arrow_back

Enam Tanda Tanya

arrow_forward

Sekarang adalah hari pertama Lily di SDN Kota Harapan. Dengan seragam yang khas, dia memasuki sekolah. Sebagaimana yang telah dijanjikan, Lily akan bertemu dengan wali kelas.

“Nama ibu, Marina. Ibu akan menjadi walimu di kelas 1.” Wanita itu memperkenalkan dirinya kepada Lily. Dia juga mengantarkan Lily ke kelas.

Kemampuan membaca Lily yang sudah bagus dan usianya yang sudah enam tahun membuatnya tidak perlu lagi taman kanak-kanak. Lily diperlakukan seakan murid pindahan dari sekolah lain.

“Selamat pagi, anak-anak!” ucap Marina masuk kelas, diikuti Lily.

“Selamat pagi, Bu!” sahut para murid serentak. Beberapa di antara mereka memandang Lily dengan keheranan.

“Hari ini, kita kedatangan teman baru. Yuk, perkenalkan dirimu.” Marina memandang Lily. Lily membalas pandangan itu kemudian memandang murid lain.

Lily mulai gugup. Dia pun memberanikan diri dengan menghela napas. “Halo teman-teman!” Lily melambaikan kedua tangannya. “Namaku Lily. Aku dari Kota Dingin. Senang berkenalan dengan kalian!” Dia melambai lagi.

Tidak ada tanggapan dari murid lain dan itu membuat Lily terdiam. Suasana menjadi agak canggung, namun Lily hanya tersenyum kecil.

“Baiklah, Lily. Silakan duduk di kursi kosong sana.” Marina menunjuk. Lily memandang, mengangguk dan berjalan ke sana.

Dia duduk bersebelahan dengan seorang anak perempuan yang terlihat sebaya. “Halo Lily, namaku Bunga.”

Lily memandang terkejut. Akhirnya ada tanggapan dari murid lain. Mungkin dia malu sehingga menunggu waktu yang tepat untuk memperkenalkan dirinya. Pelajaran pun dimulai, dengan Marina sebagai pengajar pertama pada hari itu.

Singkat cerita, waktu pulang tiba. Lily tidak langsung pulang dan itu membuat Bunga heran. Dia membuka tasnya, mengambil sebuah kotak dan meletakkannya di atas meja.

“Apa itu?” tanya Bunga penasaran.

“Bekal,” jawab Lily sambil membuka kotak itu. “Kamu mau?” Isinya hanya set standar, yakni nasi, lauk berupa potongan daging, dan air untuk minum.

Lily mengambil sendoknya, mengiris daging dengannya, menambah sedikit nasi dan menyuapkannya kepada Bunga. Bunga membuka mulutnya perlahan. Setelah masuk ke mulut, Bunga nampak terkejut.

“Mm, enak.” Mata Bunga membelalak sambil memandang Lily. “Siapa membuatnya?”

“Kak Citra. Padahal sudah kubilang aku sudah menyiapkan bekal sendiri, tapi dia menyuruhku untuk membawa ini dan boleh menawarkannya kepada teman.” Lily tersenyum kecil.

“Siapa Kak Citra? Kakakmu?” tanya Bunga penasaran.

“Bukan. Koki di restoran.” Bunga mengangguk dan tidak melanjutkan pembicaraannya.

Marina yang akan menutup kelas menyadari Lily dan Bunga masih berada di dalamnya. Dia terlihat ingin menegur, namun menyadari Lily sedang makan dan Bunga hanya menemaninya. Marina pun memasuki kelas. Dia duduk di samping mereka.

“Apakah Ibu mau?” Lily menawari.

“Tidak, terima kasih. Ibu akan makan nanti saja.”

Tetap saja, Lily juga menyiapkan makanan dan menyuapkannya kepada Marina. Marina juga memandang Lily dengan mata membelalak, terkejut akan rasanya.

“Kak Citra, koki di Restoran Kota Dingin yang membuatnya,” ucap Bunga. “Lily memberitahuku orang yang membuatnya.” Hal itu membuat Marina tersenyum.

“Kenapa kamu tidak makan di rumah saja?” tanya Marina.

“Kenapa?” Lily diam untuk melanjutkan mengunyah. Setelah menelannya, dia baru menjawab, “Lagipula tidak ada siapa-siapa di rumah. Ditambah untuk tiba di rumah mengambil waktu lama. Aku takut lapar di tengah jalan. Aku juga belum pernah makan di tempat lain seperti sekarang.”

“Tidak ada siapa-siapa di rumah?” Marina cukup terkejut. “Bukannya saat mendaftar kamu bersama ibumu?” Marina juga mendengar hal itu dari staf tata usaha.

“Ibu sudah tiada lagi.” Marina terkejut mendengarnya.

“Aku dan para polisi menemukannya terbaring di depan panti asuhan. Mereka terus menghalangiku mendekat, padahal itu ibuku.”

“Kenapa anak-anak sekarang begitu cepat dewasa,” gumam Marina. “Turut berduka cita atas kepergian ibumu,” ucapnya kepada Lily.

“Berarti kamu sendirian dong?” Lily diam namun menunduk. “Siapa yang mengurus jenazah?”

