arrow_back

Enam Tanda Tanya

arrow_forward

“Apa itu?” tanya Sang Penanya. Dia seakan tidak jadi pergi.

“Apakah kamu pembunuh wanita itu?”

“Wanita yang mana? Cobalah lebih spesifik.” Sang Penanya terdengar serius.

Bripka Budi terkejut. “Astaga. Kamu pasti sudah banyak membunuh.” Dia mulai geram dan Sang Penanya menertawakannya. “Heli. Wanita yang kau buang begitu saja di hutan!”

“Kenapa jadi aku yang dianggap pelakunya?” Sang Penanya berhenti tertawa dan berlagak penasaran.

“Kalung itu,” jawab Bripka Budi. “Banyak yang salah mengira itu hanya kawat pancing. Aku juga sempat. Ternyata, itu adalah kalung dengan bentuk tanda tanya yang selalu kamu pasangkan di korbanmu.”


“Di mana kalian menyimpan barang bukti pembunuhan wanita yang kita temukan di hutan itu?”

“Bagian Kearsipan di Unit Tata Usaha dan Urusan Dalam.”

“Aku sudah memeriksanya di sana sendiri, tapi tidak menemukannya. Aku juga bertanya tapi mereka bilang tidak ada.”

“Coba tanyakan Seksi Umum.”

Ketika Bripka Budi menanyakan kepada Seksi Umum, mereka juga menjawab tidak ada. Mereka malah menanyakan balik kenapa Bripka Budi begitu peduli dengan kawat pancing itu.

“Itu bukan sekadar kawat pancing!”

Bripka Budi mulai putus asa. Dia kembali duduk di tempatnya tanpa tahu apa yang harus dilakukan. Bersandar di kursi untuk mengingat cara lain untuk menemukan barang itu.

“Labfor.” Bripka Budi pun mulai menuju Laboratorium Forensik.

“Adel.” Adelia adalah orang yang ditemui oleh Bripka Budi pertama kali.

“Ada apa?” tanya Adel berhenti memandangi sebuah kalung.

“Kamu pasti memiliki hasil forensik dari jasad Heli kan?”

“Tentu, kenapa memangnya?”

“Lehernya.”

“Aku masih tidak tahu penyebab tulang lehernya patah. Dugaanku sementara, si pelaku mematahkannya menggunakan sesuatu. Barang yang sama untuk melukai kepala korban, sebuah benda tumpul dengan area permukaan yang cukup luas.”

“Bukan itu,” sanggah Bripka Budi. “Semacam kawat pancing itu.”

“Oh, ini?” tanya Adel menunjukkan kalung di tangannya. “Aku baru saja akan menyerahkannya karena baru saja selesai memeriksa sidik jari di sana, siapa tahu ada. Tapi ternyata tidak, jadi, sia-sia saja.”

“Jangan bilang itu sia-sia. Benda sekecil ini, bisa membawa kita menemukan pelakunya.” Bripka Budi yang sudah mengenakan sarung tangan mengambil kalung itu. Dia mulai memperhatikannya.

“Bagaimana dengan yang dikenakan Agung? Bukankah dia memiliki yang mirip seperti ini?” Agung dibawa ke Labfor atas keinginan Bripka Budi yang melihat kalung itu.

“Ya. Tapi kalung yang dikenakan padanya berbeda dengan korban wanita, karena menggunakan penyadap, pelacak, dan kejut listrik yang bisa dikendalikan dari jauh. Karena itulah, si pelaku bisa memastikan Agung berada di markas, kemudian mendengar pembicaraannya, juga menyalakan kejut listrik itu jika dia menyampaikan sesuatu yang tidak diinginkan.”

“Itu hanya tebakanku berdasarkan apa yang terlihat dari luar karena tidak bisa melepaskan kalung itu bahkan dengan gerinda. Sepertinya, kalung itu dirancang untuk tahan dengan kondisi apapun, berbeda dengan kalung lainnya yang akan putus jika direnggut paksa dari leher. Aku bisa melihat bekas cekikan di leher Agung yang memastikan hal itu.”

Bripka Budi berpikir sejenak. “Apakah kamu menyebutkan kejut listrik?” Dia memandang Adel karena terkejut teringat sesuatu. “Aku sempat melihat rekaman kamera pengawas, pantas saja dia kejang-kejang.”

“Apakah kita sudah mengetahui apa yang dia ucapkan sehingga harus dilumpuhkan dengan kejut listrik oleh pelaku?”

“Sayangnya, Petugas SPKT tidak mendengarnya dengan jelas. Ditambah kamera pengawas tidak merekam audio, jadi, belum ada yang tahu.”

“Bagaimana dengan Agungnya sendiri? Sudah siuman?”

