arrow_back

Hati Yang Terbelah

arrow_forward

“Rian!” Teriakan dari Mira yang tiba di perbatasan kota memecah keributan antara Rian dengan penjaga. “Apa yang kamu lakukan di sini?”

Rian menyadari kedatangan Mira dan menyandera salah satu penjaga untuk membawanya ke ujung dari jalan buntu itu. Dia mengambil pistolnya dan mengarahkan ke kepala penjaga tersebut.

“Rian! Kamu tidak harus melakukan ini.” Mira menodongkan pistol miliknya ke arah Rian dengan tangan yang agak gemetar. Perasaannya sangat campur aduk saat menyadari bahwa tujuan Rian yang sesungguhnya tidaklah untuk menelusuri kasus perdagangan sebagaimana dugaannya.

“Kamu sudah mengetahuinya, Mira?”

“Apa yang kamu maksud, Rian?” tanya Mira bingung.

“Rian!” Panggilan itu menghilangkan kesempatan Rian untuk berbicara. Wijaya yang bersuara, ditemani oleh Dewi dan Riyadi mengikuti mereka dari belakang sambil menodongkan pistol dari kejauhan.

“Lepaskan sandera itu dan lemparkan senjatamu ke arah kami!” perintah Riyadi. “Angkat tanganmu dan menyerahlah!”

“Senang bertemu denganmu lagi, Mira.” Dewi menyapa Mira yang tangannya tidak lagi bergetar. Wajahnya mulai serius dan pegangannya semakin kokoh.

“Menjauhlah kalian!”

Perhatian Rian dialihkan dengan korban yang dipanggil sehingga dia lepas dari genggamannya. Tanpa mengambil waktu lama, Kombespol Riyadi menembak Rian dengan cepat. Dampak dari tembakan itu menyandarkan tubuh Rian ke dinding penanda jalan buntu dan dia terjatuh dalam keadaan terduduk.

“Tersangka jatuh!” Kombespol Riyadi melapor sambil memastikan kondisinya dengan mendekat secara perlahan. Jelaslah bahwa Rian tergeletak dengan luka tembak tepat di jantung.

“Apa yang baru saja terjadi?” Langkah kaki terdengar mendekat dan suara yang terdengar barusan sangat dikenal oleh Mira.

Amin menyadari keberadaan Mira di sana setelah mereka saling melihat. “Bagaimana kita bisa bertemu lagi?”

“Dialah bandarnya bukan?” Amin melihat dan menunjuk jasad Rian sebelum Tim Forensik datang untuk mengangkutnya. Kombespol Riyadi mengangguk sebagai jawaban dari pertanyaan Amin itu. Mira akhirnya lemas dan duduk di tanah.

“CV. Galanthus yang kalian dulu selidiki, dialah pemiliknya dan penyetor dana terbesar. Dia juga yang mengendalikan kebanyakan transaksi yang memperdagangkan barang mereka. Begitulah laporan hasil pemeriksaan Tim Cyber yang mereka ingin sampaikan.”

Mira mencoba menenangkan diri dengan terus menarik dan membuang napas. “Bagaimana kalian saling mengenal?” tanya Mira. Riyadi dan Amin hanya memandang satu sama lain.


Kebebasan telah didapat oleh Amin saat dia keluar dari rumah tahanan dan sebuah mobil sudah menunggunya di depan. Saat memasuki mobil tersebut, sang sopir adalah orang yang tidak dia sangka.

“Selamat pagi. Jadi, kamu yang namanya Amin?”

“Betul.” Amin mengkonfirmasi sambil membetulkan posisi duduknya.

“Perkenalkan, saya Riyadi. Kepala Kepolisian selaku atasan Mira, yang telah membuatmu harus masuk penjara.” Saat itulah dia dikejutkan oleh informasi yang didapat. “Aku yang akan mengantarkanmu pulang sebagai tanda permintaan maaf dariku pribadi.”

“Bagaimana nasib Mira?” tanya Amin.

“Dia dimutasi.” Jawaban yang didapat menghentikan pembicaraan mereka untuk sementara.

“Jika kamu ingin marah, marahlah kepadaku.” Riyadi memandang Amin secara langsung. “Akulah yang melakukan negosiasi dengan Propam agar dia mendapatkan hukuman paling ringan untuk kebaikannya.”

“Meski itu hukumannya, aku dapat melihat dari wajah Mira bahwa dia sangat menderita.”

“Baguslah. Jika kita melihat dari kebaikannya, memang sudah banyak yang dia lakukan untuk kepolisian sendiri maupun masyarakat. Masih banyak yang dapat dia lakukan.” Riyadi tersenyum sambil menyalakan mobil untuk berangkat.


