arrow_back

Enam Tanda Tanya

arrow_forward

Lia membantu Lily untuk pendaftarannya di SDN Kota Harapan. Dia mencarikan informasi tentang keperluan pendaftaran dan berkas-berkas penting yang akan digunakan Lily dari rumahnya. Hanya pasfoto yang tidak tersedia.

“Kenapa kamu melakukan ini? Tidak bisakah membiarkanku yang melakukannya, Lia?” tanya Melinda dengan kesal saat Lia dan Lily sudah berada di luar rumah.

“Kamu bisa saja mengurung diri di dalam rumah, agar kami tidak bisa menjemputmu. Atau sebaliknya, kamu akan mengurung Lily, setelah mengetahui apa yang kamu lakukan kepadanya.”

“Bukankah kamu temanku?! Bebaskan saja aku!”

“Kejahatanmu tidak bisa kumaafkan,” jawab Lia tegas. Lia pun memasangkan kalung pada leher Melinda yang dia coba kekuatannya. Melinda terdiam kebingungan. “Untuk menjaga keamanan, ini adalah kalung dengan pelacak. Jika keluar dari batasan yang telah kami tentukan, kamu akan merasakan akibatnya.”


Lily dan Melinda sekarang berada di kereta bawah tanah, Stasiun Kota Dingin. Seperti kemarin, hanya Andi dan Ryu Jee yang bicara di gerbong utama, juga masinis misterius yang tidak pernah menunjukkan dirinya.

“Bukannya kamu bilang kedua orang tuamu telah pergi?” tanya Andi.

“Ibu kembali sebentar sebelum pergi lagi.” Kutukan dua kata Lily bagi Andi telah terpatahkan.

“Maafkan aku. Aku salah memahaminya menjadi pergi yang lain.” Andi menunduk kemudian pergi.

Suasana hening sesaat, sampai Lily teringat sesuatu. “Pak,” Lily memandang Ryu Jee, “Bisakah mengikuti Lily untuk foto? Lily tidak punya karena belum pernah difoto untuk ini.”

“Tidak bisa, nanti aku akan dipecat. Kemarin saja, karena terlambat, jabatanku sudah terancam.” Lily menunduk kecewa setelah mendengar jawaban Ryu Jee. “Tapi tenang, di gerbong sebelah, aku telah menyewa sebuah kamar untuk tempat kerja darurat. Kita bisa langsung pergi ke sana.” Lily memandang ibunya.

“Percayalah kepada saya.” Ryu Jee menunduk. Melinda pun mengangguk.

Ryu Jee menuntun Lily. Di kamar itu, latar merah dan biru sudah disiapkan. Bahkan, pencetak foto tersedia di sana. Sebuah layanan yang bisa ditunggu, selesai sebelum tiba di Kota Harapan.

Ryu Jee menyerahkan hasil foto. Dia juga menyerahkan foto lain. “Ini fotomu yang kemarin.”

Lily kagum memandang hasil foto. “Terima kasih,” ucapnya.

“Di mana Felix?”

“Sut!” Lily meletakkan telunjuk di depan bibirnya. Dia memandang ke luar, memberi isyarat kepada Ryu Jee agar ibunya tidak mendengar hal itu. Ryu Jee mengangguk paham dan dia memperbolehkan Lily keluar. Lily memasukkan kedua foto itu ke dalam sakunya.


Lily dan Melinda telah tiba di SDN Kota Harapan menggunakan peta yang diberikan Ryu Jee kepada Lily. Di meja pendaftaran, Melinda mengisikan formulir. Dia bahkan telah menandatanganinya. “Mana fotonya tadi, Lily?”

Lily mulai merogoh saku untuk mengambilnya, namun dia menjatuhkan foto satunya. Saat dia ingin mengambilnya, Melinda lebih dahulu melakukannya.

Melinda memandang foto itu sebentar. “Anakku memang cantik,” ucapnya sambil memandang Lily. Dia mulai memandang foto itu dengan teliti. Lily pun gelisah.

“Tunggu, apa ini kucing?” Lily menunduk seolah pasrah akan ibunya mengetahui hal itu. “Lily, berapa kali ibu sudah bilang, jangan memelihara kucing.”

Melinda melempar foto itu ke arah Lily. “Di mana dia sekarang?” Lily diam, tidak mau menjawabnya.

“Kamu pulanglah sendiri. Aku ingin mencari kucing itu dan membunuhnya agar kamu tidak bermain dengannya lagi.”

“Kenapa ibumu begitu takut dengan kucing?” tanya Lily dengan suara lemah.

“Besok kamu sudah bisa sekolah. Nanti, datang ke sini lagi. Akan ada wali kelas yang membimbingmu.”

