arrow_back

Enam Tanda Tanya

arrow_forward

Lily mulai berjalan di Kota Harapan dengan kebingungan. Felix—kucingnya—dia taruh di dalam ransel dengan kepala berada di luar. Resletingnya pun longgar, seolah memahami keadaan Felix agar tidak terjepit.

Lily memang belajar membaca dan pandai terhadapnya, tapi untuk mengenal peta dan cara menggunakannya, dia masih sedikit. Entah berapa kali dia menunduk kemudian memandang jalan.

Berbeda dengan Kota Dingin yang tidak begitu peduli, masyarakat Kota Harapan terus menatap Lily. Pembicaraan mereka begitu terdengar dan kebanyakannya menanyakan “Siapa anak itu?”

Lily terus menyusuri trotoar seiring jalanan mulai sepi sampai hanya sedikit yang lalu-lalang. Kaki seseorang menabrak tubuh Lily dari depan. Lily agak kesal dengan hal itu, apalagi trotoar seharusnya satu arah kemudian mencari orang yang tidak bertanggung jawab itu. Nyatanya, dia tidak berhasil menemukannya dan melanjutkan perjalanannya.

Tiba-tiba, mulut Lily ditutup oleh sebuah tangan dan dia dibawa pergi. Lily terus memberontak, menolak penculikan itu. Mulut yang ditutup membuat teriakan Lily tidak bisa terdengar. Lagipula sekarang sudah tidak ada orang di jalan, yang berarti tidak akan ada juga yang menolongnya.


“Apa yang kamu lakukan di sini, Anak Kecil?” Lily berakhir di sebuah ruangan gelap dengan penerangan dari kaca atap mengingat hari masih terang.

“Sang Penanya?” tanya Lily terkejut. Dia terduduk. Pria dengan pakaian serba hitam itu kembali bertemu dengannya.

“Kamu pembohong!” Suara Lily gemetar. Matanya mulai meneteskan air. “Saat itu kamu bilang ‘Aku tidak akan mengganggumu lagi.’ Kenapa kamu masih menangkapku? Ha?!” Suara Lily melengking.

Dia melemparkan topi bundarnya ke arah Sang Penanya namun dia berhasil menangkap. Mata Lily terbelalak dan terus memandang Sang Penanya yang semakin mendekat. Dia mulai mundur sambil mencari benda-benda di lantai untuk dilemparkan tapi tidak ditemukan dan berakhir dengan terpojok.

Lily menghela napas dan mengumpulkan keberaniannya. “Terkutuklah kamu, Sang Penanya!” Tangan kanan kecil Lily menampar tepat di pipi Sang Penanya. Tamparan itu terdengar cukup keras, bahkan sampai Sang Penanya memegang pipi kirinya.

“Dari mana kamu belajar itu?” tanya Sang Penanya serius. Dia mulai mundur. Lily mulai diam. “Jawab pertanyaanku. Dari mana?”

“Kemarahan ibuku,” jawab Lily dengan suara lemah.

Sang Penanya sempat terkejut kemudian menertawakan. “Ibumu salah mendidik rupanya. Dia benar-benar harus belajar.”

“Sekarang, pertanyaan tambahan. Apa sebenarnya tujuan kamu ke Kota Harapan? Seperti biasa, kamu harus jujur, atau sesuatu yang buruk terjadi.”

“Aku ingin mencari Kak Anto. Dia mengaku pergi ke Kota Harapan sebelumnya. Sekarang, dia bilang aku boleh ke mana saja.”

“Anto?” Sang Penanya bingung. “Wah, dia benar-benar pembuat masalah. Pulanglah ke Kota Dingin. Kamu tidak akan pernah menemukannya Kota Harapan.”

Lily diam sejenak. “Tunggu, jangan bilang kamu juga membunuhnya?” Sang Penanya tidak menjawab. “Kenapa kamu melakukannya?” Sang Penanya mulai berjalan mundur.

“Bagaimana kalau sebenarnya ayahku tidak meninggal secara biasa, tapi kamulah yang membunuhnya?”

Sang Penanya benar-benar diam dan tidak menjawab pertanyaan.

“Baiklah. Aku akan pulang ke Kota Dingin. Tapi karena kamu sudah menyalahi janji, aku juga harus boleh melakukannya.”

“Aku akan mengembalikan kalung ini, karena aku tidak memerlukannya.”

“Jangan!” Lily mengutuk Sang Penanya

“Baiklah. Kamu boleh cerita semuanya kepada ibumu. Tapi, jangan lepas kalung itu. Kamu memang tidak memerlukannya, tapi ada orang yang pasti akan mencarinya.”

“Ini topimu. Kamu tidak ingin kehilangannya, bukan?” Sang Penanya maju untuk memasangkannya kemudian kembali menjauh. “Pulanglah. Jalan keluarnya di sana.” Sang Penanya menunjuk. “Lagipula aku tidak yakin ibumu akan percaya.”

Lily marah mendengarkan hal itu. Dia akhirnya menemukan sebuah kerikil di tanah dan melemparkannya tepat ke arah kepala Sang Penanya.


