Aku menghampiri Idris yang saat itu duduk di ruang tamu rumahnya sendiri sambil terus membandingkan buku harianku dengan miliknya selama kami masih di MA Sukamawar sampai Perpisahan seraya menyesap air dari cangkir. Tidak terhitung sejak kapan dimulainya, tapi Idris bersikeras untuk mengembalikan ingatannya. Dan yang pasti, aku harus bersiap untuk mendengar dan menjawab semua pertanyaannya,
“Jadi, aku terhenti di kelas sepuluh, tidak lanjut lagi, dan terbangun dua tahun kemudian?” Idris memandangku. Ekspresinya bagai campur aduk. Kesal, marah, bingung, semua terasa.
“Begitulah,” jawabku pelan. Aku bahkan tidak ingin menjawabnya.
“Untuk sekadar keretakan di tengkorak belakang, koma dua tahun itu rasanya tidak mungkin.”
“Bagaimana dengan kemungkinan pendarahan?” tanyaku meski tidak bermaksud menyalahkan siapapun.
“Begini Firdaus,” jiwa serius dari Idris menguat saat dia mengucap itu. “Setelah semua buku yang kubaca, ini kesimpulan yang kutarik saat ini. Jika benar, keretakan di tengkorak belakang itu cukup parah sampai terjadi pendarahan di otak, maka yang seharusnya menghilang adalah penglihatanku. Minimal kabur, entah itu minus atau plus akibat cahaya yang ditangkap mata tidak sampai ke bagian otak paling belakang, paling parah buta. Kalau kehilangan ingatan, seharusnya bagian depan yang kena. Benturan yang diterima olehku ke tanah dari Kuil Iblis Merah dan Perpisahan itu lebih keras di bagian belakang, dibanding gravitasi mengambil alih dan membenturkan ke tanah.” Penjelasan yang panjang itu berhenti sejenak, seraya Idris memeriksa dahinya dengan memegang menggunakan jari-jari tangan kanan.
“Tengkorak bagian depan terasa aman saja. Mungkin karena tanganku refleks melindungi kepala sehingga bertumpu di sana.”
“Lantas, apa yang kau pikirkan?”
“Aku curiga Dokter Ika Pratiwi melakukan sesuatu yang lebih dari seharusnya.” Idris menyampaikan pemikirannya. Dia mencurigai Dokter Ika Pratiwi–penanggung jawab dengan tindakan yang dilakukannya terhadap Idris–mencoba untuk melakukan operasi transplantasi otak dan sebuah takdir dari Tuhan atas keberhasilannya. “Bukankah Zain ditemukan tewas, tapi bagaimana kepalanya? Jika kepalanya tidak kenapa-napa, ada kemungkinan dia menggunakan otak itu untuk mengganti punyaku yang terdampak. Dari sanalah yang membuatku koma selama dua tahun, dan memiliki efek samping melupakan beberapa ingatan.”
Idris memandangku. Ekspresi yang terlihat sekarang adalah ketakutan. Dia menanyakan bagaimana jika otak Zain yang memikirkan segala kejahatan itu menjadi bagian dari dirinya. Aku berusaha menenangkannya dengan mengatakan kemungkinan bahwa seandainya itu benar, aku berharap bahwa otaknya sendiri lebih dominan. Tapi aku turut tersadar, bagaimana jika dia benar? Meski lupa, karena dominansi otak sendiri, dia bisa mengembalikan ingatannya.
“Apakah kamu sudah menanyakan langsung kepadanya?”
“Dia menghilang.” Jawaban Idris sangat membuatku terkejut. Dia kemudian menambahkan bahwa beberapa hari sebelumnya–saat aku sibuk menyelesaikan laporan mengenai kasus yang kutangani meski kurahasiakan–dia sudah mengunjungi RS Sukamawar–yang menjadi tempat perawatannya–untuk bertemu dengan Dokter Ika Pratiwi dan menanyakan pemikiran yang baru muncul itu dan semua orang di sana mengatakan bahwa dia sudah pergi dan tidak ada yang tahu ke mana tujuannnya.
