arrow_back

Hati Yang Terbelah

arrow_forward

Denting sendok menyentuh piring menjadi suara yang memenuhi kantin tempat para tahanan makan malam dengan makanan yang telah disediakan. Secara berbaris menunggu gilirannya, mereka membawa nampan dengan piring di depan meja tempat petugas memberikan makanan. Sementara yang sudah mendapat jatahnya, mereka duduk di meja yang telah disediakan, dan belum diisi oleh orang.

Di salah satu meja, Rangga dan Gunawan duduk bersampingan sementara Amin tidak terlihat di dekat mereka.

Setelah menyuap sesendok makanan, Gunawan memulai pembicaraan dengan Rangga. “Aku penasaran dengan bagaimana hubunganmu dan dia.”

“Amin?” tanya Rangga yang disahut dengan sekali anggukan dari Gunawan.

Rangga meletakkan sendoknya di piring, menghentikan makannya sejenak untuk memandang Gunawan dengan wajah kebingungan.

“Entah kenapa, aku jadi sangat ingin mengenal kalian.”

Rangga kemudian bersandar di kursi, melihat ke sekitar untuk memastikan Amin tidak berada di dekat mereka. “Sebagaimana yang kamu lihat, dia orangnya memang baik. Kebaikannya itu telah terbukti sejak dulu.”


Jalanan di depan pagar sekolah dipenuhi dengan pedagang yang berjualan jajanan. Waktu istirahat tiba membuat tempat tersebut semakin ramai dikunjungi manusia. Baik mereka yang belajar di dalam sekolah dan mengambil waktu untuk membeli makanan ringan, maupun pengendara yang lewat di depan sekolah dan singgah untuk turut membeli di sana.

Rangga sedang mengambil sempolan yang kemudian dia makan dalam posisi berdiri di tengah-tengah orang lain dengan melakukan hal sama.

Saat keadaan sedang kacau, pedagang sempolan kewalahan dalam menangani pembeli yang menunggu giliran untuk proses pembeliannya di selesaikan. Mereka menunjukkan uang, baik untuk diterima maupun juga meminta kembalian.

Giliran Rangga tiba, dia sudah mengeluarkan uang senilai lima ribu rupiah. “Kamu beli berapa? Aku lupa.”

“Kayaknya cuman tiga dah.” Sang pedagang mulai mengulurkan tangan untuk mengambil uang dari genggaman Rangga sebelum dihalangi Amin yang kedatangannya mengejutkan.

“Ayo, yang jujur, Rangga.” Amin menyenggol badan Rangga dengan siku.

“Lima.” Rangga memandang Amin dengan wajah menunduk, menjawab dengan nada rendah. Sungguh beruntung bahwa sang pedagang yang meski mendengar, tidak memiliki rasa kekesalan maupun marah terhadap pengakuan Rangga.

“Berarti dia lima, aku lima juga tadi. Jumlahnya sepuluh, berarti sepuluh ribu?”

“Ya.” Amin kemudian menyerahkan uangnya dan mengisyaratkan tangan Rangga untuk tetap menyimpan miliknya.

Amin kemudian menyerahkan uang senilai sepuluh ribu rupiah dari tangannya untuk disambut sang pedagang sempolan. “Terima kasih ya. Semoga dagangannya laris.”

“Kamu mau langsung ke kelas? Gak lama lagi, waktu istirahat bakal berakhir. Kalau aku sih, gak mau terlambat.”

“Kamu duluan aja.”

Sementara Amin terus berjalan dengan cepat menuju kelas, Rangga terdiam berdiri di tengah jalan, mengepalkan kedua tangannya.


Rangga dan Gunawan kembali ke dalam ruang tahanan mereka, menemui Amin yang sudah berada di kasurnya, menyandarkan punggung di ranjang.

Gunawan langsung naik ke kasurnya di ranjang tingkat dua, sementara Rangga duduk di kasur untuk bertanya kepada Amin.

“Apakah kamu tadi makan siang?” tanya Rangga memulai pembicaraan.

“Ya, aku makan kok. Kenapa?” Amin menyahut.

“Gak liat.” Rangga melipat tangannya di depan dada.

“Aku di ujung,” jawab Amin singkat.

“Ah, pantesan.”

“Kalian, udah makan juga?” Anggukan kepala adalah jawaban mereka.

“Berarti memang sudah waktunya untuk istirahat.” Amin mulai merebahkan punggungnya dan membenarkan leher yang akan mendapat alasan

“Tunggu dulu. Amin, aku mau nanya,” potong Gunawan.

“Ada apa?”

