Ahad, 3 April – Setelah beberapa lama, Firdaus akhirnya mendapat kabar dari tempat kerjanya, Polresta Cahaya bahwa Dokter Ika Pratiwi telah ditemukan. Hanya saja, berdasarkan informasi tersebut, dia ditemukan dalam keadaan sudah tidak bernyawa. Untuk memastikan, dia pun pergi ke tempat yang ditujukan oleh informasi.
Mengejutkannya, untuk sekian kalinya, penjara kecil putih di bawah tanah menjadi tempat yang agaknya istimewa bagi setiap kasus yang dihadapi Idris dan Firdaus karena terlalu banyak hal yang ditemukan di sana. Begitu pula Dokter Ika Pratiwi, dipastikan ditemukan di sana dalam keadaan yang tidak bernyawa.
Adelia, temannya yang sekaligus anggota Laboratorium Forensik, terlihat di wajahnya masih tidak percaya dengan apa yang dia lihat di sana. Firdaus yang mendekat, menyadari bahwa busa putih keluar dari mulut Ika, dengan di sekitarnya terdapat tumpahan krim biru yang dulu mereka temui saat Pembukaan Winter Garden ketika ledakan itu terjadi.
Bahagia dengan apa yang dia rasa, Firdaus bergegas ingin mengabari Idris melalui panggilan telepon. Tapi, untuk hari ini, terjadi lagi. Firdaus berkali-kali memanggil Idris tapi tidak ada jawaban.
Lalu Firdaus sadar, Idris bahkan tidak memeriksa ponselnya saat dia datang untuk mencarinya sebelumnya di rumah. Layar ponsel yang sudah padam tentu tidak membuat Idris terpancing untuk mengambilnya. Mengingat Firdaus yang sudah mendatangi rumahnya, serasa wajar Idris tidak menelepon balik untuk menanyakan maksud Firdaus yang menelepon berkali-kali karena sudah diselesaikan masalahnya saat itu.
Saat itu, Firdaus sangat ingin untuk pulang dan mencari ke mana perginya Idris lagi. Dia sangat skeptis bahwa Idris hanya jalan-jalan sendirian, tapi ada hal yang harus dia ketahui terlebih dahulu.
“Apa yang Anda temukan, Kak Adel?” tanya Firdaus. Itu sepertinya sangat mengejutkan Adelia sampai dia berteriak dan mengejutkan investigator TKP yang lain.
Adel memandangi Firdaus diam dengan wajahnya yang marah, menghela napas, kemudian menunjukkan beberapa barang kepada Firdaus. Salah satunya adalah ponsel yang sepertinya milik Ika, karena terlihat berbeda dengan ponsel yang dipegang Adel saat Firdaus melihatnya.
Adel membuka ponsel itu yang tidak terlihat terkunci, kemudian membuka galeri dan menyerahkan ponselnya kepada Firdaus. “Akulah Tuhan! Aku telah menghidupkan orang yang telah mati! Akuilah!”
Video itu langsung menguatkan keinginan Firdaus untuk pulang menemui Idris. Dia bergegas naik ke atas dan bergegas lari menuju rumah tanpa melepas alas kakinya. Sekali lagi, pintu Idris tidak terkunci. Tapi, berbeda dari sebelumnya, sandal dan sepatu Idris terlihat di raknya, seakan memastikan bahwa dia berada di rumah.
Perbedaan selanjutnya, ruangan yang telah diketahui Firdaus sebagai kamar tidur Idris tidak bisa dibuka saat itu. Dia mengetuk pintu itu dan memanggil nama Idris, untuk mengetahui apakah dia berada di dalam, namun tidak ada jawaban.
Firdaus bergerak menuju Ruang Kerja Idris yang pintunya sudah terbuka sedikit. Mengintip di dalam, ruangnya sangat berantakan. Sangat bertentangan dengan apa yang biasanya Firdaus lihat, karena menurutnya Idris sangat mengutamakan kerapian biasanya.
Firdaus mulai memasuki ruang itu dan menemukan Idris dengan kepalanya tergeletak di atas meja dengan komputer yang masih menyala. Firdaus terus mendekat.
Bekas darah mengalir terlihat di jahitan di kepalanya. Tubuhnya begitu dingin dengan kulit yang memucat. Napasnya tidak terdengar dan denyut jantung tidak terasa lagi ketika Firdaus memeriksanya.
“Idris … tidak ….” Firdaus begitu gelabakan karena panik dan bergegas menelepon nomor darurat. “Kita bahkan tidak sampai setahun bertemu lagi.” Setelah selesai memanggil, Firdaus menyempatkan diri untuk memeluk Idris.
Di tangan kanannya, Idris memegang tabung pil yang telah habis. “Morfin.” Firdaus terdiam kesal karena firasatnya benar dan dia berharap memeriksa lebih teliti. “Dia menyembunyikannya. Rasa sakit itu. Dia benar-benar tidak berubah.”
