arrow_back

Enam Tanda Tanya

arrow_forward

“Lily, kapan kamu membeli kalung itu?” tanya Adelia. Lily kebingungan kemudian melihat lehernya.

“Ah, ini?” Lily memastikan dengan menunjukkannya dan dijawab Adelia dengan anggukan. “Seseorang memberinya padaku.”

“Siapa itu?” Adelia merasa ada petunjuk dari sana.

“Aku tidak akan menjawabnya,” jawab Lily tegas.

“Kenapa? Kamu takut?” Adelia bersimpuh menyamakan tinggi dengan Lily. “Katakan saja padaku dan aku akan melindungimu?”

Lily mulai meneteskan air mata. “Selama ini, orang yang mencoba melindungiku mati. Kakak, ibu, Kak Anto. Aku tidak mau Kakak juga.”

“Itu bukan salahmu, Lily. Katakan saja.” Lily pun menghadapi dilema. Dia tidak ingin Adelia terluka, tapi Sang Penanya telah memperbolehkan ia untuk menjawab bahkan menunjukkan kalung itu jika diminta.

“Sang Penanya,” jawab Lily dengan singkat. Adelia sempat terkejut dengan jawaban itu.

“Apakah kamu yang memasangnya sendiri atau dia yang memasangkannya padamu?”

“Dia yang memasangkannya.”

“Apakah dia memakai sarung tangan saat memasangkan kalung itu?” tanya Adelia dengan nada yang lebih semangat.

“Kurasa tidak.” Lily menaruh telunjuk kanan di dagu dan memandang ke atas. “Ya, memang tidak. Aku masih ingat.”

“Gotcha!” seru Adelia. “Aku berhasil menangkapmu Sang Penanya.”

“Maukah kamu menyerahkan kalung itu?”

Lily berpikir sejenak. “Aku belum pernah melepaskannya, bahkan saat mandi karena ancamannya sebelumnya. Tapi Kakak telah berjanji untuk melindungi dan aku mulai yakin ancaman itu hanya untuk menakut-nakuti diriku.” Lily melepas kalung itu dan menyerahkannya kepada Adelia.

“Ini aneh,” ucap Adelia. Dia agak terkejut sekaligus keheranan melihat isi

“Kalung ini berbeda dari yang lain. Biasanya dia hanya menaruh simbol tanda tanya, tapi ini? Semacam gabungan angka enam dan tanda tanya?” Adelia kebingungan. Dia pun memandang Lily dan Lily hanya mengangkat kedua bahu sebagai isyarat bahwa dia juga tidak tahu. “Tapi, Kejahatannya selama ini cukup sempurna. Dia tidak meninggalkan jejak selain kalung yang bahkan tiada sidik jari padanya.”

Lily teringat sesuatu dan memandang arloji merah mudanya. “Aku harus pergi sekarang.” Dia bergegas memanggil kereta yang tiba tidak berapa lama kemudian.


Bripka Budi dan rekan-rekannya menyusuri terowongan bawah tanah itu dan tiba di tempat yang tidak mereka duga.

“Tunggu, bagaimana bisa?” Bripka Budi tidak percaya dengan apa yang dia lihat. “Bukankah dia tadi ada di stasiun kereta?” Bripka Budi menghubungi Adelia melalui HT. “8-9 Adelia. Apakah kamu bisa mendengarku?”

“8-2 Bripka Budi. Ada apa?” jawab Adelia.

“Apakah gadis kecil itu masih bersamamu?”

“Jika maksudmu Lily, tidak. Dia sudah menaiki kereta dengan tujuan Kota Harapan. Dia bersikeras untuk segera pergi karena tidak ingin terlambat sekolah.”

“Kamu tidak akan percaya dengan apa yang kulihat di sini.”

“Baiklah, aku akan segera ke sana.”


Adelia tiba di tempat Bripka Budi berada. Dia melihat penjara putih yang diterangi lampu sorot, dengan Lily tertidur bersebelahan dengan Felix, kucingnya.

“Selamat datang!” Suara berat yang menyambut itu tidak terdengar asing lagi. Akhirnya semua orang berkumpul di sini, sesuai dengan yang telah aku rencanakan.”

Para polisi sontak menodongkan senjata. “Tenanglah. Aku memang berniat untuk menyerahkan diri. Aku sangat yakin ini adalah hari terakhirku menegakkan keadilan dan memang benar.” Itu Sang Penanya. Dia mendekat sambil mengangkat kedua tangannya.

“Jangan bohong!” sahut Bripka Dwi dengan nada marah. Sang Penanya melepas topi dan maskernya.

“Anto?” Adelia terkejut.

“Kamu mengenalnya, Adelia?” Bripka Budi juga.

