arrow_back

Hati Yang Terbelah

arrow_forward

Pintu jeruji besi terbuka seraya tangan Amin yang terborgol dilepaskan. Dia dimasukkan ke dalam ruangan yang berukuran sedang. Di dalam sana, ada empat ranjang berupa dua ranjang tingkat dua. Sudah ada dua orang di dalam sana yang keduanya tidur di ranjangnya masing-masing, mengisi ranjang-ranjang di salah satu sisi.

Mendengar pintu yang terbuka keduanya terbangun, menatap Amin yang masuk ke dalam sana dan Amin memperhatikan pula wajah mereka. Pencahayaan yang jauh berbeda dari luar membuat matanya memerlukan waktu untuk menyesuaikan sehingga akan dapat melihat dengan jelas.

Amin bertanya kepada sipir dengan memandangnya. “Mereka yang ditangkap malam itu juga?” Sang sipir hanya menyahut dengan anggukan, sebagai jawaban yang membenarkan dari pertanyaan tersebut.

Pandangan Amin sudah lebih baik dan dia sekarang dapat melihat orang-orang yang berada di ruang yang sama. Amin mendekati ranjang yang berisikan orang-orang itu dengan jalan yang cepat, bagai amarah yang memuncak secara tiba-tiba. Dia menghadap salah satu dari mereka. “Aku tidak tahu siapa kamu,” Amin menatap yang berada di ranjang atas dengan sedikit mendongak, “tapi aku sangat mengenalmu, Rangga.” Amin menatap yang berada di ranjang bawah.

“Amin, ini kamu?” Orang itu seakan tidak percaya dengan kedatangan Amin di dalam sana, mengenakan pakaian yang sama seperti dia. “Apa yang kamu lakukan di sini?” tanya Rangga heran.

“Aku yang bertanya lebih dulu.” Ucapan Amin membuat Rangga terdiam. Raut muka Amin menunjukkan kemarahan meski nada bicaranya tidak menunjukkan demikian. “Ke mana saja kamu selama ini?” Rangga tidak menyahut.

“Pertemuan terakhir kita adalah kelulusan dari sekolah dan itu sudah jauh bertahun-tahun yang lalu. Aku termasuk orang yang terus mencarimu, penasaran apa yang akan kamu lakukan setelah kelulusan tetapi tidak kunjung ketemu.”

“Rupanya Tuhan mempertemukan kita di sini.” Amin yang tadinya berdiri, duduk bersila untuk menyamakan tinggi dengan Rangga yang masih duduk di atas ranjang.

“Lihatlah apa yang telah engkau lakukan.” Amin menepuk paha Rangga. “Engkau tidak hanya membuat dirimu sendiri rugi dengan terkurung di dalam penjara ini, namun juga membawa orang lain yang tidak bersalah, yakni aku turut ke dalamnya.”

“Kamu bukan Rangga yang aku kenal selama hidupku. Apa yang membuatmu terjerumus ke dalam dunia yang menyalahi moral ini, wahai Rangga?” Ekspresi wajah Amin berubah menjadi sedih dengan matanya yang mulai berair namun dia menahannya dari menetes.

“Selama ini aku melakukannya dengan aman saja.” Rangga malah marah dan membalik pertanyaan kepada Amin. “Jangan bilang kamu melaporkannya hah?”

“Kau dimasukkan di sini, berarti kau terlibat juga bukan?” Kemarahan Rangga memuncak dengan menggenggam kerah dari pakaian Amin.

Sebelum semuanya berlanjut, sipir masih berada di luar pintu jeruji besi dan memukul pintu itu dengan tongkat yang dia bawa. “Jangan bertengkar!”

“Aku bahkan tidak melihat kalian saat malam itu! Bukankah sudah kubilang bahwa aku bahkan tidak melihat kamu sejak dari kelulusan sekolah.”

“Lantas, apa yang membuatmu masuk di sini?” Rangga masih keheranan.

“Bripka Mira menjebakku,” jawab Amin dengan nada pelan. “Dia menggunakan barang bukti berupa sebungkus plastik kecil berisikan serbuk putih itu dan mengatakan bahwa sidik jariku terdapat di sana.”

“Aku tidak mengetahui itu, dan bagaimana cara dia melakukannya. Pada akhirnya, aku berakhir di sini. Satu-satunya pelajaran yang dapat kuambil sekarang, aku dapat dipertemukan denganmu kembali Rangga.”

