arrow_back

Hati Yang Terbelah

arrow_forward

Langit biru muda lagi cerah yang penuh dengan awan menjadi atap dari taman hijau penuh bunga tempat Mira sedang berada. Dia duduk di atas kain yang dihamparkan menghadap Rian yang telah dia sukai dari lama.

Sejak dipertemukan di Satuan Reserse Narkoba, Mira telah jatuh hati oleh sosok Rian. Menatap dirinya pun membuat hati Mira bergetar tak terkendali, memerahkan wajahnya sehingga merona dan terus menunduk ketika mata mereka saling bertatapan.

Mira membuka keranjang makanan yang dia bawa, meletakkannya secara tersebar di atas kain. Dia kemudian menyendokkan salah satu makanan di sana, kemudian berusaha menyuapi Rian.

Tangan Mira yang semakin mendekati mulut Rian tidak disambut dengan baik. Yang dia dapat malah tubuh Rian perlahan memudar layaknya pasir yang diterbangkan ke udara. Mira merasakan ketakutan yang nyata, berusaha menangkap dan mengejar ke mana perginya.

Mira langsung duduk dari pembaringannya dengan napas yang terengah-engah. Keringat dingin bercucuran dari dahinya, membasahi wajah sehingga ia bergegas menuju wastafel untuk membasuhnya seraya menatap bayangannya di cermin. Rambutnya begitu kusut dari bangun tidur, pemandangan buruk yang dia dapat setelah sekian lama.

“Mimpi apa aku barusan?” tanya Mira memegangi wajahnya. Mira kemudian melihat jam sejenak dan bergegas dalam bersiap-siap untuk bertugas hari ini.


Dalam perjalanannya mengendarai mobil, benak Mira masih dipenuhi pikiran dari mimpi buruk yang didapatnya tadi malam. Benaknya belum jernih untuk menghadapi hari ditambah sebuah musibah yang hampir terjadi.

Mira harus mengerem mendadak, dikejutkan dengan seseorang yang menggunakan sepeda, muncul secara tiba-tiba di hadapannya.

Mira memutuskan untuk turun dari mobilnya dan mulai memarahi penyeberang itu. “Apa salah saya? Lihatlah, lampu masih merah!” Si penyeberang membela diri sambil menunjuk.

Orang itu pun memilih untuk turun dari sepedanya dalam menyeberangi jalan. Wajahnya terlihat agak kesal sambil memandangi kiri-kanan agar berhati-hati.

Mira terdiam sambil menunduk, kemudian berjalan kembali ke mobil. Dia membuka pintunya dan menutup dengan keras.


Mira akhirnya tiba di Markas Polres tempat dia bekerja. Dia memandang jam tangan dan bergegas keluar dari mobil.

Baru memasuki kantor, Mira ditunggu oleh seorang anggota kepolisian lainnya. “Pak Kombes mencarimu. Kamu tidak melihat ponsel?”

Mira langsung merogoh ponsel dari sakunya. “Kombespol Riyadi.” Nama tersebut terpampang berkali-kali di notifikasi layar yang baru dinyalakan, membuat Mira semakin bergegas.

Kombespol Riyadi terlihat telah menunggunya di dalam kantor dengan wajah yang kurang menyenangkan. “Maaf atas keterlambatan saya dan tindakan saya di jalan barusan,” ucap Mira dengan napas yang masih terengah-engah”

“Tindakan Anda di jalan?” Riyadi bertanya kebingungan. Mira tersadar dengan ucapannya barusan dan menutup mulut.

“Biar saya tebak. Anda hampir menabrak penyeberang?” Mira hanya dapat menunduk terdiam.

“Ada masalah yang Anda punya dan lebih besar dari itu.” Pandangan Mira kembali mengarah ke wajah Riyadi. “Kami mendapatkan laporan dari Propam bahwa Anda diduga menyalahgunakan kekuasaan Anda. Kami menduga bahwa Anda memanfaatkan kesempatan tersebut untuk menaikkan pangkat Anda di ranah kepolisian.”

“Pertanyaan kami sederhana. Laporan dari Propam sangat menyoroti kasus yang Anda tangani di malam itu, yang melibatkan terduga pelaku bernama Amin yang sekarang sudah mendekam di penjara.”

“Apakah engkau memanipulasi barang bukti itu?”

“Tidak,” sahut Mira dengan nada datar.

“Kamu tidak mau mengaku rupanya.”