“Sebelumnya tidak. Tapi setelah Lily menyebutkan namanya tadi, aku berniat untuk mencarinya dan menemukan identitasnya. Itu dia.” Adelia menunjukkan ponselnya kepada Bripka Budi. Bripka Budi pun membandingkan. Dia tidak menyangka hal itu. Adelia kembali memasukkan ponselnya.

“Lihatlah! Selama ini aku benar dengan dugaan berdasar perkataan para saksi dan korban itu. Bagian depan dari namanya adalah An!” ucap Bripka Budi dengan bangga.

“Tapi Lily sudah menduga dia mati.” Ucapan Adelia sontak membuat Bripka Budi kembali terdiam.

“Wah, padahal aku baru saja ingin memperkenalkan diri tapi kalian tahu lebih dulu.” Anto diam sejenak dan beberapa polisi mulai mendekat. “Sekarang, sebelum kalian memborgol tanganku. Biarkan aku menjelaskan semuanya di sini, agar kalian paham motifku.”

Anto memandang ke belakang, penjara putih kecil itu. “Lily yang di dalam penjara itu hanya maneken yang kupesan dari Sukamawar. Aku tidak tahu apakah kalian mau percaya atau tidak, tapi selama ini, Lily benar-benar tinggal di dalam sana, hanya karena kepercayaan bodoh masyarakat. Tidak banyak orang yang mengiriminya makanan dan entah berapa kali dia hanyut dalam banjir. Kucingnya, Felix bahkan menjadi kurus. Entah apa yang membuatnya bisa bebas dan kembali tinggal bersama ibunya yang bahkan tidak bisa dianggap sebagai ibu karena sengaja membuatnya terluka, begitu pula ayah dan kakaknya yang meninggalkannya.”

“Tapi, setelah semua pembunuhan anak-anak, kenapa kalian tidak peduli? Tidak bisakah kalian menyadari populasi mereka yang terus berkurang? Kenapa kalian tidak peduli dengan legalitas panti asuhan itu?”

“Lantas, betapa banyak korban yang sudah dihasilkan oleh Dani dan Agung itu, ha?”

“Apakah kamu sudah melapor?” tanya Bripka Budi.

“Tentu!” jawab Anto dengan marah. “Laporanku telah masuk. Tanyakan saja SPKT. Tidak hanya di Kota Dingin, aku juga mengadukan di Kota Harapan namun kalian tidak pernah datang!”

“Lihatlah aku! Aku lebih baik dari kalian! Aku telah menyediakan segalanya yang tidak bisa diperoleh Lily selama dia bersama keluarganya. Felix sekarang telah menjadi kucing yang subur. Dani dan Agus telah mati. Sekarang, kalian tidak perlu melakukan apa-apa lagi karena masalah sudah usai! Ditambah dengan Lily yang mulai sekolah, semuanya sempurna.” Anto mengakhirinya dengan tawa jahat. Bripka Budi terdiam.

“Kalau begitu, jelaskan kalung ini.” Adelia menunjukkan kalung Lily kepada Anto.

“Aku kira kalian pintar,” sahut Anto dengan nada sarkastik. “Aku telah membiarkan Dani hidup agar dia menjelaskan secara keseluruhan. Begitu pula Andika si peniru itu.”

“Oh ya, di mana dia?”

“Dia sudah dibawa ke kantor,” sahut Adelia.

“Berarti memang takdirku untuk menjelaskan,” ucap Anto dengan tenang. “Sederhana saja karena aku akan meringkasnya, itu kunci untuk permainan yang kulakukan. Enam Tanda Tanya. Kamu akan memahaminya nanti.”

Kesal dengan hal itu, Bripka Budi pun memborgol tangan Anto dan dia digiring ke kantor kepolisian. “Beritahukan ini kepada Lily. Bahwa Sang Penanya telah ditangkap karena aku ingin dia berkunjung ke penjara untuk menjengukku. Nanti, aku ingin kamu,” Sang Penanya menatap Adelia, “mengiringinya nanti.”


Lily tiba di Rumah Tahanan Kota Dingin, beserta Adelia sesuai keinginan Sang Penanya. “Kak Anto. Jadi, selama ini kakak yang melakukannya? Membunuh ibu dan kakakku?” Anto hanya terdiam sambil menunduk. “Jawab aku!” Anto tetap diam. “Andai kita tidak terhalang sekat ini, aku pasti akan menampar dan mengutukmu”

“Kamu melihat itu, Adelia? Itu yang diajarkan ibunya. Bukankah ibunya pantas mati setelah itu?”

“Terkutuklah kamu!” teriak Lily. Anto memandang Adelia. Adelia pun menarik Lily keluar. “Lepaskan aku!” Lily terus berteriak.

“Tenanglah, Lily. Aku juga akan mati, jika mereka benar-benar menghukumku.” Anto tersenyum kecil.

Komentar