Konferensi pers diadakan di Markas Polres Kota Dingin, dimpimpin oleh Kassubag Humas Polres Kota Dingin, Kompol Setiawan.
“Telah terjadi pembunuhan berantai di Kota Dingin. Untuk sementara, kami telah menemukan empat korban. Wanita berusia sembilan belas tahun dengan inisial H, Pria berusia dua puluh lima tahun dengan inisial A, dan satu korban yang masih hidup di belakang kita, pria berusia tiga puluh tahun dengan inisial D.” Kompol Setiawan melirik ke belakang, Koki Dani yang berdiri membelakangi mereka.
“Kami juga yakin masih banyak korban lain yang belum terungkap. Pelaku memiliki ciri khas mengalungkan tanda tanya ke leher korbannya.” Kompol Setiawan menunjukkan kalung itu kepada wartawan. “Jika Anda memiliki kecurigaan yang meyakinkan, segera laporkan kepada kami.” Kompol Setiawan meletakkan mikrofonnya ke meja.
“Siapa pelakunya? Apakah sudah diketahui?” tanya salah satu wartawan.
“Kami percaya bahwa pembunuhan ini dilakukan oleh pelaku tunggal yakni seorang pria memiliki nama dengan awalan ‘An’ yang diperkirakan berusia dua puluh tahun dan menamai dirinya sebagai Sang Pena—” Tiba-tiba Koki Dani tersungkur. Hal itu membuat fokus Kompol Setiawan turut teralihkan. Para polisi lain mulai menjauhkan Koki Dani dari pandangan umum.
“Sampai mana aku tadi?” gumam Kompol Setiawan. Perhatian yang teralihkan membuatnya lupa. Para wartawan yang turut panik tidak bisa membantu juga. Singkat cerita, tidak ada yang mengingatkan karena Kompol Setiawan juga segan mengatakannya. “Mohon maaf atas kejadian yang tidak diinginkan barusan. Untuk informasi lebih lanjut, kami telah merilis berita di situs resmi Polres Kota Dingin. Konferensi pers ini kami tutup. Terima kasih.”
Berita itu sampai ke Kota Harapan dan malah membuat kepanikan. Tindakan pencegahan dilakukan lebih awal. Pemerintah Kota Harapan melakukan pendataan kepada siapapun dari orang luar yang memasuki kota. Apabila dianggap memenuhi ciri-ciri pelaku, dia akan ditanyai segala sesuatu yang terkait dengan kasus pembunuhan berantai ini.
“Lihatlah. Dalam data tenaga kerja, tercatat Andi. Dia adalah seorang pramugara di kereta bawah tanah. Kereta itu juga sering berangkat dari Kota Dingin.” Bripka Budi sangat bersemangat sambil membaca dokumen.
“Memangnya kenapa?” sahut salah satu anggota lain.
“Dia telah memenuhi ciri-ciri Sang Penanya yang dijelaskan almarhum D itu.” Koki Dani dinyatakan tewas setelah jatuhnya di konferensi pers itu dan masih dalam tahap autopsi untuk mengetahui penyebab pastinya. “Inisial, jenis kelamin, dan usianya. Dia adalah Sang Penanya.”
“Tapi kita tidak punya bukti. Bahkan semua korban, bahkan kalung yang berada pada leher mereka tidak ada bekas sidik jari. Kita hanya menemukan orang-orang yang melihat jasad pertama kali.”
“Andi. Anda kami tahan.” Bripka Budi memasuki kereta itu sendirian sambil menodongkan pistol ke arah Andi yang sedang bicara dengan Ryu Jee.
Pandangan Andi beralih dari tablet Ryu Jee menuju Bripka Budi. “Apa salah saya? Berusia dua puluhan dan berinisial A? Apakah karena suara saya dalam?” sahut Andi. Sepertinya, Andi dan Ryu Jee baru saja membaca berita di tablet Ryu Jee itu. Andi seperti telah menduga bahwa dirinya sedang diincar oleh kepolisian sehingga bersiap-siap.
Bripka Budi kesal kemudian memasukkan pistol ke kantongnya. Kerah seragam Andi dicengkram dan dirinya didorong ke dinding kereta. Di waktu yang bersamaan, Ryu Jee memotret kejadian itu.
“Kamu memotretnya Ryu Jee?” tanya Andi. Ryu Jee hanya menjawab dengan acungan jempol. “Bagus!”
