Lily hanya bisa terdiam meski air matanya terus menetes. Dia berjalan dengan terus menunduk. Tiba-tiba, rasa penasaran muncul sehingga dia kembali.
Kali ini, restoran itu telah buka dan ada beberapa pelanggan untuk sarapan. Suara lonceng berdering terdengar saat Lily masuk. Hampir tidak ada perubahan dari interior restoran itu.
“Selamat datang. Mau pesan apa?” tanya Reginald. Dia agak terkejut memandang Lily.
“Citra! Ini anak kecil yang kamu cari tadi!”
“Benarkah?” tanya Citra sambil memandang ke luar. Reginald membalas pandangan Citra dan menunjuk Lily. Citra terlihat bahagia melihat Lily dan langsung memeluknya. Lily hanya terdiam kebingungan. “Bukankah tidak adil jika kami tidak mengetahui nama kamu juga?”
“Itu benar,” sahut Reginald. “Aku penasaran juga.”
Lily memandang ke sekitar kemudian berbisik, “Namaku Lily.”
“Baiklah.” Citra memandang Reginald sejenak kemudian tertawa kecil. “Kamu sudah makan?” Pandangan Citra kembali kepada Lily.
“Sudah,” jawab Lily sambil mengangguk.
“Apakah kamu mau makan lagi? Jika ya, aku akan memasak untukmu.”
“Tidak, terima kasih. Aku sudah kenyang.” Lily diam sejenak. “Tapi bolehkah aku melihat menu?”
“Tentu. Reginald?” Citra memandang. Reginald pun menyerahkan buku menu. Citra menyambutnya dan meminjamkannya kepada Lily.
“Tunggu, apakah ini buku menu baru?” tanya Lily sambil memperhatikan sampulnya.
“Ini sudah ada saat kami bekerja di sini,” jawab Reginald.
Lily kemudian meletakkan buku menu itu ke lantai untuk memudahkannya membaca. Dia heran setelah melihat halaman pertama. “Meski tidak melihat buku menu lama, aku yakin di sebelah sini ada menu nomor tiga belas,” Lily menunjuk sisi kiri bawah, “tapi sudah tidak ada lagi?”
“Nomor tiga belas? Di menu ini tidak ada penomoran.” Perkataan Reginald membuat Lily kebingungan. Lily pun menutup buku menu itu dan mengembalikannya.
“Terima kasih,” ucap Lily. “Itu saja tujuanku ke sini. Aku pulang dulu, ya.” Lily melambaikan tangan kemudian berjalan ke luar.
“Datang lagi!” ucap Citra dan Reginald bersamaan.
“Namanya Lily.” Citra memberitahukannya kepada Reginald dengan suara pelan sebelum kembali ke dapur.
Agung membuka matanya perlahan. “Kamu sudah bangun ternyata,” ucap Sang Penanya. “Sangat kesiangan tapinya.” Agung pun terkejut kemudian memandang ke sekitar.
“Ke mana Koki Dani?” tanya Agung sambil memandang sebelahnya.
Sang Penanya memberikan secarik kertas yang bertuliskan sebuah alamat. “Dia di sana. Kamu masih ingat peraturannya bukan? Jika kamu menyalahinya, kamu akan berakhir sepertinya.”
“Aku akan mengantarmu sampai Polres agar memastikan kamu tidak singgah di alamat itu. Tapi kalau polisi membawamu ke sana, boleh saja. Jika kamu masih hidup tentunya.”
“Tapi sebelumnya, ini roti untuk sarapan.” Sang Penanya menunjukkan roti.
“Aku tidak mau.” Agung menggeleng.
“Makanlah. Aku tidak mau kamu mati sekarang.” Sang Penanya mulai merobek roti itu. “Kamu harus menyerahkan diri, apapun yang terjadi.”
Sang Penanya mulai menyuapi Agung dengan roti. Tapi Agung terus menghindar. “Oh, jadi kamu tidak mau makan rupanya?” Sang Penanya memasukkan roti itu ke mulut Agung dengan paksa. Dia kemudian melepas ikatan Agung dan menggiringnya ke tempat lain.
Sang Penanya benar-benar membawa Agung menuju Polres Kota Dingin dengan sedan hitam tanpa plat. Nyatanya, dia membuka pintu kemudian melempar Agung keluar dari mobil kemudian pergi entah ke mana.
Agung terlihat begitu kesakitan namun karena ketakutannya, dia mulai memasuki Markas Kepolisian Resor Kota Dingin. Dia pun berjalan dengan pincang menuju Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu.
“Ada keperluan apa?” tanya polisi yang sedang bertugas.
“Saya ingin menyerahkan diri,” jawab Agung dengan suara lemah.
