Ada apa?” tanya Koki Dani sambil menaruh pisau di talenan.
“Menu nomor tiga belas. Apa saja bahannya?”
“Sesuai namanya.” Anto terkejut saat mendengar jawaban itu. “Tahukah kamu, yang masih muda itu sangat enak.”
Anto menahan marahnya. “Bagaimana kalian bisa mendapatkannya?”
“Panti asuhan. Anak-anak ditinggal di sana tanpa penjagaan. Agung mengaku, sangat mudah baginya untuk menculik semua anak itu.” Jawaban dari Koki Dani semakin membuat Anto geram sehingga dia mulai mengepalkan tangannya. “Tapi stok di sana mulai habis. Akhirnya, aku terpaksa menggunakan daging lain.”
“Kau tahu?” Anto memandang Koki Dani dengan serius. “Andai ini bukan restoran satu-satunya dan kamu juga bukan koki terkenal di kota ini, aku pasti akan membunuhmu.”
“Hah!” Koki Dani menertawakan Anto. “Mana mungkin orang sepertimu akan membunuh. Menghadapi ucapanku pun, kamu gentar.”
Anto menyeringai kemudian pergi meninggalkan Koki Dani.
Petang itu, Lily mempersiapkan diri untuk pergi dari panti asuhan menuju rumahnya. Dia pun membawa Felix bersamanya. Jalanan memang tidak begitu ramai, namun setiap warga yang lewat tidak pernah menyapanya dan menatapnya dengan mata dingin.
Seperti itulah Kota Dingin. Tidak hanya temperaturnya yang lebih rendah dibanding kota lain di provinsi ini, masyarakatnya juga bersikap demikian.
Dia sampai di depan rumahnya yang masih terbentang garis polisi. “Lah, kenapa lampunya menyala?” Lily lebih terkejut lagi ketika pintu rumah itu bisa dibuka padahal seharusnya terkunci.
Lily terus menjelajah rumah sampai menemukan pesan tempel di pintu kulkas. “Maaf, tapi Kak Anto harus pergi.” Lily membukanya dan kulkas itu penuh dengan makanan sehingga membuatnya terharu.
Agung terbangun setelah penutup matanya dilepas. Kali ini, banyak yang berbeda.
Tubuh Agung diikat di sebuah tiang. Alih-alih lampu sorot yang mengarah padanya, sebuah lenteralah yang menjadi penerang di ruangan gelap itu.
Sang Penanya duduk di kursi lipat tepat di depannya sambil memainkan penutup mata dengan tangan kiri. “Kita tidak akan bermain hari ini.”
“Siapa kamu?”
“Panggil aku Sang Penanya.”
“Sang Penanya? Haha.” Agung menertawakannya.
Di samping Sang Penanya, ada palu godam dan senter kecil. Dia mengambil senter dengan tangan kiri terlebih dahulu setelah membuang penutup mata, menyalakannya dan mengarahkan cahaya kepada tiang di sampingnya.
“Koki Dani?” Agung melihatnya terkejut kemudian tersadar. “Kamu pasti Anto.”
“Siapa Anto? Sudah kubilang, panggilanku Sang Penanya.” Dia kemudian mengambil palu godam dengan tangan kanan dan memainkannya dahulu. Tanpa ragu, dia mengarahkan pukulannya kepada Agung. Agung ketakutan sehingga menutup matanya.