arrow_back

Enam Tanda Tanya

arrow_forward

Tidak ada apa-apa yang terjadi. Agung pun membuka matanya perlahan. “Kenapa?”

Sang Penanya menarik kembali palu godam itu.

“Dugaanku benar kah?” tanya Agung dengan percaya diri.

“Apakah kamu menyebut Anto?” Sang Penanya berdiri sambil melipat kursi dan membawanya.

“Jangan pura-pura tidak tahu. Itu kamu sendiri bukan?” Agung mulai marah tapi Sang Penanya malah meninggalkannya.

Sang Penanya berjalan untuk menyalakan lampu sorot. “Apakah ini yang kamu maksud?” Lampu sorot itu menyinari di kejauhan, seorang pria yang terbaring lemah. Genangan darah seakan menjadi kasur bagi pria itu. Sang Penanya memandangnya kemudian kembali mendekati Agung.

“Anto?” Agung tersentak setelah meyakini apa yang dilihatnya.

Sang Penanya membuka kursi lipatnya dan duduk sambil memainkan palu godam. Kali ini, dia duduk tanpa menghalangi pandangan Agung. “Seperti apa kamu ingin berakhir? Di samping atau depan?”


Lily terus menjelajah ruang makan itu dan melihat sekarung makanan kucing lengkap dengan mangkuk yang sudah terisi. Dia pun melepas Felix dari pelukannya.

“Felix, sekarang kita tinggal di sini, ya?” Dia membelai sekali dan melepaskan kucingnya. Felix langsung berlari menuju mangkuk makanan dan melahapnya. “Kamu masih lapar rupanya.”

Pandangan Lily mulai liar seiring melihat rumah yang sudah lama tidak tinggali. Dia menyadari bahwa ada tudung saji di atas meja makan sehingga berusaha menaiki kursi.

Ketika Lily membuka tudung saji itu, ternyata isinya hanya sebuah catatan. “Halo Lily. Ini Kak Anto.”

Kecerdasan Lily didapatkannya dari panti asuhan. Pada usianya yang sekarang menjelang tujuh tahun, dia sudah cukup mahir membaca tanpa terbata-bata.

“Kakak harap kamu telah membaca pesan di pintu kulkas dan melihat isinya. Makanlah kapanpun kamu mau. Begitu juga kucingmu.”

“Kakak harus pergi lagi karena masih ada urusan yang harus diselesaikan. Maaf jika kakak tidak kembali.” Lily berhenti membaca di sana karena kebingungan. Tapi dia kemudian memutuskan untuk lanjut.

“Sekarang, kamu tidak perlu khawatir lagi tinggal di sini. Bahkan, kamu boleh pergi ke mana pun.”

“Apa maksud Kak Anto, dia harus pergi lagi? Maaf jika tidak kembali?” Lily memikirkan kalimat itu lagi. “Aku harus kembali ke restoran itu. Kasir bernama Agung itu pasti mengetahui ke mana pergi Kak Anto.”

“Felix, apakah kamu mau ikut?” tanya Lily sambil turun dari kursi. Dia melihat Felix berbaring dan tidak menanggapinya.

“Felix?” Lily berlari menuju kucing putih itu dan mulai menggoncang tubuhnya. Felix membuka matanya dan mengeong marah.

“Maafkan aku.” Lily membelai Felix seiring dia kembali tidur. “Aku tidak ingin sesuatu yang buruk terjadi padamu.” Lily lebih tenang sekarang. “Aku akan pergi besok juga, karena sudah malam.”


“Aku tidak mau seperti keduanya!” Agung berusaha melawan.

“Tidak boleh!” sahut Sang Penanya tegas. “Jika kamu memang tidak mau, tetap saja harus memilih salah satu.”

Agung mulai memandang kedua korban lain dari Sang Penanya yang sedang berada di tempat misterius sama. Dia berpikir untuk membandingkan antara mereka.

“Aku memilih seperti di sampingku.”

“Baiklah.” Sang Penanya terlihat terkejut. “Karena kamu sudah memilih sepertinya, maka permainan dimulai.”

Agung tidak bisa berkata-kata sambil memandang Sang Penanya. “Kira-kira, apa salah orang di sampingmu sehingga berakhir seperti itu?”

“Asal kamu tahu, aku dapat mengetahui jika kamu berbohong.” Agung terlihat tidak percaya dan menyeringai namun Sang Penanya terus lanjut. “Jika kamu berbohong, aku akan menghukummu dengan setiap langkah eksekusi orang di depan.”

