“Kakak baru kembali dari Kota Harapan.”
“Kakak harus pergi lagi karena masih ada urusan yang harus diselesaikan. Maaf jika kakak tidak kembali.”
“Kamu boleh pergi ke mana pun.”
Kalimat-kalimat itu terus muncul di benak Lily.
“Bagaimana kalau aku ke Kota Harapan agar bertemu dengan Kak Anto di sana?” Lily terpikir ide ini. Dia kemudian mencari ransel kecilnya dan memasukkan barang-barang yang dirasa penting, termasuk beberapa camilan.
“Felix, apakah kamu mau ikut kali ini?” tanya Lily kepada kucingnya. Felix berjalan mendekat dan Lily menyambutnya. “Ini berarti ya.”
Kota Dingin tetaplah menjadi dirinya. Masyarakat berlalu-lalang fokus kepada aktifitas mereka. Lily yang sekarang menjadi satu-satunya anak kecil yang tersisa akan meninggalkan kota itu. Lily terus memeluk dan membelai Felix seiring menuju lorong bawah tanah untuk menaiki kereta.
“Jaga dirimu!” ucap seseorang. Lily terkejut kemudian melihat ke sekitar, penasaran siapa yang mengatakan itu kepadanya namun dia tidak bisa menemukannya. Dia terus berjalan untuk melanjutkan tujuannya ke Kota Harapan.
Kereta bawah tanah saat itu masih berada di Stasiun Kota Dingin. Lily memasukinya setelah memberanikan diri dan duduk di bangku dekat dengan pintu.
Di dalam kereta itu sudah ada satu penumpang dengan kamera tergantung di lehernya. Dia fokus melihat hasil potretannya. Tidak lama kemudian, pramugara di kereta menyambut kedatangan Lily.
“Halo, Dik. Nama kakak, Andi,” tunjuk pramugara itu kepada tanda nama di bajunya. “Nama kamu siapa?”
“Namaku Lily,” jawab Lily dengan suara lemah. Dia terus tunduk dan mengayunkan kakinya tanda malu.
“Lily mau ke mana?” tanya Andi sang pramugara.
“Kota Harapan.”
“Kota Harapan? Sendirian?” Andi terkejut. “Mana orang tuamu?”
“Kedua-duanya telah pergi.” Lily tidak berbohong. Dia hanya menyederhanakan. Ayahnya telah lama meninggal, sementara ibunya masih berada di dalam penjara. Lily terus bersikeras tidak ingin diasuh oleh siapapun. Selama di panti asuhan pun, dia terus menyendiri sambil berusaha mengenal semua orang di dekatnya.
“Maafkan kakak telah bertanya.” Andi menunduk.
“Tapi, Lily ingin apa jadi ke Kota Harapan?”
“Jalan-jalan.” Andi mulai tersenyum dan mengangguk.
“Lily mau pesan apa?”
“Tidak ada.”
Andi akhirnya tertawa kecil. “Rupanya jawabanmu hanya sepatah kata.”
“Bagaimana denganmu, Ryu Jee?”
Fotografer bernama Ryu Jee yang sepertinya orang Korea itu berhenti memandangi kameranya dan menatap Andi. “Kopi saja.” Andi pun pergi untuk menyiapkan kopi. Matanya kemudian menatap Lily dengan kekaguman ketika dia terus membelai Felix.
“Andi.” Andi berhenti berjalan. Dia berpaling untuk melihat Ryu Jee. “Bukankah menurutmu dia cantik? Dengan pakaian bagus seperti itu ditambah topi bundar dan kucing di pangkuannya? Bagaimana kalau aku memotretnya?”
“Bagaimana menurutmu Lily? Apakah kamu bersedia dipotret?” tanya Andi. Lily hanya diam sambil terus menunduk. “Dari ekspresinya kurasa tidak. Jadi, daripada kamu dikenakan pidana atas eksploitasi anak, lebih baik tidak melakukannya.”
“Baiklah. Kesempatan memang tidak datang dua kali, apalagi dia anak kecil pertama yang kulihat menaiki kereta ini, tapi dia baru mengenalku.” Ryu Jee pasrah. “Siapa namamu tadi? Lily?”
Lily mengangguk. “Baik, Lily. Namaku Ryu Jee. Mungkin susah bagimu untuk menyebutnya, jadi panggil aku Pak saja.” Lily terus diam dan itu membuat Ryu Jee tersenyum kecil.
Andi kembali dengan membawakan nampan berisikan secangkir kopi. Pandangan Andi begitu fokus ke depan. “Perhatikan kakimu, Andi. Jangan tersandung terus,” celetuk Ryu Jee.
