“Kenapa sekarang saya harus berada di sini?” tanya seorang pria di dalam ruang interogasi memandang dengan kesal.
“Baiklah Amin, kamu ingin tahu apa masalahmu?” tanya seorang polisi wanita yang juga berada di ruangan itu dengan nada tinggi. Sambil mengenakan sarung tangan putih, seorang polisi wanita yang berada di ruangan itu mengeluarkan sebungkus plastik kecil berisikan serbuk putih. Dia adalah Mira, seorang polisi yang bekerja di Kepolisian Resor Kota Tambang pada bagian Satuan Reserse Narkoba.
“Ini tentang penangkapan tadi?” tanya Amin dengan nada tinggi. Mira menjawabnya dengan anggukan. “Aku bahkan tidak menyentuhnya!”
Dia memukul meja kemudian mengarahkan bungkus plastik kecil itu tepat di hadapan wajah Amin. “Tapi sidik jarimu ada di bungkus!” Dia menunjuk bagian yang spesifik dari bungkus tersebut dengan tangan kanan.
“Tidak hanya itu Amin. Aku dapat membuktikan bahwa di tanganmu masih ada sisa yang menunjukkan dengan jelas kamu pernah menyentuhnya.”
Mira kemudian melakukan prosedur pemeriksaan, dengan mengoleskan alat pengambil sampel di telunjuk kanan Amin, dan mengujinya dengan bahan kimia untuk menunjukkan warna biru yang muncul. “Semakin jelas bahwa kamu memang menyentuhnya.”
“Bagaimana bisa?” Mata Amin membelalak seraya memundurkan punggungnya untuk bersandar di kursi.
Amin memegang kepalanya dengan kedua tangan dengan meletakkan siku di atas meja.
“Itu tidak berarti aku turut serta dalam kasus itu!” Amin semakin marah. “Anda yang menangkap mereka, Bu Mira. Tidakkah Anda bertanya dengan mereka terlebih dahulu?”
Bripka Mira terlihat turut kesal. Ia kembali memukul meja dan memilih untuk keluar dari ruangan. “Aku akan menenangkan diri terlebih dahulu,” ucap Bripka Mira seraya mengusap wajahnya dengan kasar kemudian menggaruk kepala seraya membuka pintu.
Tersisa, Amin dan seorang petugas lain. Ia adalah Bripka Rian yang turut tergabung di dalam Satuan Reserse Narkoba. “Ah, maaf saya baru melihat Anda.”
“Tunggu sebentar, Anda turut serta dalam ‘operasi penangkapan’ itu kan?” Bripka Rian hanya diam menatap Amin.
Amin mendekatkan kursi dan dirinya seraya meletakkan kedua tangannya di atas meja, mengajak Bripka Rian untuk berbicara. Dia memperhatikan ke sekitar ruangan, seakan memastikan bahwa hanya mereka berdua yang akan melangsungkan pembicaraan ini.
“Dengarkan aku baik-baik.” Amin menatap Bripka Rian dengan serius.
“Aku ada di situ, ingin pulang dari tempatku bekerja dan diamnya diriku hanya karena berteduh sebentar setelah lari dari hujan. Saat itu, aku benar-benar diam di tempat aku berada dan bahkan tidak melihat secara langsung apa yang terjadi di sana sampai saat tiba di sini dan aku mengetahuinya dari mendengarkan semua pembicaraan kalian sebelum duduk di dalam ruangan ini.”
Amin tertawa kecil. “Orang itu,” Amin menunjuk pintu tempat Bripka Mira keluar.
“Aku rasa dia tersenyum kepadamu, bukan, Pak Rian, sehingga Anda membalasnya?” Bripka Rian hanya diam dengan memalingkan wajah. “Benar dugaanku rupanya. Asal Anda tahu, Pak Rian, ada maksud tersendiri lagi tersembunyi di balik senyuman palsu itu. Andai Anda datang beberapa detik lebih cepat, Anda akan dengan sangat jelas melihat bahwa aku tidak bersalah sekalipun.”
“Aku tidak yakin akan adanya saksi yang akan mendukungku. Aku lebih yakin bahwa mereka yang ditangkap sama sekali tidak mengetahui aku turut dibawa ke tempat ini. Dan menurut saya, itu alasan Anda menjadikan diriku sebagai orang pertama yang masuk dalam ruangan ini. Seolah ingin memastikan bahwa aku akan masuk penjara meski dengan kesalahan yang tidak ada.”
Bripka Mira kembali masuk ke ruang interogasi dan membiarkan pintu terbuka. Dari pintu, ia berucap, “Berdiri. Aku diperintahkan untuk langsung membawamu langsung ke dalam tahanan.”
