arrow_back

Enam Tanda Tanya

arrow_forward

Lily akhirnya menaiki kereta. Dia terkejut setelah melihat seseorang yang dikenal. “Bu Marina? Bunga?” Kedua orang itu pun memandang. “Apa yang kalian lakukan di sini?”

“Kamu belum ganti baju?” tanya Marina menyadari Lily masih mengenakan seragam sekolah.

“Aku baru saja tiba di sini.”

Marina sontak bingung. “Bagaimana bisa? Bukankah kamu pulang lebih dulu dari kami?”

“Aku jalan-jalan sebentar sambil menunggu kereta tiba.” Lily tidak mau menjelaskan apa yang terjadi sebenarnya, namun dia bergumam, “Untung mereka aman.”

“Apakah kalian ingin memesan sesuatu?” tanya Andi.

“Tidak ada,” sahut Marina.

“Anda mau ke mana?” tanya Lily menyadari Andi seperti bergegas.

“Mendampingi Thomas di gerbong depan.”

“Bolehkah aku ikut?” tanya Lily sambil menahan tangan Andi. Marina dan Bunga memandang kebingungan.

Andi mengangguk. Lily berdiri dan diantar Andi menuju gerbong paling depan. “Pak Thomas.”

“Ya. Ada apa nak?” tanya Thomas memandang ke belakang. Bayangannya terlihat di jendela depan.

“Bolehkah aku bertanya?” Lily mendekat dengan niat agar tidak mengganggu.

“Apa itu?” Akhirnya, Thomas dapat bertatapan langsung dengan Lily. Lily memandang dengan tatapan yang cukup lama.

“Apa yang terjadi dengan wajah Anda?” Lily bertanya dengan suara lemah. Dia takut menyakiti perasaan Thomas.

“Dari mana aku harus menceritakannya? Hm….” Thomas kembali menatap ke depan. Matanya mulai bergetar seiring dia mengingat apa yang terjadi. “Aku pernah mengalami kecelakaan dan wajahku terbakar.”

“Banyak yang menghina, mereka kira karena rasku atau namaku seperti orang asing, atau aku mengidap albino, dan itu adalah alasan lain kenapa aku tidak pernah menampilkan diri di gerbong penumpang kecuali sekali tadi.”

“Maafkan aku menanyakan itu. Aku hanya terlalu penasaran,” ucap Lily merasa bersalah.

“Tidak apa. Rasa penasaran yang kamu punya masih bagus. Kamu hanya perlu memanfaatkannya.” Thomas tersenyum kecil sambil menatap Lily.

“Terima kasih atas jawaban Anda.” Lily menunduk kemudian mulai berjalan.

Andi yang tadi mendampingi tinggal di sana. “Kamu cukup pintar untuk menggunakan telepon itu dan memanggil.” Lily tersenyum menunduk sambil terus berjalan ke gerbong penumpang.

Lily sampai gerbong penumpang dan kembali duduk. Suasana hening sesaat sampai Lily memulai topik pembicaraan. “Bu Marina, Bunga.”

“Ya?” sahut Marina.

“Kalian telah mengetahui tentang rahasia itu.” Lily menunduk sambil menutup lehernya. Tanpa mengatakannya secara langsung, mereka tahu bahwa yang Lily maksud adalah kalung. “Aku harap kalian berhati-hati karena bisa saja kalian dikejar. Cukup kalian yang tahu untuk sementara.”

Bunga ketakutan dan memeluk Marina. Lily melihat hal itu kemudian menatap mata Marina. Marina menyadari tatapan itu dan tersenyum kecil. “Ah, kamu sepertinya baru saja mengetahuinya,” ucap Marina. Lily hanya tersenyum kecil meski matanya berkaca-kaca.

Waktu terus berlalu dan kereta telah tiba di Kota Dingin. Mereka telah berada di luar lorong. Lily berpikir sejenak. “Oh ya, bagaimana kalau kalian ke restoran? Tinggal lurus saja dari sini. Bangunannya paling berbeda dari yang lain. Jika kalian mendorong pintunya dan mendengar lonceng berdering, itu berarti memang tempatnya.”

“Bagaimana denganmu?” tanya Bunga.

“Aku harus pulang dulu. Meletakkan ransel dan ganti baju. Rumahku juga tidak jauh dari sini.” Lily kemudian berlari.

“Hati-hati!” ucap Marina.


Lily telah selesai berganti baju dan tiba di restoran. Marina dan Bunga telah menunggu di dalamnya. Terlihat mereka belum makan.

“Kalian belum memesan?” tanya Lily. “Pesan saja. Itu yang Kak Citra pesan dan inginkan padaku. Aku telah menyampaikannya kepada kalian.”

Citra yang mengenali suara itu sontak bergegas keluar dari dapur. “Lily!” ucapnya sambil memeluk Lily.