Idris tersenyum kecil, terlihat seperti menyeringai. “Bukankah dia terlalu terlibat dengan kehidupan kita? Dari kelahiran, kematian ibu dan kakakmu–Idris masih memanggil Tania dan Andri sebagai ibu dan kakakku tapi aku terus berusaha untuk meninggalkan panggilan itu–, sampai menangani diriku sendiri. Aku masih berpikir, dia menyimpan hal yang kita harus tahu.”
“Dan banyak hal yang harus kutahu juga.” Idris meletakkan kedua buku harian itu dan bersandar di sofa. “Bagaimana keadaanmu di Kota Cahaya? Ceritakan kepadaku tentangnya.”
“Baik-baik saja. Pekerjaanku tidak begitu banyak sehingga bisa sering pulang dan berbicara denganmu.” Suasana hening sejenak seraya kami kehabisan topik pembicaraan.
“Oh ya, siapa nama remaja itu? Haris?” Aku menjawabnya dengan anggukan. “Bagaimana dia bisa mengenal kita? Kamu sepertinya belum menjelaskan hal itu padaku.”
“Dari mana aku menjelaskannya?” Aku berusaha mengganti kesedihanku dengan senyuman dan berdeham sekali untuk membersihkan tenggorokan. “Mungkin ada baiknya dari awal.”Aku mengambil ponselku dan mencari sebuah video daring kemudian menunjukkannya kepada Idris. Itu menunjukkan wawancara dengan Mbak Rina, pemilik Rumah Maneken Lilin yang sejak setelah kejadian Pembunuhan itu menjadi Museum. Kami menontonnya bersama.
Di sana, Mbak Rina ditanya mengenai dugaan kejadian mengerikan pernah terjadi dan dia membenarkan. Dua putranya terbunuh dan pelakunya adalah putrinya sendiri. “Muhammad Idris dan Ahmad Firdaus, mereka ada pada hari itu dan turut menyaksikan kejadian. Andai mereka tidak di sana dan kejadian itu tetap terjadi, aku pasti akan menuduh Wawan atau salah satu dari putraku bunuh diri. Mereka seperti Detektif Sekolahan, itu gabungan ‘detektif’ dan ‘anak sekolahan’, terdengar hebat bukan?” Rekaman itu juga menunjukkan patung lilin yang terlihat seperti kami.
“Bukankah saat itu sudah kubilang untuk tidak membuatnya?” Idris memastikan pernyataannya sambil membaca buku harian.
“Mungkin Mbak Rina sudah terlanjur membuat punyaku, dan dirasa sayang untuk tidak membuat patungmu juga mengingat dia sangat berniat untuk membuat patung setiap orang di Sukamawar, bahkan kamu yang tinggal di perbatasan.”
Idris kembali menyeringai. “Baiklah, lagipula aku tidak akan diperbolehkan menghancurkannya bukan?” Suasana kembali hening.
“Ah!” Aku teringat satu hal.
“Kenapa?” tanya Idris yang nampak terkejut.
“Aku baru sadar bahwa hampir semua orang penting dari Kota Sukamawar dipindah-tugaskan ke Kota Cahaya. Begitulah keadaan kami di Kepolisian Resor.” Idris terus memandang wajahku. “Berarti akankah ada kemungkinan Dokter Ika Pratiwi di sana juga?”
“Entahlah. Kenapa kamu malah bertanya padaku? Aku bahkan belum pernah ke sana, Inspektur.” Nadanya yang agak bercanda malah membuatku kebingungan. “Inspektur Polisi Satu. Bukankah itu pangkatmu sekarang?” Aku mulai paham dan mengangguk.
“Firdaus, aku punya pertanyaan acak lagi.”
“Apa itu?” sahutku sontak.
“Apakah kamu akan menikah dalam waktu dekat?” Aku dikejutkan oleh pertanyaan itu.
“Ke-kenapa memangnya?” Jawaban ini bahkan terdengar belum siap.
Idris tersenyum. “Usiamu sekarang 25 bukan? Kamu bahkan sudah bisa membeli mobil sendiri.” Matanya berisyarat menunjuk mobil kami yang berada di luar rumah.
