Sang Penasihat berjalan menelusuri terowongan gelap itu. “Kenapa aku memilih tempat ini? Padahal belum tentu dia ada di sini.”
“Dasar Andika.” Gumaman darinya, memanggil namanya sendiri. Dia mengeluh, belum mengetahui Sang Penanya secara sepenuhnya namun sudah ingin meniru. Tiba-tiba, kepalanya dihantam kursi lipat besi dan membuatnya langsung pingsan.
Andika terbangun dengan posisi terikat di sebuah tiang. Di depannya—seakan telah menunggu—Sang Penanya duduk di kursi lipat besi yang sudah agak penyok itu sambil memainkan palu godam di tangannya.
“Aku mendengar kamu mengucapkan Andika, sepertinya itu namamu. Kamu sudah tahu aku, tapi sebagaimana biasa, aku akan memperkenalkan diri. Namaku Sang Penanya. Senang bertemu denganmu, Sang Penasihat, atau lebih tepatnya, akan kupanggil Sang Peniru.”
“Apakah kamu yakin itu namaku?”
“Tentu! Dari nada bicaramu, bahkan pertanyaan barusan telah membuktikannya.” Sang Penanya meletakkan palu godam itu ke lantai dan mengganti kursi karena merasa tidak nyaman duduk. “Jika bertemu denganku, kamu sudah tahu apa yang mereka maksud?” Pertanyaan Sang Penanya membuat Andika bingung. “Kita akan bermain!” Sang Penanya duduk kembali.
“Ah, itu rupanya yang diceritakan anak kecil itu,” ucap Andika dengan suara lemah.
“Anak kecil?” Sang Penanya mendengarnya dan agak terkejut. “Wah, seharusnya sekarang kamu mengerti permainannya.”
“Permainan apa?”
Tanpa disahut, Sang Penanya benar-benar tidak menghiraukannya. “Aku akan mengujimu, apakah benar-benar mengerti….” Sang Penanya mulai serius. “Permainan dimulai!”
Andika menyeringai. “Bagaimana caramu menilai permainannya?”
Masker Sang Penanya berkerut, yang bisa berarti senyuman tersembunyi kemudian menghela napas. “Apa? Siapa? Di mana? Kapan?” Dia mengisyaratkan hitungan dengan jari di tangannya. “Jangan lupa Kenapa? Dan Bagaimana?”
“Tanyakan semuanya, maka kamu akan bebas. Kurang satu saja, atau lebih … sampai jumpa!”
“Serius? Kamu hanya meminta orang lain untuk bertanya? Kenapa kamu menamai dirimu Sang Penanya?”
Sang Penanya diam sejenak sambil berjalan. “Sebelum aku menjawab, apa ini?” Dia mengambil kemudian menunjukkan sebuah gunting rumput. “Kamu berpikir, ini senjata yang kugunakan? Biar kutebak, untuk pembunuhan korban pertama ketika berita mengatakan lehernya patah?”
Sekarang giliran Andika yang terdiam. “Pada awalnya, aku langsung menghentikan permainan jika pemain sepertimu gagal, tidak sesuai dengan harapanku. Tapi ternyata melebihi itu, rasanya tidak seru jika pemain mati terlalu cepat. Akhirnya, aku memilih memberi hukuman sampai pemain mati. Dengannya, itu lebih perlahan.”
Sang Penanya kembali mendekat. “Apakah aku memberi informasi terlalu banyak?” Dia merendah, kemudian melepas sepatu Andika yang sebelah kiri, tanpa melupakan kaos kaki.
“Hm, yang mana ya?” Sang Penanya memainkan gunting rumput itu.
“J-jangan!” teriak Andika. Sang Penanya hanya menyeringai. Tanpa banyak bicara, dia memotong kelingking Andika yang membuatnya berteriak keras. Sang Penanya langsung menyiram kaki Andika dengan air es dan membalutnya dengan handuk, juga menyerahkan potongan kelingking ke tangan Andika. Napas Andika mulai tidak teratur.
“Kamu telah melakukan satu kesalahan.” Sang Penanya tertawa kecil. Andika seakan mengutuk dengan matanya. “Tenanglah, masih ada sembilan jari lainnya, ditambah sepuluh di tanganmu.”
Sang Penanya menghela napas. “Ya, hanya itu permainannya. Tapi nama diriku yang merupakan Sang Penanya, bukan tanpa sebab. Aku juga akan bertanya balik, terlebih lagi aku mengetahui dan menyadari kebohongan yang kau katakan.”
“Ah, itu hanya ancamanmu.” Andika meremehkan.
“Kamu hanya belum berbohong sampai sekarang.” Sang Penanya mengambil palu godam untuk mengancam Andika dengan meletakkannya di depan wajahnya.
“Baiklah. Sekarang giliranku.” Sang Penanya kembali memainkan palu godam itu. “Siapa orang yang sudah kamu coba bunuh.”