“Berdasarkan penyelidikan kami secara garis besar, jumlah narkoba yang diperdagangkan tidak sesuai dengan yang menjadi barang bukti. Barang bukti tersebut sudah Anda gunakan untuk menjerumuskan seseorang yang belum tentu bersalah.”

“Dari mana kamu dapat barang haram itu?” tegas Riyadi. Suasana menjadi hening sejenak dengan ketiadaan jawaban lagi dari Mira.

“Mira, ini adalah peringatan dari kami. Kami sebenarnya sama sekali tidak pernah berkeinginan bahwa kamu akan terlibat dalam kasus seperti ini. Kamu sebagai anggota dari Satuan Reserse Narkoba seharusnya malah menjauhi.” Nada Riyadi meninggi, menunjukkan kemarahannya kepada Mira. “Segala bukti yang kami dapat, ada satu jalur yang mengarah kepadamu Mira. Karena engkau bersikeras tidak mau mengakui perbuatanmu, maka engkau kami hukum. Mutasi!”

“Engkau segera mendapatkan suratnya dan mulai sekarang engkau tidak boleh lagi bekerja di sini. Silakan berkemas segala barang yang memang milikmu dan pergi dari sini!”


Mira kembali ke mobilnya dengan rasa putus asa serta tanpa mengetahui apa yang harus dia lakukan selanjutnya. Keterpurukan serta hati yang hancur karena rasa masih tidak percaya karir yang dia bangun buyar begitu saja. Dia memandang kantor dengan aktivitas mereka yang kembali bermula, menarik napas berat dan menyalakan mobil untuk pergi ke tempat dia ditugaskan selanjutnya.

“Apakah mimpi tadi malam menjadi nyata?” Mira terus bertanya-tanya.

Tidak mau pikirannya yang semakin mengambang kembali mengambil alih, Mira menghentikan mobilnya sejenak, membawanya ke pinggir jalan dan menelepon seseorang dengan ponsel.

“Ada apa, Mira? Kamu terdengar sedih.” Suara laki-laki terdengar dari panggilan yang tidak memerlukan waktu lama untuk dijawab. Air mata Mira yang mulai menetes, diiringi isak yang tidak dapat lagi dia kendalikan.

“Aku dimutasi, Rian.”

“Apa yang terjadi?” Nada bicara Rian berubah seakan dia sedang terkejut.

“Aku … aku tidak tahu.” Tangan Mira yang memegang ponsel mulai gemetar. “Rian.”

“Apa yang seharusnya aku lakukan selanjutnya?”

Panggilan menjadi hening sejenak. “Menurutku, kamu setidaknya harus mengambil libur terlebih dahulu. Setidaknya, kamu akan lebih siap untuk memulai hari baru. Mari juga kita bertemu di taman kota sore nanti.” Garis senyum mulai muncul di bibir Mira.


Mira singgah di taman kota sesuai perbincangannya dengan Rian sebelumnya. Dia mengira Rian hadir terlebih dahulu dibanding dirinya, tetapi ternyata dia harus menunggu juga.

Mira berada di bangku taman seraya melihat jam di ponselnya. Satu-satunya teman hanyalah sebungkus roti yang dia beli sebelumnya dalam perjalanan. “Bagaimana jika aku menghabiskan ini? Bukankah aku harus membagikannya dengan Rian nanti?”

Senja di ufuk mulai menghilang, langit pun mulai menjadi kelam. Lampu taman menyala pada waktunya, menerangi jalanan yang perlahan lengang.

“Kenapa dia tidak datang juga?” Gerak-gerik Mira begitu gelisah. Telapak kaki dia terus hentakkan di tanah karena semakin tidak sabar menunggu.

Mira menyerah untuk menunggu kehadiran Rian dan memasuki mobilnya dengan tubuh yang sudah lesu. Kepalanya terasa begitu berat sehingga dia harus menyetir dengan lebih hati-hati. Lampu mobil menerangi jalanan gelap seiring Mira terus berkendara pulang.

“Kenapa aku harus melakukan itu?” Pikiran-pikiran acak kembali muncul di dalam benak Mira saat dia semakin mendekat dengan rumahnya. “Kasus tetap selesai, Rian masih perhatian dengan aku.”

“Apa yang sebenarnya aku incar?”

Tanpa dia sadari, rumahnya hampir saja terlewat. “Aku teralihkan lagi!” Mira begitu kesal dan menghantam dasbor mobilnya. Dia keluar dari mobil dengan langkah geram dan memasuki rumah secara kasar, membanting pintu begitu keras saat menutupnya.

Komentar