Lily kembali menuju lorong bawah tanah untuk menuju kereta. Kali ini, peta yang diberikan oleh Ryu Jee telah dimasukkannya ke dalam tas sehingga dia kembali fokus memeluk Felix. Kebetulan, kereta masih berada di Stasiun Kota Harapan.

“Aku ingin pulang ke Kota Dingin,” ucap Lily memasuki kereta itu. Dia terdengar masih kesal dan meluapkannya kepada Andi sang pramugara yang tidak bersalah.

“Tidak jadi jalan-jalan?” tanya Andi.

“Sudah cukup. Aku hampir tersesat.” Lily menunduk dan membelai kucingnya.

“Bukannya Ryu Jee bersamamu tadi?”

“Dia mendapat telepon.” Andi menangguk paham.

“Baiklah. Lagipula, kereta akan berangkat sekarang. Aku lupa memberitahukan kepada kalian sebelumnya sehingga berjalan tanpa sadar. Maafkan aku.”

“Apakah kalian mendapat banyak penumpang hari ini?” tanya Lily polos.

“Tidak juga,” jawab Andi. “Sangat jarang mendapatkan penumpang dari Kota Harapan yang akan menuju Kota Dingin. Kami lebih sering mendapatkan sebaliknya. Jadi, kami singgah di sini hanya karena istirahat atau berharap ada penumpang.”


Kereta telah tiba di Stasiun Kota Dingin. “Terima kasih,” ucap Lily sambil keluar. Andi meyakinkan Lily agar tidak khawatir dengan biaya perjalanan karena telah ditanggung.

Sebelum naik, Lily meninggalkan Felix di dekat kurungan tempat tinggal mereka dulu. Sekarang, Lily tidak perlu tinggal di sana lagi.

“Felix, kamu tinggal di sini, ya, nanti aku akan kembali. Jika ibu tahu, dia akan memukulmu. Aku tidak mau hal itu terjadi.” Lily melepas Felix di bawah sana.

Lily pun naik. Dia penasaran, siapa yang menyuruhnya untuk menjaga diri, sampai dia bertemu orangnya. “Ke mana kamu tadi?” Seorang wanita mencegat Lily.

“Kak Lia?” Lily mengenalnya karena wanita bernama Lia yang merupakan Sekretaris Daerah Kota Dingin itu bersahabat dengan ibunya. Sayang, dia sempat dituduh atas percobaan pembunuhan pada hari pembukaan Winter Garden ketika dia membawakan sebuah buket bunga yang ternyata bom bahan kimia dan juga melukai Lily. Beruntung, Lily adalah anak yang tangguh. Dia cukup cepat sembuh dan bekas luka itu hampir tidak terlihat sama sekali.

“Apa yang kakak lakukan di sini?” tanya Lily.

“Aku mengkhawatirkanmu. Kamu jangan pergi dari sini lagi, ya.” Lia menyamakan tinggi.

“Tapi, Lily harus sekolah nanti. Di Kota Harapan ada SD. Di sini belum ada.”

“Jujur, kami telah lama mendiskusikan mengenai sekolah di Kota Dingin. Tapi siapa yang akan belajar di sana? Hanya kamu?” Lia memandang Lily. “Baru-baru ini, kami telah mendengar polisi menyatakan pelaku penculikan dan pembunuhan teman-temanmu sudah ditangkap. Semoga, kamu mendapat teman dan ajak mereka ke sini.”

“Sekarang, kamu mau ke mana?” tanya Lia sambil berdiri.

“Aku ingin bertemu ibu.”


Lily bertemu ibunya, Melinda di Rumah Tahanan Kota Dingin. Sekat kaca bagai jendela menjadi pembatas mereka. Lia yang mengantarkan, berdiri mendampingi Lily.

“Ibu, Lily mau sekolah. Orang bilang SDN Kota Harapan bagus.”

“Benarkah?” Melinda tersenyum. “Sayangnya, ibu tidak bisa mengantarmu.” Melinda memandang Lia.

“Baiklah. Aku telah berbicara dengan polisi sebelumnya. Kamu mendapatkan pembebasan sementara dan bersyarat. Jika urusan pendaftaran telah selesai, kamu harus kembali.”

“Bagaimana dengan anakku?”

“Dari pengakuannya, sepertinya trauma akan panti asuhan perlahan menghilang. Dia akan ditempatkan di Panti Asuhan Harapan nanti.”

“Kenapa kamu tidak membebaskanku saja sekalian? Bukankah sudah jelas aku harus mengasuh anakku?”

“Kejahatanmu tidak bisa dimaafkan. Aku masih ingat kamulah yang menyebabkan aku terfitnah. Beruntung wali kota masih mau mempekerjakanku. Kamu harus bersyukur masih mendapat pembebasan.”

Karena kesal atas hal itu, Lia kemudian menepuk Lily. “Waktu habis. Lily, kita pulang.” Dia pun membawa Lily keluar. Lily hanya bisa melambaikan tangan dan berucap, “Dah, ibu.”

Komentar