Setelah Citra melepas pelukan, Lily mulai memperkenalkannya. “Ini Kak Citra yang kuceritakan.”

Lily kemudian menunjuk Marina dan Bunga dengan maksud memperkenalkannya kepada Citra. “Bu Marina, guru di sekolah dan Bunga, teman baru.”

“Kalian beruntung telah mengenal Lily. Silakan pesan apapun, kami akan memberikannya secara cuma-cuma hanya untuk hari ini.”

“Jangan bilang Anda kebanyakan masak lagi,” ucap Lily. Citra tertawa kecil.

“Baiklah. Kami hanya ingin nasi, ikan dan teh,” ucap Marina.

“Tapi bukankah itu terlalu sederhana, bahkan bisa didapatkan di warung?” sindir salah seorang pengunjung di sana.

“Memang, dan itulah yang kami mau!” Bunga menyahut dengan berani. Sontak pengunjung itu terdiam.

Marina memandang Bunga dengan mata penuh amarah. Tapi Lily malah menepuk bahu Bunga dan memujinya dengan mengacungkan jempol. Lily sepertinya sangat menyukai keberanian itu.

“Bagaimana kalian bisa dipekerjakan di sini?” tanya Marina penasaran.

“Ceritanya cukup panjang. Apakah kamu mau menceritakannya, Reginald?” Citra telah diberi kesibukan untuk menyiapkan pesanan itu. Dia bergegas kembali ke dapur dan Reginald keluar dari meja kasir.

“Aku bisa meringkasnya.” Reginald mendekat ke meja Marina, Bunga, dan Lily. “Manajer restoran kami mendapatkan surel dari seseorang yang mengaku sebagai pemilik restoran ini ingin mempekerjakan koki dan kasir baru. Bahkan, manajer kami mengaku mendapat uang yang cukup besar dan sebagian telah dibagikan kepada kami, melebihi dari gaji kami di sana. Pada akhirnya, kami pergi ke sini. Sebelumnya, kami tidak tahu di mana restorannya, tapi dengan bentuk bangunan, sistem pintu, ditambah Lily yang kebetulan lewat, kami yakin inilah tempatnya dan benar.”

“Jujur, kami masih penasaran siapa orangnya dan bagaimana mendapat uang sebanyak itu. Sampai sekarang, kami belum melihat yang mengaku sebagai pemilik restoran ini.”

“Itu saja ceritanya,” ucap Reginald sambil kembali ke meja kasir karena pengunjung yang menyindir tadi akan membayar. “Beruntung kamu tidak ditagih lebih karena kelakuanmu tadi.” Reginald menegur pengunjung itu kemudian dia pergi.

Citra tiba dengan senampan penuh makanan. “Ini pesanan kalian, ditambah makanan sampingan, makanan pendamping, atau apapun namanya.”

“Kalian belum makan?” tanya Lily. Marina dan Bunga terdiam. “Untung kalian berkunjung ke sini.”

“Makanlah, karena aku sudah dan kalian juga melihatnya,” ucap Lily. Mereka pun makan dengan lahap.

“Apa yang akan kalian lakukan setelah ini?” tanya Lily tersenyum melihat mereka makan.

“Kami ingin pergi ke rumahmu,” jawab Bunga setelah meneguk air.

Lily hanya diam. “Apakah itu menyusahkanmu?” tanya Marina.

“Tidak…. Hanya saja, rumah masih berantakan.” Lily menunduk.

“Tenang, kami dapat membantumu membereskannya, iya kan?” Bunga memandang Marina.

“Tentu.” Marina menyahut dengan yakin.

Singkat cerita, mereka selesai makan. Marina mendekat ke meja kasir namun Reginald menolak pembayaran yang dilakukan olehnya. Karena itu, Marina, Bunga dan Lily langsung pergi. “Datang lagi,” ucap Reginald sambil menunduk.

Pada akhirnya, Marina dan Bunga tiba di rumah Lily. “Ini rumahmu?” tanya Bunga. Lily hanya diam namun dia membuka kunci pintu.

Marina dan Bunga pun memasuki rumah. Menyadari sepi, Marina bertanya, “Kamu sendirian?”

Lagi, Lily diam sebentar. “Felix!” panggil Lily sambil berdecak. Kucing putih berlari menghampiri Lily. Lily langsung memeluk dan mengelusnya. “Aku sudah bilang kan?”

“Di mana ibumu?” Marina mengubah pertanyaannya. Sepertinya, itu yang dia maksud tadi.

“Ibuku meninggal dan pihak kepolisian telah memakamkan mayatnya.” Lily menyadari ada koran di bawah pintu dan dia mengambilnya. “Nah, ada beritanya.” Dia pun menyerahkannya kepada Marina. Sementara itu, Lily melepas Felix dan bergegas pergi ke kamarnya untuk merapikan. Membaca isi berita itu, Marina hanya bisa menahan air matanya.

Komentar