Firdaus memandangi meja kerja Idris. “Tunggu, kenapa ada kamera perekam video portabel di sini?” Di saat yang bersamaan, bantuan telah tiba. Firdaus memutuskan untuk membawa kamera itu bersamanya.
Setibanya di RSUD Sukamawar, sambil menunggu pemeriksaan, Firdaus begitu penasaran dengan isi kamera itu. Ada tiga video di sana. Video pertama, adalah rekaman yang terlihat cukup lama, tapi masih jernih untuk dilihat. Melihat wajah sang pembicara, Firdaus sadar. “Ayah?”
“Halo, Idris!”
“Oh, ini untuk Idris. Berarti ini video yang dia maksud saat itu.” Firdaus mengangguk.
“Video ini sudah ayah rekam cukup lama, di ruangan yang sama dengan kamu menontonnya sekarang.”
“Ruang Kerja.” Firdaus memastikan dengan terlihatnya sebuah foto tepat di atas kepala ayah, di dinding itu. Meski samar-samar, seperti ada dua bayi dalam foto tersebut. “Foto itu sudah ada?”
“Ayah hanya ingin mengucapkan selamat ulang tahun, Idris. Semoga hidupmu selalu berada dalam kasih sayang Tuhan.”
Begitulah video pertama. Firdaus kemudian melanjutkan dengan video kedua yang secara isi tidak ada banyak perbedaan. Resolusi video yang lebih jernih, memastikan bahwa tempat ayahnya merekam video benar-benar ruang kerja Idris apalagi dengan foto itu. Namun di video ini, ayahnya memilih kata ‘anakku’ dibanding eksklusif seperti sebelumnya, ditambah dengan dia sekilas melihat foto itu dengan berpaling. “Terima kasih.” Firdaus menahan tangisnya.
Dia mengakhiri dengan video ketiga sekaligus terakhir. Itu dari Idris di ruangan yang sama, masih gelap dan hanya diterangi lampu ruangan yang tidak begitu cerah, dia nampak berusaha keras menahan rasa sakit di kepalanya dan ingin mengucapkan sesuatu. Suaranya begitu lirih dan di tengah ramainya suasana rumah sakit, tidak begitu terdengar dibanding dua video sebelumnya.
Dokter dari IGD keluar dan Firdaus menyadarinya sehingga bergegas. “Apakah keajaiban akan terjadi lagi?” tanya Firdaus.
Dokter itu memandang, berusaha memahami ucapan Firdaus. “Sayangnya tidak. Dia sudah lama pergi.”
“Ika bajingan!” Firdaus mengumpat kesal, seraya bersandar ke dinding dan duduk. Kali ini, dia tidak bisa menahan air matanya menetes lagi.
Pemakaman jasad Idris akan dilangsungkan di TPU Sukamawar. Kombes Pol Ahmad Isa mendekati Firdaus dan memberi kabar bahwa permintaannya untuk pindah akhirnya dikabulkan sehingga dia mulai hari itu, bisa mengabdi di Polresta Sukamawar.
“Kenapa baru sekarang?” Firdaus malah kesal. “Aku baru saja menemukan saudara kandungku, sedangkan kalian tidak memberi kami kesempatan untuk bersama lagi?”
Mereka yang mendengar begitu terkejut. “Sesungguhnya Abdul Hamid yang Anda kenal, berpasangan dengan Mina Hamidah dan lahirlah dua orang anak laki-laki yang kembar tidak identik. Nama mereka, Muhammad Idris dan Ahmad Firdaus.”
Kombes Pol Ahmad Isa terdiam memandang Firdaus. “Pantas saja, matamu.” Mata Ahmad Isa begitu fokus. “Aku baru menyadarinya setelah memperhatikan wajahmu. Kamu sungguh mirip dengan ayahmu.” Firdaus hanya diam sementara menyiapkan diri untuk pemakaman.
Sementara itu, Mina Hamidah, ibu kandung dari Idris dan Firdaus dibebaskan sementara untuk menyaksikan pemakaman yang berlangsung dengan khidmat, di mana Firdaus turun tangan demi membantu memasukkan peti mati ke dalam liang lahat.
Selesainya prosesi, Firdaus mendekati ibunya dengan tubuh yang masih kotor, “Mungkin, karena ini, ibu akan semakin membenciku. Tapi dari hatiku yang terdalam, maafkan aku, Ibu. Aku gagal menjaga kakak. Aku sangat berharap Perpisahan itu tidak terjadi.” Firdaus menunduk kemudian pamit pergi.
Firdaus menghela napas dengan berat, sambil berdiri di depan pintu rumah setelah melepas alas kaki. “Aku harus tinggal di sini bukan?” Dia hanya bisa tersenyum, menahan tangisannya saat membuka pintu perlahan dan melihat ke jalanan. Tanpa sengaja, dia menginjak sesuatu dan kakinya bereaksi secara refleks. Itu adalah bunga mawar palsu dalam keadaan yang utuh. Firdaus menunduk untuk mengambilnya, memasuki rumah dan menutup pintunya.
[Tamat]