arrow_back

Enam Tanda Tanya

arrow_forward

Lily pulang dari sekolah pertamanya setelah selesai membereskan semuanya. Setibanya di stasiun, dia mencoba hal baru yakni menggunakan telepon untuk memanggil kereta karena saat itu kereta sedang berada di stasiun Kota Dingin. Andi telah mengajari Lily sebelumnya bagaimana dia harus memanggil kereta jika sedang berada di stasiun lain. Setelah panggilan itu dijawab, dia mulai menunggu.

Tapi karena bosan, Lily melakukan perjalanan kecil. Dia menjelajahi lorong bawah tanah yang cukup gelap itu. Lampunya yang kelap-kelip mengingatkan pengalamannya dengan Sang Penanya, seolah menjadi firasat bahwa akan terjadi sesuatu.

Benar saja, seseorang menangkap Lily. Dia sudah berusaha memberontak, namun dia hanya anak kecil. Kekuatannya belum cukup untuk melawan. Kakinya mengayun dengan keras sementara kedua tangannya berada di lengan pelaku.

Lily dibawa ke suatu tempat yang lebih gelap, masih di terowongan yang sama. Dia dilempar begitu saja dan berakhir dengan posisi duduk. Lily merintih sebentar sambil memandang orang itu dengan penuh kekesalan dan kemarahan.

“Siapa kamu?!” tanya Lily dengan suara nyaring.

“Namaku Sang Penasihat,” jawab orang itu sambil memegang sebuah mikrofon di tangan kanannya. Dari postur dan mata, dia merupakan seorang pria. Tapi sepertinya mikrofon itu telah disunting agar suara yang dikeluarkan lebih dalam. Entah di mana dia meletakkan pengeras suara atau memang dari mikrofon itu langsung.

“Pena … sihat?” Lily sedikit kebingungan namun dia tersenyum karena telah memahami apa yang terjadi. Dia langsung tahu bahwa orang ini entah terinspirasi atau hanya ingin meniru Sang Penanya, sehingga berpikir untuk turut bermain dalam kepalsuan ini. “Apa yang akan kamu lakukan?”

“Aku akan membunuhmu.” Lily pura-pura ketakutan karena ucapan Sang Penasihat. Tapi dia membalas kemudian, “Kamu tidak mengajakku bermain? Aku baru saja pulang sekolah.”

“Apa maksudmu?” Sang Penasihat kebingungan. Tangannya yang memegang mikrofon mulai gemetar.

“Apakah Anda benar-benar pelaku yang dimaksud di berita itu?” Lily berdiri sejenak sambil mendekat kepada Sang Penasihat kemudian duduk lagi tepat di depannya.

“Ya, itu aku,” jawabnya dengan agak gugup. “Kenapa memangnya?”

“Anda bahkan tidak tahu apa yang kumaksud dengan permainan.” Sang Penasihat terdiam karena bingung sepenuhnya. “Sini, kita bermain dengan peraturan asli.”

“Siapa aku?” tanya Lily memulai. Dia memancing tanggapan dari Sang Penasihat.

“Kamu hanya anak kecil.” Sang Penasihat menjawab dengan tenang. Nada bicaranya cukup meremehkan.

“Benar.” Sang Penasihat dibingungkan dengan jawaban Lily namun Lily terus mencecarinya dengan pertanyaan. “Kenapa kamu membawaku ke sini?”

“Seperti biasa, siapapun yang lewat di sini, aku akan menangkapnya untuk dibunuh.” Sang Penasihat memperoleh kepercayaan diri dan menjawab dengan berani.

“Benarkah? Apakah tidak ada alasan lain?” Lily terus bertanya. Dari pandangan matanya, dia benar-benar menyembunyikan kekesalan dan kemarahannya. Sang Penasihat hanya diam. “Anggaplah kamu berhasil membunuhku. Apa yang akan kamu lakukan selanjutnya?”

“Aku akan meninggalkanmu tempat-tempat pembunuhanku sebelumnya, entah itu hutan yang merupakan tempat pembuangan pertamaku atau depan panti asuhan yang merupakan tempat pembuangan terbaruku.”

Lily memandang terkejut. “Tidak hanya meniru, dia juga mengaku,” gumamnya sambil menunduk. Sang Penasihat terlihat kebingungan karena Lily seperti berbicara sendiri. Lily tiba-tiba memandang Sang Penasihat. “Bagaimana caramu membawaku ke sana?”

“Sebagaimana aku membawamu tadi. Itu sangat mudah.”