Andi langsung merendahkan nampan agar tidak menghalangi pandangannya. Ryu Jee pun menyambut kopi itu. Kemudian, terdengarlah suara perut Lily yang keroncongan.
“Diam di sini, Felix.” Lily memindahkan kucing dari pangkuan ke samping, kemudian ransel dari punggung ke pangkuannya. Dia membukanya dan mulai merogoh isinya. Rupanya, dia mengambil roti tawar. Ryu Jee terus memperhatikan Lily.
“Andi, apakah kamu punya sesuatu untuk dicelupkan? Teh, susu, atau apa saja. Roti itu terlalu kering. Dia bisa kesusahan menelannya.”
“Hari ini hanya ada air mineral.”
“Berikan saja padanya. Jika kamu menagih, aku yang akan membayarnya,” ucap Ryu Jee. “Tunggu sebentar, Lily.”
Lily diam sambil membuka plastik pembungkus roti itu. Andi kembali dengan sebotol air mineral.
“Kamu harus minum, ya.” Andi tersenyum melihatnya.
“Terima kasih,” ucap Lily.
“Kamu sudah sekolah?” tanya Ryu Jee. Lily hanya menggeleng sambil mulai memakan roti. “Tapi sepertinya kamu sudah pandai dalam banyak hal.”
Ryu Jee berpikir sebentar. “Benar juga. Di Kota Dingin belum ada sekolah.”
“Kenapa di Kota Dingin belum ada sekolah bahkan untuk yang dasar?” tanya Andi penasaran, padahal baru saja dia ingin kembali.
“Kamu belum tahu?”
“Aku bahkan jarang berada di luar kereta karena pekerjaanku,” sahut Andi dengan nada marah.
“Gubernur terlalu fokus dengan pembangunan Kota Cahaya sebagai ibu kota baru menggantikan Kota Sukamawar yang dicap telah ramai dan dipenuhi banyak orang. Sudah sebelas tahun berlalu dan pembangunan itu diakui hampir selesai. Kita lihat saja.”
Ryu Jee menatap Lily dengan tulus. “Aku menyarankan Lily masuk ke SDN Kota Harapan saja. Soalnya, sudah berstatus negeri. Tidak perlu memikirkan banyak biaya lagi. Tapi kalau Lily mau sekolah di Sukamawar atau Kebun Melati, bisa juga. Semua terserah Lily.”
Lily hanya mendengarkan sambil menghabiskan dua potong roti dan meminum separuh isi botol. Dia kemudian menutup plastik itu dan memasukkannya kembali ke dalam tas. Dia juga mengambil segenggam makanan kucing yang ternyata dia bawa untuk memberi makan Felix. Felix turut memakannya dengan lahap.
“Lily, sekarang bolehkah aku memotretmu?”
“Bolehkah aku melihat hasilnya nanti?”
“Tentu. Aku berjanji tidak akan menyalahgunakannya.” Ryu Jee mulai serius. “Lakukan seperti tadi. Letakkan kucingmu di pangkuan dan belailah. Santai saja.”
Lily langsung melakukan apa yang Ryu Jee minta. Kilatan cahaya dari kamera menerangi gerbong itu sesaat. Lily turun dari kursinya, mendekat untuk melihat hasil foto. Dia kagum melihatnya.
“Anda telah tiba di Stasiun Kota Harapan.” Perhatian Ryu Jee dan Lily teralihkan sebentar. Mereka pun keluar bersama-sama dari kereta itu. Di luar lorong, Lily hanya bisa kagum atas apa yang dia lihat di Kota Harapan.
“Ke mana kamu ingin pergi? Aku akan mengantarmu.”
“Apakah di Kota Harapan ada semacam penginapan?”
“Satu-satunya penginapan gratis yang kutahu adalah penginapan di dekat Kuil Iblis Merah. Sedikit angker sih,” ucap Ryu Jee.
“Antarkan aku ke sana!” sahut Lily tegas.
“Yakin?”
“Aku tidak punya hal untuk ditakutkan lagi.”
“Baiklah, jika itu maumu.”
Tiba-tiba, ponsel Ryu Jee berdering. Dia menjawab panggilan itu. “Tunggu, apa?” Dia mematikannya.
“Maafkan aku, Lily. Aku benar-benar ingin mengantar dan menemanimu ke sana, tapi atasan memanggil.” Ryu Jee terdiam kemudian menyerahkan peta yang kebetulan dia bawa. “Ini adalah peta. Kamu sedang di sini, dan di sini penginapan yang aku maksud.” Dia menunjukkan kedua arah.
“Sekali lagi, maafkan aku. Dah!” Ryu Jee melambaikan tangan sambil pergi berlari. Lily hanya terdiam.