“Karena apa?” Sang polisi memandang Agung keheranan. Wajah Agung seolah dipenuhi dengan memar.
“Aku menculik anak-anak kemudian temanku yang membunuh mereka.”
“Ada bukti?”
“Ini beberapa.” Agung mengeluarkan alat perekam dari saku bajunya dan sebuah kertas bertuliskan alamat sebuah tempat.
Sang polisi memandang. “Apakah Anda melakukan ini karena keinginan sendiri?”
“Tidak!” jawab Agung tegas. “Saya disuruh An—” Dia tiba-tiba berteriak dan kejang-kejang. Dia meraba-raba lehernya seolah merogoh sesuatu dan akhirnya jatuh.
Polisi yang lain mulai mendekat karena melihat yang terjadi. Terutama polisi yang bertugas di SPKT. Dia menyadari Agung berusaha melepas sesuatu di lehernya.
“Tunggu, aku seperti pernah melihat ini.” Itu adalah Bripka Budi. Anggota Jatanras Satreskrim Polres Kota Dingin.
“Aku takut dia pembunuh berantai yang akan mencari korbannya lagi setelah ini.” Perkataannya sendiri teringat di benaknya.
“Kita harus ke alamat yang diberikan ini segera!”
Polisi mulai memasuki rumah kosong berdasarkan alamat yang diberikan. Karena ruangan itu gelap, senter mulai menyinari.
Salah satu dari mereka tidak sengaja menginjak sesuatu. “Apa ini?” Dia melihat ke bawah. “Astaga.” Dia langsung mengangkat kakinya.
Beberapa lampu di ruangan itu tiba-tiba menyala dan mereka berusaha menahan kengerian karena melihat potongan tubuh anak-anak.
“Siapa yang membunuh mereka?”
Terdengar suara mendenging. “Tes-tes, satu dua.”
Pandangan polisi mulai liar. “Siapa kamu?” tanya Bripka Budi yang turut dalam kegiatan itu.
“Terima kasih telah datang.”
“Jawab pertanyaanku!” ucap Bripka Budi dengan tegas.
“Namaku Sang Penanya,” jawab Sang Penanya santai.
“Kamu pelaku yang membunuh anak-anak ini, bukan?”
“Tentu saja bukan aku. Ada dua pelaku dan satu orang yang terlibat dalam pembunuhan anak-anak ini. Salah satunya adalah yang kuminta menyerahkan diri, jadi kalian seharusnya tahu.”
“Pelaku utamanya, ada di sini. Bisakah Anda melihat pria berpakaian koki yang terikat di tiang itu?” Lampu sorot mulai menyinari. Di sekitarnya terdapat foto polaroid berhamburan. Bripka Budi mendekat untuk mengambil salah satu. Dia tidak percaya apa yang dia lihat. “Bagaimana mungkin dia sempat memotret anak-anak itu tepat sebelum membunuh dan memutilasi mereka? Aku yakin dia mencicipi terlebih dahulu sebelum menjualnya. Yang tidak enak menurutnya hanya dibuang di sini.”
“Oh ya, sudahkah kalian mendengar rekaman dari alat yang dibawa orang itu?”
“Maksudmu yang menyerahkan diri? Ya, kami mendengarnya,” sahut Bripka Budi sambil berusaha menenangkan diri.
“Bagaimana? Apakah kalian menerima pengakuannya?” Bripka Budi hanya terdiam. “Sudahkah juga kalian melihat jasad yang satunya? Dia sedang berbaring menunggu kalian.” Lampu sorot mulai menerangi jasad itu. Bripka Budi meneguk liurnya ketika melihat isi perut jasad itu terburai. “Itu adalah pelanggan utama yang begitu menikmati daging anak kecil. Dia bersikeras tidak mau mengaku, maka harus merasakan akibatnya.”
“Jika kamu ingin kami menangkapnya, maka koki ini harus hidup.” Bripka Budi mengucapkannya dengan marah.
“Koki itu masih hidup.” Lagi-lagi, Sang Penanya menjawab dengan santai. “Dani, bangunlah!” teriak Sang Penanya. Koki itu terbangun perlahan.
“Anda ditahan karena telah membunuh anak-anak.” Bripka Dwi langsung memborgol tangan Koki Dani. Dia pun menggiringnya. “Kita harus pergi ke restoran itu untuk menyegelnya segera.”
“Restoran itu tidak bersalah, jadi jangan sita dan tutup mereka. Semua telah normal di sana. Tunggu saja pertemuan kita berikutnya. Selamat bertugas, polisi.” Suara berdenging terdengar lagi.
“Tunggu! Masih ada satu hal yang ingin aku tanyakan!”