Andi melepaskan tangan Bripka Budi dari lehernya. Dia kemudian menyapu seragam, seolah membersihkan bekasnya. “Anda jangan mengira saya hanya warga sipil nan biasa yang lemah, sehingga dengan mudahnya diperbudak. Foto itu, akan menjadi bukti kuat atas tindakan Anda yang sewenang-wenang ini. Jika saya melaporkannya ke Provos, dalam hitungan hari, tamat nasib Anda.” Bripka Budi menahan wajah rata.
“Anda bisa bertanya dengan baik-baik kepada saya di sini, saya pasti bekerja sama. Seandainya saya dijadikan saksi dan harus melapor ke SPKT pun saya bersedia. Bukan menahan saya hanya karena asumsi Anda. Anda kekurangan gaji ya?” Mata Bripka Budi langsung menatap Andi. “Bercanda. Saya tahu hasrat Anda untuk menangkap pelaku itu sangat besar. Tapi yang jelas, itu bukan saya.”
“Kami akan menelepon jika menemukan orang yang memenuhi ciri-ciri pelaku dan menaiki kereta ini,” ucap Andi meyakinkan.
“Saya juga ingin turut membantu. Siapa tahu, karena pekerjaan saya di Kota Harapan bisa menemukan orang yang sesuai dengan ciri-ciri pelaku jika itu kebetulan bagian dari pekerjaan,” sahut Ryu Jee.
“Menaiki kereta ini?” tanya Bripka Budi kebingungan atas pernyataan Andi.
Andi tersenyum kecil. “Tidak banyak orang yang menaiki kereta ini. Sampai saat ini, kami tidak pernah melihat pria yang kalian maksud.”
“Terima kasih atas bantuannya.” Bripka Budi memandang Ryu Jee. “Bagaimana dengan masinis?
“Masinis dan Andi hampir tidak pernah keluar dari tempatnya selama bekerja,” jawab Ryu Jee. Bripka Budi terdiam.
“Bahkan penumpang setia kami telah mengetahui hal ini. Anda masih ingin mewawancarainya?” Andi tersenyum.
“Tetap saja,” sahut Bripka Budi.
Mata Andi membelalak. “Silakan. Saya sudah memperingatkan Anda.” Tangan Andi mengisyaratkan agar Bripka Budi pergi ke gerbong depan.
Bripka Budi kembali dari ruangan masinis. Wajahnya terlihat pucat.
“Bagaimana? Anda terlihat pucat.” Andi menyinggung hal itu sambil menyeringai.
“Alibinya terdengar kuat. Hanya perlu dibuktikan.” Bripka Budi menjawab dengan suara lemah. Dia berniat untuk pergi.
“Oh ya, sampai jumpa di kantor Anda, jika Anda tidak dipecat.” Andi bernada mengancam. Bripka Budi langsung memandang. “Bercanda. Paling-paling Anda hanya diskors satu hari.” Bripka Budi pulang sambil menunduk.
Mayat Melinda ditemukan terbaring di depan panti asuhan dengan pakaian yang diketahui sering digunakannya saat sedang merangkai bunga, seperti celemek jeans yang kumal. Bekas tamparan masih terlihat jelas di pipi kirinya. Mulutnya terbuka seperti baru muntah dan terdapat bercak noda biru di sekitar bibirnya. Tidak lupa, di lehernya ada kalung dengan simbol tanda tanya, seolah menandai korban kelima Sang Penanya. Selain itu, di kantong celemek jeans yang dia kenakan, terdapat tiga barang. Kartu anggota organisasi dan sebuah alat perekam bermerek sama dengan yang diserahkan Agung kepada SPKT. Fakta yang aneh adalah tidak terdapat sidik jari siapapun selain milik mayat itu sendiri, membuat Sang Penanya semakin misterius.
Tim forensik telah memeriksa kedua alat perekam. Mereka tidak dapat mengetahui dari mana Sang Penanya mendapatkan barang tersebut. Alat perekam pertama berisikan rekaman suara pengakuan Koki Dani, yang menjadi bukti kuat akan pembunuhan yang dilakukannya, jika dia tidak mati. Alat perekam kedua berisikan rekaman suara wanita yang telah disamarkan, menjelaskan siapa itu Hamamelis mollis dan bagaimana Melinda menjadi salah satu bagian dari mereka. Tidak hanya itu, ada satu rekaman lagi. Itu adalah pengakuan Melinda bahwa dia telah membunuh Nata.
Satu barang terakhir adalah catatan tertulis. Tulisannya mirip dengan alamat yang diserahkan Agung. “Bukankah aku penegak hukum yang lebih baik dari kalian?” Itulah yang tertulis di sana.