Dewi mengulurkan tangannya agar Mira dapat kembali berdiri kemudian memeluknya. Riyadi, Dewi, Wijaya, dan Mira berkumpul di satu tempat yang sama sementara Amin membiarkan mereka menikmati momen itu dan mundur sebentar.

“Pabriknya ditemukan,” ujar Wijaya.

“Bandarnya tiada,” sahut Dewi.

“Kasus sudah tuntas!” Dewi dan Wijaya menyebutkan secara bersamaan.

“Kerja bagus, semuanya.” Riyadi memuji mereka.

“Termasuk kamu, Mira.” Riyadi memandang Mira. “Aku melihat akan masih adanya kemungkinan kamu dapat kembali ke markas kita. Jika itu memang terjadi, aku harap kamu juga dapat bersedia.”

Riyadi, Wijaya, dan Dewi bersiap untuk kembali ke markas, menyisakan Mira yang masih berada di sana. Amin pun mendekati Mira. “Siapa yang menyangka semua ini akan terjadi?”

“Aku sungguh ingin melupakan semua itu, tapi Anda tidak menjawab pertanyaanku tentang apa yang Anda incar. Apakah itu kedamaian yang Anda cari? Apakah Anda menemukannya?”

Mira hanya diam sambil menunduk, memandangi tempat jasad Rian berada sebelumnya. “Anda memang menyukai orang itu rupanya?” Perhatian Mira kembali terarahkan kepada Amin. “Aku doakan Tuhan menggantinya dengan yang lebih baik dan Anda dipercepat untuk bertemu dengannya.”

“Begitulah kehidupan kita. Meski melakukan sebuah tindakan yang sangat kecil sekalipun, dampaknya bisa menjadi lebih besar bahkan melebihi segala yang dibayangkan, menjadikan perbuatan yang tidak disangka.”

“Aku hanya berharap dan tidak pernah mau terlibat dalam hal seperti ini lagi.” Amin berpamitan. “Aku maunya pulang saja,” ucapnya bercanda.

“Terima kasih. Kasusnya sudah tuntas. Engkau telah menyadarkanku betapa pentingnya posisi yang kupegang sekarang.” Amin hanya tersenyum mendengar perkataan Mira kemudian berjalan menjauh.


“Ada apa ini?” Wati memasuki ruang makan dengan makanan yang telah tersedia di atas meja. Dia mendekat untuk duduk di kursi.

“Lama gak masak. Moga kamu suka.”

“Bagaimana kabarmu?” tanya Mira.

“Kakak duluan, gimana?”

“Kabarku baik, meski ada hal yang tidak disangka terjadi hari ini.” Mira turut duduk.

“Jadi, kakak kena mutasi gara-gara menangkap seorang pria bernama Amin yang tidak terbukti memperdagangkan narkoba?”

“Bagaimana kamu tahu itu?”

“Itulah salah kakak. Kakak tidak memberitahukan yang sebenarnya kepadaku dan akhirnya aku mengetahuinya sendiri.”

“Bagaimana pertemuan kakak dengan ibu dan ayah?” Seperti itulah pembicaraan mereka terus berlanjut.


“Halo, Gunawan.” Amin menyapa Gunawan di ruang untuk menjenguk tahanan. Mereka saling berhadapan, hanya terhalang kaca dengan lubang-lubang kecil untuk menyampaikan suara dari dua arah.

“Bagaimana kabarmu?” tanya Amin.

“Sangat baik, syukurlah. Saranmu untuk mendekati imam salat saat itu aku sangat pakai dan sampai sekarang aku terus belajar. Memang telah banyak yang aku dapatkan baik dari beliau maupun dirimu, dan aku sangat senang dengan hal itu.”

“Bagaimana kabar Rangga?”

“Rangga sempat melakukan percobaan bunuh diri dengan menyilet lengannya tapi kami berhasil mencegah untuk semakin jauh.”

Mereka berbicara selama beberapa saat sebelum waktu yang disediakan habis. Terjadi pergantian, dengan Gunawan yang keluar dan Rangga yang masuk.

“Halo, Rangga. Bagaimana kabarmu?” Rangga tidak menjawab.

“Aku telah mendengarnya, lengan kirimu.”

“Semakin lama di sini, semakin aku membenci tempat ini,” ujar Rangga yang mulai mau berbicara.

“Aku harap kamu akan tetap hidup sampai setelah bebas nanti. Sekarang, aku telah mengamankan sebuah posisi bagus di pekerjaanku dan dapat dengan mudah membuatmu bergabung di sana. Engkau tidak harus mengkhawatirkan pekerjaan lagi, tinggal temui aku di perbatasan kota karena aku sering lewat di sana.”

“Jangan pernah berubah, Amin.”

“Ini hanya tanda terima kasih karena kamu telah menjadi temanku dulu, saat yang lainnya tidak mau.”

Komentar