“Idris,” aku menahan kekesalan, “mobil itu untuk kita naiki bersama. Aku akan berusaha memastikan kamu, agar untuk tidak hanya berjalan kaki pada perjalanan jauh lagi. Selama menjadi teman dan saat kau hidup dulu, aku sudah memastikan agar kamu makan teratur. Sekarang, kau adalah saudaraku dan sekali lagi, aku tidak akan membiarkanmu berjalan kaki jauh.” Idris malah tertawa kecil seraya kembali menyesap air.
“Tapi Idris.” Dia memandangku. “Apakah kamu rindu memecahkan kasus?” tanyaku iseng kepada Idris.
“Tidak juga, kenapa?” Idris nampak terkejut. “Lagipula, setelah membaca kedua buku harian ini, rasanya Pembunuhan di Rumah Maneken Lilin menjadi satu-satunya diriku berperan besar. Sisanya, kamu, Firdaus.”
Aku terdiam di sana sejenak. “Kita melakukannya bersama, ingat? Aku yakin malah kamu yang membantuku mendapat keberanian sejak Pertemuan itu. Pergi mengelilingi sekolah yang bahkan kamu belum kenal sebelumnya demi mencari tasku dan berdiri di hadapan umum sambil menunjuk satu orang lain yang terlibat dengan kehidupan kita. Aku sangat salut dengan itu.” Aku merasa suaraku gemetar.
“Dan aku berharap kita bisa bertemu lebih awal dari saat itu, Kak. Aku hanya dapat melihat ayah kandung melalui foto dan ibu yang sangat membenci keberadaanku saat dia ditahan. Aku membayangkan kita hidup bersama dari awal, sebagai kakak beradik yang normal.” Kebenaran yang kami cari bertahun-tahun lalu, tidak kusangka akan mendapat hasil lain. Semua fakta mengarah kepada hubungan persaudaraan antara aku dan Idris, sebagai saudara kembar yang tidak identik.
“Itulah tujuanku menanyakan semua itu, Firdaus.” Idris menghabiskan air di cangkirnya. “Kamu ingin kita hidup normal bukan?” Aku hanya mengangguk sambil melihat dia berdiri sambil membawa cangkir itu. Entah dia ingin membersihkan atau mengisinya lagi, namun yang jelas, tujuannya adalah dapur rumah.
“Ke depannya, aku akan mencari Paket C dan mengganti–lebih tepatnya menyelesaikan pelajaranku di MA, siapa tahu bisa kuliah. Sementara itu, rumah ini terlalu jauh dari Kota Cahaya, tempatmu bekerja. Jika kamu menjawab ingin segera menikah, aku akan membantumu untuk mencarikan rumah di sana, mengingat rumahmu yang dulu sudah ditempati Pak Irsyad beserta keluarga barunya, dan yang jelas aku belum tentu mengizinkanmu tinggal di sini bersama istrimu nanti. Tabunganku yang dipersiapkan sebelumnya, malah tidak bisa digunakan dan kurasa cukup untuk rumah baru.”
Aku hanya bisa kagum dengan Idris. Dia tidak berubah dari Idris yang kukenal, berpikir jauh ke depan dengan segala rencananya.
[Bersambung]
Catatan Penulis (07/01/2022)
Halo semua! Nafis di sini. Bagaimana kabarnya? Semoga baik-baik saja.
Sudah lama rasanya. 24 Juli 2021 ketika Waralaba Misteri berakhir, dan 8 September 2021 untuk revisi 86: The Drama. Apakah kalian merindukanku? Atau paling tidak, tulisanku di genre misteri?
Terima kasih bagi yang mengikutiku dari awal rilis Detektif Sekolahan dan sampai rilis IF sebagai sekuel dari karya tersebut. Aku berharap, kalian dapat menikmati bacaan ini juga terus mendukungku seperti dulu. Dan mari berharap bersama agar karya ini berjalan lancar dari awal sampai akhir.
Bagaimana tanggapannya dengan bagian ini