“Kakak, aku pulang,” ucap seorang gadis yang mengenakan tas selempang, membuka pintu rumah Mira tanpa mengetuk, berhenti untuk melepas sepatu dan menaruhnya di rak yang tidak jauh dari tempat dia berdiri, kemudian berjalan masuk rumah dengan santai sambil menenteng bawaan di tangannya.
Dia memandang jam dinding. Waktu menunjukkan pukul sepuluh lewat. “Aku tidak menduga akan selambat ini.” Gadis itu hanya bergumam sembari terus berjalan memasuki rumah.
Sesampainya di ruang tamu, dia dikejutkan dengan kondisi Mira yang duduk di lantai dan menyandarkan punggungnya pada sofa. Di tangan kirinya, sebuah botol kaca berwarna hitam seakan menggantung dengan posisinya yang hampir jatuh dan hanya jempol dan telunjuk yang menahannya.
Di atas meja kaca bening di depan sofa yang juga dipenuhi botol kosong berwarna beragam, berserakan dan membuat kondisi ruang tamu menjadi berantakan. Gadis itu hanya bisa terdiam seraya melihat dari tempat yang cukup jauh.
Seraya memandang keadaan Mira yang mengenaskan, gadis itu menyadari adanya kertas kumal tertindih oleh botol-botol itu. Semakin mendekat, aroma alkohol juga tercium dengan kuat yang membuat dia menutup hidung dengan tangan kanan dan mengipasi udara di depannya dengan tangan kiri. Dia kemudian menahan napas kemudian menggunakan kedua tangannya untuk mengambil kertas tersebut dan langsung mundur menjauh setelah berhasil.
Gadis itu merapikan kertas yang telah dia ambil dan membawanya ke tempat yang lebih terang untuk membaca isi surat tersebut. “Surat mutasi.”
Belum selesai dia membaca, botol kaca yang dipegang Mira jatuh dari genggamannya, mengejutkan gadis itu dan membangunkan Mira dari tidurnya dengan ditandai gerakan besar yakni membenarkan posisi punggungnya. Mira memerlukan waktu yang cukup lama untuk membuka matanya.
“Wati….” Suara Mira terdengar belum sadar sepenuhnya namun kelopak matanya terbuka secara sekilas untuk melihat siapa yang datang meski seperti menebak saja.
“Inikah yang membuat kakak seperti sekarang?” Wati menarik napas panjang dan mulai berjalan dengan geram, mengarah kepada Mira.
“Jangan mendekat!” ucap Mira dengan suara goyah, getaran yang masih ditangkap telinga dengan tangan yang bahkan tidak dapat lama menunjuk tubuh Wati.
“Kak, ayolah!” Wati begitu kesal namun menyimpan kertas berupa surat mutasi itu di tangannya. “Itu hanya mutasi. Kakak bahkan gak dipecat.”
“Sekarang, kakak masih berada dalam pekerjaan ini bukan?” tanya Wati dengan wajah memelas. “Aku yakin ini adalah bagian dari rencana Tuhan yang pastinya menginginkan yang terbaik untuk kakak.”
“Kita harus bicara saat kakak mulai baikan.”
Wati kemudian berjalan ke kamarnya terlebih dahulu untuk mengamankan surat mutasi yang dia ambil sebelumnya. Setelah berganti pakaian, Wati pun mengeluarkan makanan yang dia bawa sebelumnya. Selesai dengan persiapan, Wati kembali ke ruang tamu.
“Kakak, sudah makan?”
Panggilan Wati terhenti ditambah senyuman kecil muncul di wajahnya. Mira yang tadinya hanya duduk di lantai dan menyandarkan punggungnya di sofa, sekarang berada di atas sofa untuk berbaring. Wati mencarikan selimut dan membawanya ke ruang tamu untuk menutupi badan Mira.
Mira bangkit dari sofa secara perlahan sambil menyingkap selimut dari tubuhnya dan memegang kepala yang masih pengar. Menyadari keberadaan selimut, Mira tersentak kemudian bergegas menuju kamar mandi. Dalam perjalanan ke sana, dia melihat ruang makan yang terang sehingga menyilaukan dan membuat matanya memicing sebelum dapat melihat makanan yang sudah siap di atas meja makan.
Mira keluar dari kamar mandi dengan hanya wajahnya dan rambut kepala depan yang basah. Pakaiannya masih lusuh lagi kusut. Sambil terus berjalan ke ruang makan, rupanya Wati sudah duduk di kursinya dan sedang menyuap makanan.