“Seorang laki-laki berusia dua puluh tahun,” jawab Andika. Tanpa ragu, Sang Penanya memukulkan palu godamnya ke kaki Andika yang telah terluka sebelumnya. Retakan tulang hancur terdengar di tempat sepi itu.
Andika memandang Sang Penanya. “Sudah kubilang, aku tahu jika kamu berbohong.”
“Baiklah, aku mengaku berbohong.” Suara Andika bergetar. Air mata masih menetes dari matanya. Dia nampak benar-benar kesakitan. “Aku menangkap anak kecil itu.”
Sang Penanya benar-benar terkejut kali ini. “Kamu akan sangat menyesal jika membunuh anak kecil itu. Para warga Kota Dingin dan Kota Harapan kujamin lebih mengutukmu dibanding aku.”
“Sekarang, kembali ke giliranmu.” Sang Penanya mulai duduk kembali di kursi lipat besi.
“Kapan semua ini berakhir? Di mana dan bagaimana kamu akan melakukannya?”
“Aku akan mengakhiri semuanya saat polisi berhasil menangkapku. Aku tidak peduli mereka menangkapku di mana pun yang mereka inginkan. Tapi yang pasti, jika ada yang menggangguku, aku akan terus melakukannya. Tidak lupa, aku adalah Sang Penanya. Aku harus misterius sebagaimana diriku sebenarnya.” Sang Penanya diam sejenak. “Sepertinya permainan telah selesai. Selamat tidur!” Sang Penanya mulai meninggalkan Andika yang masih terikat.
“Begitu saja?” Andika tidak percaya. Nada bicaranya terdengar terkejut dan marah.
“Ya! Jika kamu berhasil tadi, kebebasan dapat kau raih. Bahkan besar kemungkinan aku tidak pernah mengganggumu lagi. Tapi karena kamu gagal, kamu dilarang untuk mengatakan apapun yang terkait dengan kejadian ini. Meski demikian, aku memberimu hadiah.” Sang Penanya mengalungkan kalung dengan simbol tanda tanya di leher Andika. “Jika kamu menyalahi peraturan, sesuatu yang buruk akan terjadi padamu. Tidurlah, dan keesokan hari kamu sudah berada di tempat lain.” Sang Penanya terus berjalan menjauh sampai Andika tidak bisa melihatnya lagi.
Pagi keesokan harinya, sebuah laporan diterima oleh Kepolisian Resor Kota Dingin. Bripka Budi beserta Unit Jatanras langsung mendatangi TKP yang diceritakan oleh pelapor yang misterius. Berbaring di bangku, seseorang pria memakai pakaian serba hitam. Kehadiran polisi membangunkannya, namun dia tidak sempat kabur karena jalannya yang pincang dan berhasil diborgol Bripka Budi.
“Akhirnya, kita telah menangkap pelakunya.” Bripka Budi sangat bangga atas apa yang telah dia lakukan. Dia melakukan pemeriksaan luar dan menemukan dompet di saku celananya. Bripka Budi membukanya dan menemukan KTP tertanda Andika. “Semuanya sesuai, bahkan suku kata pertama namanya. Senang bertemu denganmu, Andika.”
“Anda yakin?” Adelia dari Laboratorium Forensik yang mendampingi tim berujar. “Dani dan Agung telah tiada. Siapa yang dapat menjamin bahwa memang dia orangnya?”
Bripka Budi terdiam. “Periksa dia lebih lanjut,” perintah Adelia. Para polisi lelaki memeriksa keadaan Andika lebih lanjut. Mereka menemukan kalung dengan simbol tanda tanya di leher Andika.
Mereka terus bergerak sampai memeriksa ke dalam sepatunya. Adelia menyadari kaos kaki sebelah kiri agak kempes dibanding sebelah kanan. Dia pun memerintahkan salah satu polisi membukakannya karena tangan Sang Penanya yang diborgol dan mereka dikejutkan oleh kelingkingnya yang menghilang. “Kelingkingnya….” Adelia tidak percaya atas apa yang dia lihat.
Polisi terus menggeledah. Kelingkingnya ditemukan di saku baju Andika. Andika saat itu masih belum dapat berbicara.
“Pasti bukan dia pelakunya. Kalung di lehernya menandakan bahwa dia adalah bagian dari korban Sang Penanya berdasarkan tanda-tanda yang telah dikenali polisi. Ditambah kakinya yang tidak utuh, kelingking ini benar-benar seperti baru saja dipotong beberapa jam lalu dan menunjukkan bahwa Sang Penanya tidak jauh dari sini.”
Terdengar langkah kaki mendekat ke stasiun di tengah keributan itu. Dialah Lily, yang bersiap untuk pergi ke sekolah. Bahkan Lily terkejut apa yang dia lihat di sana. Adelia dan Lily bertatapan.