Suasana hening sesaat. Lily begitu fokus kepada makanannya sambil memikirkan maksud pertanyaan Marina dan mengingat apa yang telah dilakukan. “Kak Adel bilang mereka memeriksa jasad ibuku untuk mengetahui apa yang terjadi. Jadi aku yakin mereka juga mengurus setelahnya.” Lily memandang.

Marina mulai bersimpati. “Kamu tahu siapa yang melakukannya?”

Lily diam dan menunduk. “Aku … tidak mau menjawabnya.” Suaranya bergetar ketika mengatakan itu itu. “Tapi aku mendengar beritanya telah sampai ke sini.”

Marina membuka ponselnya. Dia terkejut karena ada satu berita sedang mengetren pada hari itu. “Baru-baru ini Polres Kota Dingin menemukan jasad baru, seorang wanita berinisial M di depan panti asuhan. Karena ada kalung di leher korban, polisi menduga ini adalah bagian dari pembunuhan berantai oleh seorang pelaku berinisial A alias SP.” Dari berita itu juga, Marina mengetahui bahwa Adel yang dimaksud Lily adalah Adelia, anggota Laboratorium Forensik.

Marina terdiam sejenak, menyadari Lily tidak berbohong. Apalagi Marina tahu bahwa ibu Lily bernama Melinda, berinisial sama dengannya yang membuatnya masih ingat perkataan staf tata usaha sebagai panitia pendaftaran.

“A alias SP itu, dia orangnya?” tanya Marina memandang. Lily bingung, dia belum mengerti maksud A tapi karena mendengar SP, dia mengangguk pelan.

“Kenapa kamu tidak mau memberitahukan namanya?” Marina terdengar serius. Dia bahkan memasukkan kembali ponselnya. “Kamu tinggal sendirian sekarang bukan? Bagaimana jika dia mengincarmu selanjutnya?”

Lily terdiam sebentar. “Dia telah berjanji untuk tidak menggangguku lagi, walau pernah melanggarnya sekali,” jawab Lily dengan suara lemah.

“Dia pernah menangkapmu sebelumnya?” Marina agak terkejut dan tidak menyangka hal itu terjadi. “Bagaimana kalau kamu tinggal dengan Ibu saja?”

“Tidak!” sahut Lily sontak dan mengejutkan Marina. “Aku sadar, selama ini orang-orang yang mencoba melindungiku selalu pergi tidak lama setelahnya.”

“Biarkan aku tinggal sendiri, tidak, maksudku, hanya berdua dengan kucingku, Felix. Dengannya tidak ada yang harus pergi lagi.” Lily menunduk. “Sebenarnya, aku ingin mengundang kalian ke Kota Dingin, terutama ke restoran Kak Citra karena masih banyak makanan enak lainnya. Tapi aku takut dia akan mengincar kalian selanjutnya.”

Suasana hening kembali saat makanan Lily hampir habis. “Tunggu dulu.” Marina menyadari sesuatu dan kembali membuka ponsel untuk meyakinkan. “Di sini dikatakan bahwa pelaku selalu mengalungkan simbol tanda tanya kepada korban.” Marina memandang Lily. “Bagaimana denganmu?”

Lily berpikir sejenak. Dia teringat ucapan Sang Penanya. “Beda dengan yang lain, aku akan memperbolehkanmu menunjukkannya asal diminta oleh orang lain, baik kamu kenal atau tidak.”

Lily menunjukkan kalung itu yang dia sembunyikan di balik seragamnya. Marina terlihat tidak sabar ingin melihatnya dan ingin menyentuhnya. “Apakah ibu akan menyentuhnya langsung?” Marina terkejut dan menghentikan pergerakan tangannya.

“Aku pernah menonton televisi, biasanya para detektif mengenakan sarung tangan terlebih dahulu sebelum menyentuh berbagai barang. Mereka tidak mau merusak barang bukti dan meninggalkan sidik jari.” Sepertinya dari sanalah Lily pernah salah memahami seorang remaja sebagai detektif hanya karena pakaiannya.

Melinda kagum atas pengetahuan Lily. “Bagaimana jika Ibu dituduh menjadi pelakunya? Ibu tidak mau bukan?” sambung Lily.

Marina tersenyum kemudian mencari sesuatu sebagai pelapis tangan dan menemukan serbet yang baru saja akan digunakan Lily.

“Ibu pinjam ya,” ucap Marina. Lily mengangguk. Dia pun melapisi tangannya dengan serbet dan melihat kalung itu dengan tangannya.

Marina kebingungan. Kalung yang dikenakan oleh Lily adalah gabungan angka enam dan simbol tanda tanya. “Apa maksud angka enam ini? Kamu korban keenam? Atau ada enam korban?”

“Jika ada enam korban benar, maka teror seharusnya telah berakhir.” Marina melepas kalung itu dan mengembalikan serbet yang telah dipinjamnya. “Terima kasih, Lily, telah meminjamkan serbet.”

“Entahlah, orangnya sangat misterius. Dia sendiri tidak mau memberitahuku.” Lily mengelap mulutnya di sisi lain serbet itu dan membersihkan sisa makanan di meja. “Terima kasih telah menemaniku. Sekarang, aku ingin pulang.”

Komentar