“Ah, kakak sudah bangun!” ucap Wati dengan semangat meski mulutnya masih dipenuhi makanan. Dia menelannya terlebih dahulu, “Ayo kak, duduklah.” Wati menunjuk kursi di seberangnya yang kosong secara berdiri kemudian kembali duduk dan minum seteguk air dari gelas di dekat piring.
Mira hanya bisa diam kemudian perlahan menarik kursi kosong yang ditunjuk Wati untuk duduk di sana. Dia dengan segan mengambil makan dan mulai menyuapnya. Ditambah dengan Wati yang seakan tidak bisa mengalihkan pandangan dari Mira.
“Berhentilah memandangku.” Mira berbicara sambil memalingkan wajah, hanya menunduk dan mengarahkan pandangannya ke makanan.
Suara makan Wati terhenti. Mira melihat Wati yang malah semakin fokus menghadap dirinya dengan kedua tangan menopang dagu.
Mira menjadi kesal, turut berhenti makan dan menyandarkan punggungnya di kursi. “Apa maumu?”
“Surat mutasi itu….” Pandangan Mira mulai berubah saat Wati membahas topik itu. “Mau gak, kakak ceritain kenapa jadi dapat begituan?”
Tanpa menjawab, Mira kembali melanjutkan makan. Tawa kecil terdengar dari Wati. “Gak?”
“Gini. Aku yakin kakak dengerin kok.”
“Kalau memang kakak gak bersalah, kakak harus buktikan itu.” Mira mengarahkan penglihatannya kepada wajah Wati yang terlihat serius. “Satu lagi. Aku gak mau ngeliat kakak pingsan karena kebanyakan minum kayak tadi malam.”
Mira tersadar dan berhenti makan. Dia bangkit dari kursinya untuk menuju ruang tamu dan baru menyadari meja yang sudah bersih. Dia diam di sana sejenak kemudian melipat selimut yang belum dirapikan dan meletakkannya di sudut sofa.
Mira menghela napas sebelum kembali ke ruang makan, dan memperhatikan piring Wati setibanya di sana sebelum duduk.
“Jika kamu sudah selesai, biarkan saja. Aku yang mencucinya. Kamu yang dengan cepat menghabiskan makananmu nampaknya akan memulai kesibukan hari ini.”
“Gak usah terlalu serius gitu lah, kak. Apalagi cuci piring palingan bentaran doang. Gapapa kok kalau tetep aku yang ngelakuin.”
“Satu lagi, di dalam kulkas ada makanan yang aku beliin buat kakak. Kalau kakak emang udah siap buat kerja hari ini, atau belum sekalipun kayak cuman lapar di rumah kapanpun itu.”
Mira yang hampir menyuap makanan ke mulutnya, terhenti mendengar kalimat-kalimat yang dituturkan oleh Wati.
“Kakak kenapa?” tanya Wati setelah mengambil suapan terakhir.
“Kamu. Kenapa sebaik ini?” Suara Mira terdengar bergetar. Wati memperhatikan wajah Mira yang terlihat seperti menahan tangis.
“Bukannya aku selalu seperti itu?” Mira mulai berdiri sambil membersihkan piring dan gelas yang dia pakai. “Hei, apapun yang terjadi, orang yang bernama Mira di depanku ini tetaplah kakakku bukan?”
Wati tersenyum sembari berjalan dengan mengucap, “Aku tahu kok, kakak lagi dapet masalah. Jadi biar lebih tenang, makannya habisin ya.” Dia pun beranjak menuju wastafel untuk mencuci piring.
Setelah selesai, Wati memastikan Mira makan sebelum mengambil tas selempang miliknya di kamar. “Aku harus pergi lagi. Aku doain semua yang terbaik buat kakak.” Wati memeluk Mira yang masih duduk sambil makan kemudian pergi ke luar, memasang sepatu setelah mengambilnya dari rak.
Saat pintu tertutup yang menandai Wati telah keluar dari rumah, Mira sekali lagi menghentikan makannya untuk beranjak menuju kulkas dan membuka pintu untuk melihat isinya.
“Dia membelikan semua ini untukku?” Mira agak terkejut ketika memandang semua makanan di dalam sana. “Selama ini, aku mengkhianatinya….” Mira menghela napas dan menutup pintu kulkas setelahnya.