Amin kembali menatap orang yang juga duduk di ranjang atas. “Siapa dia?” tanya Amin penasaran, menunjuk dia dengan niat menanyakan kepada Rangga. Rangga tidak menjawabnya. “Gunawan.” Orang itu sendiri yang menyebutkan namanya.

“Kalian sudah mengenal sebelumnya?” Amin kembali bertanya.

“Tidak juga.” Gunawan menjawabkan. “Kami hanya berhubungan di media sosial sampai mengetahui bahwa Rangga menjual barang itu.” Amin pun mengangguk, mulai memahami apa yang terjadi sekarang.

“Kamu belum menjawab pertanyaanku yang tadi, Rangga. Aku juga ingin bertanya kepadamu, Gunawan. Apa alasan kalian melakukan itu?”

Mereka diam cukup lama, sebelum Gunawan kembali menjawab terlebih dahulu pertanyaan yang dilontarkan oleh Amin.

“Aku merasa stres dengan banyaknya masalah yang aku hadapi akhir-akhir ini. Berbagai upaya telah kulakukan dan semuanya seakan berakhir dengan sia-sia. Aku yang telah mengonsumsi itu dulu kembali teringat dengan kegunaannya. Aku menemukan dia di media sosial dan barang yang dia jual sesuai dengan uang yang kupunya saat itu.”

“Sekarang, apakah stres yang kamu dapat pada akhirnya teratasi? Atau malah bertambah setelah masuk di sini?” Pertanyaan Amin membuat Gunawan terdiam. Suasana hening cukup lama. Gunawan hanya bisa menunduk. Amin menunggu Rangga untuk menjawab selanjutnya.

Rangga menarik napas dengan berat. “Aku hanya perlu uang untuk menghidupi diri sendiri. Beberapa bulan lalu, aku dipecat dari pekerjaanku. Mereka mengatakannya itu adalah PHK tapi hidupku tidak terjamin setelahnya. Ketika ditawari untuk menjual barang dengan bayaran yang besar, aku langsung menerimanya sebelum mengetahui bahwa itu adalah barang haram.” Rangga turut menjawab.

“Aku akan jujur kepadamu, Amin. Di dalam hatiku, sempat tebersit dengan segala tindakan yang akan aku lakukan dan bagaimana dampaknya. Namun, aku tidak menemukan jalan lain lagi dan pada akhirnya menerima penawaran itu. Nyatanya, aku berhasil membelikan semua yang aku inginkan sejak lama sampai semuanya berakhir di sini.”

“Kalau demikian, benarlah keyakinanku bahwa sebenarnya kamu tahu itu barang haram dan akan berpengaruh buruk atas hidupmu sendiri.”

“Kau tahu, Rangga? Aku sungguh berandai-andai kita dapat bertemu lebih awal daripada ini, sehingga aku tahu bagaimana keadaanmu. Perusahaan tempat aku bekerja, memiliki tempat kosong yang bisa saja kamu isi.”

“Sepertinya kita berbeda dalam tempat bekerja, karena jika sama, aku sudah lama berbicara denganmu dan mempererat hubungan pertemanan kita seperti di masa lalu, Rangga.”

“Tidak ada gunanya untuk menyesali apa yang telah terjadi.” Rangga berceloteh.

“Siapa yang mengatakan itu?” Amin memotong ucapan Rangga dan mulai berbicara dengan nada serius. “Tentu saja ada gunanya!” Rangga mengernyitkan keningnya pertanda semakin heran dengan pernyataan dari Amin.

“Dengan adanya rasa penyesalan itu, berarti engkau telah mengetahui bahwa dirimu telah melakukan sesuatu yang salah dan mengetahuinya. Selangkah lagi, maka engkau sebenarnya akan bertaubat di hadapan Tuhan yang Maha Pengasih lagi Penyayang.”

“Sekarang, aku ada di sini bersamamu lagi. Aku akan mengusahakan semampu yang aku bisa, agar kamu kembali ke jalan yang benar, dan menjadi orang yang lebih baik setelah dikeluarkan dari sini.”

“Jadi, mari kita bersama-sama untuk mencapai tujuan itu.” Amin menggenggam tangan Rangga.

Amin sekarang berdiri dari duduknya dan menatap Gunawan seraya mengangguk, menjelaskan bahwa dia juga bermaksud berbicara kepada dirinya. Amin pun bergerak menuju ranjang bertingkat yang kosong, duduk di bagian bawah dan mulai berbaring.

Komentar