Amin berdiri dengan pelan seakan tubuhnya diberi pemberat. “Mendoakan keburukan memang tidak terpuji, tetapi semoga engkau menyesali perbuatan yang telah engkau lakukan dan lekas merasakan akibatnya. Semoga dampak dari perbuatan engkau tidak berpengaruh terhadap marwah daripada tempat engkau bekerja sekarang.”
“Aku peringatkan kalian. Kalian akan menyesal sepenuhnya. Mungkin tidak seluruh kepolisian akan merasakannya, tapi Anda, Bu Mira, akan mengetahui akibatnya dalam waktu yang tidak lama.”
“Tuhan akan membalas kalian.” Amin menatap kedua polisi itu sebelum Bripka Mira beralih untuk kembali menyiapkan tangan Amin agar menghadap punggungnya.
Embusan angin dingin menyelimuti malam hari di jalanan yang sepi disertai angin ditambah rintik air yang turun. Bulan purnama baru saja tertutup awan gelap yang turut menyembunyikan bintang-bintang di atas langit menjadikan kelam.
Di perbatasan kota, sebuah pertemuan disiapkan oleh dua orang. Mereka akan memperdagangkan barang haram saat itu. Meski sebungkus kecil, mereka memilih tempat yang terlihat sepi.
Salah satu dari mereka terlihat memperhatikan ke sekitar dan menatap langit dengan cukup lama. “Kita harus menyelesaikan ini dengan cepat sebelum hujan turun. Nampaknya malam ini akan terjadi badai.”
Angin semakin kencang. Amin yang sedang berjalan pulang dari tempatnya bekerja dengan langkah yang cepat. Dia berhenti untuk berteduh dengan tubuhnya yang telah basah. Dia melewati tempat yang terkena hujan lebih dahulu daripada tempat sekarang bernaung.
“Tunjukkan uangmu maka semuanya selesai.”
“Tunjukkan juga barangnya.”
Mereka saling menatap dengan rasa tidak percaya kemudian mengeluarkan milik mereka masing-masing. Pertukaran terjadi secara tidak lama sesuai yang mereka inginkan sebelumnya. Sang pembeli memperhatikan barang yang ia dapat dengan teliti dan sang penjual menghitung uang yang kebanyakan berwarna merah secara hati-hati.
Tepat di saat mereka ingin berjabat tangan. Mobil polisi datang dan tidak ada tempat bagi mereka untuk kabur di sudut jalan yang buntu itu.
“Jangan bergerak!” teriak seorang wanita. Dialah Bripka Mira yang tiba di lokasi bersama beberapa anggota polisi lainnya.
Baik pembeli maupun penjual hanya bisa menyerah. “Angkat tangan kalian, berpaling dan menghadap ke dinding,” ucap Bripka Mira sambil menodongkan pistol.
Mereka menaati perintah itu dan melakukan apa yang disuruh. Bripka Mira memborgol kedua tangan mereka dan mengambil baik uang maupun barang haram di sakunya dengan tangan yang sudah mengenakan sarung. Dia memperhatikan ke sekitar dan di sudut jalan yang lain, di bawah sebuah bangunan, melihat seseorang yang ia curigai.
Terhitung cukup lama setelahnya barulah Bripka Rian muncul. Saat itulah niat dari Bripka Mira muncul. “Jaga mereka sementara aku menangkap yang lain,” ucapnya dengan pelan.
Amin hanya mendengar teriakan itu dan diam di tempat karena tubuhnya semakin menggigil. Tidak lama kemudian, Bripka Mira mendekat dan langsung menarik Amin.
“Tunggu, kenapa aku turut dibawa?” Amin marah dan mencoba memberontak, mencoba membela dirinya sendiri bahwa dia tidak bersalah. Pemberontakannya cukup lemah dengan tenaganya yang telah dikuras oleh cuaca dingin.
Ucapannya seakan tidak didengar dan dia dibawa ke dalam mobil polisi. “Katakan nanti di kantor.” Hanya itu balasan yang dia dapat.
Amin menyadari bahwa Bripka Mira sengaja mengambil jalan untuk menunjukkan tindakannya kepada Bripka Rian. Bripka Rian tersenyum secara canggung dan Amin juga menyadari bahwa senyuman itu bukanlah ditujukan kepadanya.
Saat pintu belakang dibuka, itulah waktu Bripka Mira mengambil sebungkus plastik kecil yang berisikan serbuk putih itu untuk menyentuhkannya ke tangan Amin yang berada punggungnya. Semua terjadi begitu cepat, secepat buka-tutup pintu mobil.
Bripka Mira masuk kembali di mobil dan menyadari bungkus plastik yang agak bocor. Dia hanya tersenyum jahat seraya pergi dari tempat itu.