“Belum. Kira-kira, sebentar lagi. Tegangan pada kalung itu sama saja dengan senjata kejut listrik yang kita gunakan. Jadi, tidak membuatnya terluka parah atau sampai tewas.”

“Menurutmu, apa artinya itu?” tanya Bripka Budi. Adel mengangkat bahu sebagai isyarat tidak tahu.

“Pelaku benar-benar ingin Agung masih hidup ketika menyerahkan diri dan menanggung hukuman atas kejahatannya. Dia bisa saja menyiksanya sampai mati, tapi dia ingin kita sebagai penegak hukum tahu.” Bripka Budi menjawab mengembalikan kalung itu.

“Tapi kejahatannya tidak bisa dimaafkan dengan hanya membiarkan kita menuntaskan kasus ini.” Bripka Budi kemudian kembali ke kantor.


“Anggaplah aku memang pelakunya. Lantas apa? Kenapa kalian tidak menganggap kalung itu sebagai hadiah yang kuberikan?” Sang Penanya memancing.

“Apa yang membuat lehernya seperti itu?” tanya Bripka Budi. Dia membalik pancingan itu agar tahu penyebabnya.

“Kalian seharusnya tahu hal itu!” Sang Penanya kesal. “Aku tidak akan menjawabnya.”

Bripka Budi menahan kekesalannya dengan menghela napas. “Apa alasanmu membunuhnya?”

“Bagaikan lagu anak kecil, dia tidak lebih dari anjing. Ternyata dia tipe orang yang tidak suka bermain-main.” Perkataan Sang Penanya yang meremehkan Heli benar-benar membuat Bripka Budi geram sampai mengepalkan tangannya.

“Sudahlah. Sekarang, karena urusan kalian telah selesai di sini, pergilah jika tidak ingin sesuatu yang buruk terjadi.” Sang Penanya menunggu beberapa saat. Hanya beberapa orang yang bergerak untuk membawa Koki Dani dan jasad tidak dikenal itu.

“Oh? Kalian tidak mau rupanya. Baiklah, aku hitung mundur dari sepuluh, ya.” Tanpa menunggu waktu lama, Sang Penanya memulainya. “Sepuluh, sembilan, delapan, tujuh, enam.”

Akhirnya, polisi mulai bergerak ke luar. Bripka Budi yang masih geram, diam saja di sana sambil menatap ke depan. Salah satu dari polisi lainnya terpaksa menariknya keluar.

Hitungan Sang Penanya semakin cepat. “Lima, empat, tiga, dua, satu.”

DAR! Ledakan besar meluluh lantakkan bangunan itu. Bripka Budi berhasil keluar di saat yang tepat dan hanya terkena puing-puing kecil yang terbang mengarah padanya. Dia melindungi kepala dengan lengannya.

“Lihat saja nanti, Sang Penanya! Aku pasti menangkapmu!” teriak Bripka Budi dengan penuh tekad.


Koki Dani dan Agung yang sudah siuman diinterogasi oleh Bripka Budi. Koki Dani terlebih dahulu. Dia dengan tenangnya mengakui kejahatan yang telah dia lakukan. Tapi dia kehilangan golok yang seharusnya menjadi barang bukti penting. Untungnya, rekaman yang diserahkan Agung ditambah pengakuan Koki Dani cukup untuk mengenakan pidana terhadap kejahatan yang dilakukannya.

Koki Dani mengaku tidak mengetahui apa yang terjadi. Dia merasa dua kali tidur bangun. Pertama, dia ditanyai oleh seorang pria dengan pakaian serba hitam di sebuah ruangan yang hanya diterangi satu lampu sorot dan memaksa agar dia mengakui kejahatan di hadapannya. Karena tidak mau, lampu sorot itu dimatikan dan Koki Dani merasa dipukul dengan benda keras yang tidak dia ketahui apa itu. Kedua, dia terbangun saat polisi menangkapnya.

Selanjutnya, Agung. Agung sebenarnya masih tidak lama terbangun dari pingsannya, namun para polisi itu benar-benar bergegas agar orang yang menamai dirinya sebagai Sang Penanya itu tidak membunuh korban lainnya.

Agung juga mengaku tidak tahu apa yang terjadi dan terbangun di sebuah ruangan yang gelap. Sang Penanya hanya menerangi dengan sebuah lentera. Dia bercerita hampir semuanya termasuk ciri-ciri Sang Penanya berdasarkan apa yang dia lihat.

“Apakah kamu mengenal pelaku?” tanya Bripka Budi.

“Aku benar-benar merasa dia adalah An—” Agung kembali kejang-kejang, berteriak kesakitan sambil mencoba melepaskan kalung itu sebelum akhirnya pingsan.

“Kita mencari pria dengan awalan nama An!” ucap Bripka Budi sadar. “Tapi itu terlalu banyak….”

Komentar