“Kamu gak bakal nanyain atau ceritain yang di kantin tadi kan?” cegat Rangga.

Wajah Amin menunjukkan kebingungan seraya tiada berbicara. “Gak kok. Aku mau nanya yang lain.” Pernyataan Gunawan hanya membuat Amin tersenyum kecil.

“Kalau aku sih, gapapa ya. Gak tau kalau kamu, Rangga. Tapi kamu, Amin, udah punya keluarga?”

“Belum lama ini, aku tinggal sendiri sebenarnya. Sepertinya, masyarakat di desa akan mencariku.”

“Kenapa seperti itu?” tanya Gunawan penasaran.

“Hanya menebak.” Amin menjawab singkat.

“Hanya menebak? Aku tebak kamu berperan besar di desamu sehingga mereka akan mencarimu. Aku tebak kamu adalah orang yang mereka perlukan dan akan kebingungan jika kamu tidak ada.”

Amin hanya tersenyum kecil kemudian memalingkan dirinya menghadap ke dinding.


Waktu terus berlalu, malam semakin larut dengan ditandai lampu di lorong luar pintu yang menyala dan pencahayaan di dalam ruang tahanan lebih kelam.

“Amin.” Rangga memanggil entah mengapa.

“Ada apa, Rangga?” Suara Amin sudah terdengar berbeda. Nadanya seperti orang yang mulai mengantuk dan tidak lama lagi akan tertidur.

“Memang kita masih lama berada di dalam sini, tapi apa yang akan kamu lakukan setelah keluar dari sini?”

“Rasanya aku akan kembali melakukan hal-hal sebagaimana biasa saja, selayaknya sebelum aku ada di sini. Apa yang bisa kukerjakan, aku kerjakan.”

“Bagaimana denganmu?” Amin bertanya balik.

“Inilah yang membedakan dirimu dengan diriku.”

“Kenapa seperti itu?” Amin membaringkan dirinya menghadap Rangga.

“Kau tahu Amin, aku belum tahu bagaimana nasibku setelah keluar dari sini. Apakah orang-orang akan menerimaku kembali bekerja setelah aku yang masuk di penjara?”

“Jika aku tidak mendapatkan pekerjaan, aku akan kembali ke dalam dunia itu. Sebelum di penjara, aku telah berada di titik akan menggantikan bandar.”

“Tidak. Kamu tidak boleh melakukannya lagi, apalagi melanjutkan hal yang kamu belum kerjakan sebelumnya dalam keburukan.”

“Aku tidak peduli lagi apapun yang kamu ucapkan, Amin.”

“Rangga!” Nada Amin berubah, dengan kantuknya yang sontak hilang dan badannya yang bangun untuk menghadap Rangga dalam kemarahannya. “Aku mengingatkanmu tentang ucapanku di hari pertama kita bertemu dan bersama dalam ruangan ini. Engkau hanya satu langkah lagi dari taubat yang sesungguhnya, dan itu adalah tidak pernah melakukannya lagi.”

“Tunggu kebebasanku dan mari kita bertemu di luar sana. Aku akan membantumu mencarikan pekerjaan yang lebih baik dan siapa tahu mereka mau menerima kamu untuk bekerja di sana.” Amin mengucapkan dengan serius kemudian menarik napas dengan berat. “Bagaimana denganmu, Gunawan?”

“Aku bersyukur atas semua kejadian inj. Semoga kamu selalu berada di jalan yang benar, dan sampai bertemu di luar sana, dengan dirimu yang lebih baik.”

Suasana menjadi hening sejenak karena pembicaraan yang terhenti begitu saja. Mereka terdiam setelah mendengar pernyataan dari Gunawan.

“Apa?! Kamu mau membandingkannya denganku?”

Amin tidak menjawab dan malah bangkit dari tempat tidurnya. Dia mendekati pintu penjara, mengetuk untuk menyapa sipir yang sedang berjaga, meminta untuk keluar dari kamar sementara. Sang sipir hanya tersenyum, seakan mengetahui tujuan Amin.

“Ke mana perginya?” tanya Gunawan.

“Aku tidak peduli.” Nampaknya Rangga masih kesal dengan pembicaraan yang telah mereka lakukan. “Mengapa kamu juga tidak tidur sekarang?”

“Aku tidak bisa juga.” Gunawan mulai turun dari ranjangnya secara perlahan, meminta izin juga kepada sipir tetapi dia melarang dan menyuruh Gunawan untuk kembali.

“Ini tidak adil. Aku akan mengincar dia besok untuk mengetahui alasannya,” ucap Gunawan geram.

Komentar