“Terima kasih,” ucap Lily sambil menunduk. Dia kemudian pergi dengan tenang.


“Di mana aku?” Melinda terbangun di sebuah ruangan gelap. Saat itu, hanya satu lentera yang menerangi.

“Tidak kusangka, kamu menjadi orang tua yang lebih buruk dari dugaanku.” Sang Penanya mendekat untuk duduk di kursi lipat yang sudah dia siapkan.

“Siapa kamu?”

“Kamu belum mendengar siapa aku? Ah, pasti antara dua. Dia yang lupa atau belum sempat bercerita atau kamu tidak mau mendengarkan dan percaya.”

“Baiklah. Aku Sang Penanya, senang berkenalan denganmu, Melinda.”

“Tapi aku ingin kali ini lebih seru. Kita sambut, tamu terhormat.” Lampu sorot menyinari seseorang. “Lily!” Di kursi itu, Lily sedang tertidur.

“Lily! Bangunlah!” Lily tidak menanggapi.

“Dia hanya mendengarkanku kali ini,” ucap Sang Penanya.

“Oh ya, satu lagi.” Sang Penanya pergi sebentar kemudian kembali dengan kucing putih di gendongannya. “Perkenalkan, kucing ini namanya Felix. Sayangnya, dia adalah kucing liar yang hanya menurut kepada orang tertentu.” Felix sedang tidur.

Melinda mulai ketakutan. “Tapi tenang, aku sudah menyingkirkan semut merah untuk mencegahmu terkena syok anafilaktik. Tentu saja aku ingin kamu mati dengan caraku.” Sang Penanya duduk lagi. “Hilangkan anafilaktik, aku telah mematikan satu orang dengannya.”


“Serangan jantung?” Bripka Budi tidak percaya diagnosa Adelia. “Bukankah dia bertahan di sengatan pertama?”

“Dia sudah mempersiapkan diri pada sengatan pertama. Tapi akibat kehilangan kesadaran, dia mungkin lupa pantangan yang telah ditentukan pelaku. Dia tanpa sadar mengucapkannya dan akhirnya jantungnya berhenti berdetak.”

“Jadi, apakah kamu yakin pelakunya memiliki nama dengan awalan An? Bagaimana jika dia sebenarnya mengumpat?”

“Maksudmu anjing? Bagaimana mungkin seekor anjing bisa membunuh?”

“Anda tidak tahu rabies?” tanya Adelia dengan kesal. Dia sontak terdiam karena menyadari sesuatu. “Bagaimana kalau sebenarnya dia ingin bilang Anda?”

Adelia mulai ketakutan karena ucapannya sendiri. “Bripka Budi, Anda Sang Penanya?” Bripka Budi tidak menjawab. Wajah Adelia mulai pucat. Dia mundur perlahan dan berlari keluar. Bripka Budi hanya memandang dengan diam.


“Lily, bangunlah.” Sang Penanya menepuk bahu Lily. Dia pun langsung terbangun.

“Ibu!” Lily mulai memberontak namun tidak bisa lepas dari kursi itu.

“Lepaskan Lily!” perintah Melinda dengan suara agak gemetar.

“Tidak akan!” sahut Sang Penanya dengan tegas, memancing kemarahan Melinda. “Gara-gara kamu, aku difitnah oleh anak kecil ini.”

“Sekarang, akuilah. Kamu yang membunuh suamimu.” Sekarang, di tangan Sang Penanya sudah ada palu godam yang dimainkannya.

“Maafkan aku, Lily.” Lily hanya terdiam. Dia tidak bisa berkata-kata lagi sambil air matanya mulai menetes.

“Puas sekarang?” tanya Melinda kepada Sang Penanya. “Bebaskan kami, atau seseorang akan datang.”

Sang Penanya menyeringai. Dia kemudian mengeluarkan sesuatu dari kantongnya yang mengejutkan Melinda.

“Kamu percaya kalung ini memiliki pelacak?” Kalung itu sekarang berada di tangan Sang Penanya. Dia pun membantingnya ke lantai dan menginjaknya.

“Apa alasanmu membunuh ayah Lily?”

“Krisis moneter.”

Sang Penanya agak terkejut. “Kamu ini juga lebih bodoh dari dugaanku. Bisa saja kamu meminjam uang dengan temanmu, tanpa harus mengorbankan segalanya demi masuk organisasi bodoh itu,” ceramah Sang Penanya.

“Diam! Sok bijak kamu!” Melinda berteriak.

“Di sini salahmu. Kamu hanya tidak mau mengakuinya. Saatnya belajar, Ume.” Melinda sontak terkejut.

“K-k-Kamu anggota juga?”

“Bukan, tapi lihatlah orang di sampingmu. Kamu mengenalnya.” Sang Penanya menggeser lentera.

Komentar