Lily mulai tertawa kecil. Dia pun bergumam, “Orang ini sangat labil. Sebentar takut, sebentar percaya diri.”

“Baiklah.” Lily berpura-pura takut lagi. “Tapi, kenapa kamu memilihku untuk dijadikan korban?”

“Sudah kubilang, kamu kebetulan lewat di sini. Perlu kamu ketahui bahwa ini adalah teritoriku. Tidak ada yang boleh melewatinya atau berada di dalamnya.” Sang Penasihat membentangkan kedua tangannya.

“Bagaimana kalau kubilang aku lebih sering tinggal di sini daripada kamu?” Suara Lily mulai bergetar. “Teruslah berjalan di terowongan ini, kamu akan sampai ke Kota Dingin tapi lebih lambat dibanding naik kereta. Jika kamu melihat sebuah penjara kecil, semoga itu menjadi tempat terakhirmu!”

“Kapan terakhir kali kamu ke sana?” Sang Penasihat menurunkan tangannya. Dia kembali terdiam. “Jangan bilang bahwa kamu bahkan tidak tahu kita di mana.”

Lily mulai berdiri. “Sang Penasihat, kamu sangat buruk dalam meniru orang.” Dia kemudian tertawa kecil. “Berita telah tersebar dan aku bersyukur telah membacanya lebih dulu dari koran kemarin. Kubaca Koki Dani yang sempat menjadi korban selamat telah membeberkan semua yang dilakukan pelaku asli kepadanya. Sampai sekarang, bahkan tidak ada satupun yang mirip dengan pelaku aslinya.”

“Awas, kalau kamu melakukan hal ini kepada orang lainnya. Aku dapat menjamin yang asli akan mengincar kamu setelah ini. Tidak hanya itu, polisi juga terus mengejar. Bisa saja mereka malah menangkapmu yang sepertinya belum pernah membunuh sama sekali.”

Lily terus memandang Sang Penasihat yang masih terdiam. “Permainan telah selesai. Jika kamu asli, maka aku boleh pulang sekarang,” ucap Lily sambil mulai berjalan menjauh.

“Tapi jika kamu benar-benar ingin meniru. Kamu seharusnya belajar dari yang disebut pelaku aslinya sebagai permainan.”

“Oh ya,” Lily berhenti sejenak untuk memandang ke belakang. “Aku yakin kamu juga tidak tahu siapa sebenarnya korban pertama dan terbaru. Kamu hanya berusaha meniru tapi bahkan tidak membaca berita.” Dia melanjutkan perjalanan kembali ke stasiun.

“Siapa anak kecil itu sebenarnya?” tanya Sang Penasihat keheranan sekaligus memiliki kekaguman kecil. Dia membiarkan Lily pergi, tidak mencegah atau menahannya. Mikrofon bahkan jatuh dari tangannya.


Lily terus berjalan menuju stasiun kereta. “Wah, bagaimana aku bisa berbicara selancar itu?” gumam Lily. Bahkan Lily sendiri bingung karena ucapannya tadi. “Sepertinya tontonan detektif itu benar-benar mempengaruhi.”

“Tapi aku tidak memakai topi bundarku sekarang. Bagaimana kalau arwah seseorang merasukiku?” Pikiran Lily semakin sliar seiring dia mendekat kepada stasiun. Dia hanya memiringkan kepalanya ke samping.

Rupanya, kereta itu telah tiba di stasiun Kota Harapan dan Andi telah menunggu Lily sambil menengok-nengok. “Ke mana saja kamu, Lily?” tanya Andi. “Aku mencarimu.”

Lily melihat seseorang yang baru di samping Andi. “Siapa Anda?” Dia memandang dengan mata gemetar.

“Namaku Thomas, aku adalah masinis dari kereta ini. Ini adalah pertama kalinya aku menunjukkan diri pada orang lain, alih-alih mereka yang datang. Bahkan banyak di antara penumpang mengira Andi merangkap pramugara dan masinis.” Thomas tersenyum kecil setelah memperkenalkan diri. “Kenapa kamu memandangku seperti itu?”

“Wajah Anda pucat,” jawab Lily dengan suara lemah.

“Itulah mengapa orang takut kepadaku. Makanya, aku tidak pernah menunjukkan diri sampai sekarang.” Thomas tersenyum lagi kemudian berpaling. “Naiklah sekarang.” Dia meletakkan kedua tangannya di punggung.

“Apa yang terjadi?” tanya Andi khawatir.

“Hanya seorang peniru penjahat yang mencoba menangkapku,” jawab Lily dengan santai. Lily pun menaiki kereta.

Komentar