“Jadi, aku mengulang pertanyaanku. Apa salah orang di sampingmu sehingga berakhir seperti itu?”

“Aku tidak tahu.”

Sang Penanya langsung memukulkan palu godam itu ke bagian perut Agung. Dia mengerang dan mulai batuk darah. “Yakin tidak tahu? Itu masih langkah pertama. Masih banyak langkah sebelum orang di depanmu berakhir.”

“Kesalahannya adalah membuatku terseret dalam masalah ini.”

Sang Penanya berdiri sambil melipat kursinya dan memukulkan ke kepala Agung berkali-kali. Pukulan itu sangat keras sampai tiang yang menjadi tempat Agung diikat turut bergetar. Akibatnya, Agung mulai kehilangan kesadaran.

Sang Penanya kembali berjalan menuju korban kedua. Dia merogoh sesuatu di pakaiannya. Ternyata, itu adalah perekam suara. Sang Penanya duduk di kursi yang sudah agak penyok itu dan memainkan hasil rekaman.

“Menu nomor tiga belas. Apa saja bahannya?” Rupanya itu adalah rekaman ketika Anto masuk di dapur.

“Sesuai namanya,” jawab Koki Dani. “Tahukah kamu, yang masih muda itu sangat enak.”

“Bagaimana kalian bisa mendapatkannya?” tanya Anto.

“Panti asuhan. Anak-anak ditinggal di sana tanpa penjagaan. Agung mengaku, sangat mudah baginya untuk menculik semua anak itu.” Koki Dani menjawab dengan santainya. “Tapi stok di sana mulai habis. Akhirnya, aku terpaksa menggunakan daging lain.” Rekaman itu dihentikan di sana.

“Sekarang, kamu tahu kesalahanmu?” Sang Penanya mulai menyiapkan kursi lipat itu untuk menjepit kaki kiri Agung. “Akuilah sekarang. Kalian bekerja sama untuk melakukan itu.”

“Dimulai dari kamu, Agung yang menculik mereka. Kemudian Koki Dani memutilasi demi menu bodoh itu.” Sang Penanya terlihat serius. “Kamu kira aku, Sang Penanya, mudah mencarimu?”

“Memangnya kenapa jika aku mengaku?”

“Aku akan memberimu hadiah.” Agung menertawakan. Sang Penanya bersiap untuk menginjak kursi itu. Kaki Agung berusaha keras memberontak, namun kursi itu tidak bisa terlepas dari kakinya.

Rupanya Sang Penanya hanya menipu. Dia pun menertawakan hal itu sambil tunduk untuk memasangkan kalung berbentuk tanda tanya ke leher Agung. Tetap saja, Agung terus memberontak. Tapi kalung itu sudah tidak bisa dilepaskan lagi sekali terpasang. Hal itu dibuktikan oleh Sang Penanya yang mencoba menarik kalung itu dengan usaha cukup keras sampai mencekik Agung namun tidak bisa putus.

“Aku memberikannya lebih dahulu, takutnya kamu tidak percaya.”

“Jadi, kamu mau mengakuinya?”

“Tidak akan. Menu itu sangat laris. Mereka datang ke restoran untuk membelinya.”

Sang Penanya langsung menginjak kursi lipat itu tanpa ragu. Agung pun kembali berteriak, mengerang kesakitan.

“Besok pagi, aku mau kamu menyerahkan diri ke polisi sambil membawa rekaman ini sebagai alat bukti.” Sang Penanya memasukkan alat perekam itu ke dalam saku baju Agung.

“Jangan malah menceritakan kejadian ini, atau kamu akan menyesal. Kamu harus tahu, setiap orang yang telah selesai bermain di sini mengalami hal yang sama.”

“Selamat tidur!” ucap Sang Penanya sambil meninggalkan.


Lily pergi ke restoran itu pagi-pagi. Dia melihat seorang wanita dan laki-laki dengan pakaian kerja restoran namun berbeda dengan yang kemarin.

“Siapa kalian?”

“Namaku Citra. Koki baru di restoran ini,” sahut sang wanita.

“Namaku Reginald. Aku menjadi kasir baru.” Sang pria turut menyahut.

“Bagaimana kalian bisa ada di sini?”

“Kami dipekerjakan untuk mengganti.”

Lily tersentak dan matanya mulai berkaca-kaca. “Jangan-jangan….”

“Mereka menghilang juga.” Lily hanya memandang Citra dan Reginald kemudian pergi.


Komentar