arrow_back

IF

arrow_forward

“Ah sial, aku lupa menanyakan bagaimana cara menggunakan ini.” Firdaus terus menggulir ponselnya dengan wajah penuh kebingungan. Dia kemudian berpikir untuk membuat keputusan dan pergi ke tempat penginapannya di Kota Cahaya.

Setibanya di sana, dia mencari laptop dan mengusahakan sekali lagi. Firdaus memasukkan alamat itu pada perambannya dan berharap akan tampil yang sama. Ternyata, tampilannya sedikit berbeda, tapi untung konten tidak. Firdaus mulai berusaha belajar secara otodidak, memahami cara memakainya.

Sebagaimana pengarsipan, halaman web itu telah beberapa kali disimpan pada tanggal tertentu, dan yang Idris tampilkan terlihat cukup lama. Firdaus begitu terkejut, ketika mengetahui bahwa pengarsipan pertama dilakukan tidak lama setelah penerbitan Winter Flower. Dia tidak percaya, mereka terinspirasi dari kalimat yang satu itu, memahami isi buku secara salah total.

Hanya saja, Firdaus cukup bingung, versi mana yang memiliki pesan. Dia memulai dengan asumsi, saat Ika masih tergabung dalam organisasi kejahatan itu. Sayangnya, dia sudah mengakses halaman beranda tempat informasi terpenting muncul selayaknya kasus Progres dulu, tapi tidak membuahkan hasil.

Firdaus terus membuka setiap halaman pengarsipan dan seperti itu saja terus sampai hari berganti. Sabtu jadi Ahad. Tanggal 12 menjadi 13. Firdaus telah menghabiskan waktu selama itu, dan dia hampir menyerah. Ini masih pagi yang cerah, tapi Firdaus memutuskan untuk memanggil Idris.

Panggilan itu dilakukan berkali-kali, kepada nomor yang sama dengan kemarin, dan sekian kali itu pula tidak ada jawaban. “Kenapa dia tidak menjawab panggilanku?”

Curiga sesuatu yang buruk terjadi, Firdaus memutuskan untuk menaiki mobilnya dan berkendara dengan cepat menuju Kota Kebun Melati. Ringkas cerita, Firdaus tiba di rumah Idris setelah lama perjalanan dan berdiri di depan pintu. Sambil menghela napas penuh ragu, dia akhirnya mendorong pintu dan ternyata tidak terkunci.

“Di mana dia?” Firdaus mulai menjelajahi rumah. Suasana terasa berbeda ketika dia sendirian di sana.

Firdaus berada di pintu yang belum pernah dia masuki sebelumnya. Dia menyentuh pintu itu dan dia terbuka begitu saja. Itu ternyata adalah kamar tidur Idris. Terlihat ruangannya begitu rapi, dapat dinyatakan dengan melihat kasur dan lantai. Berusaha menjaga privasi, Firdaus memilih untuk tidak memasuki kamar itu dan kembali menutup pintunya.

Firdaus terus berjalan dan mulai mengarah ke Ruang Kerja Idris yang ternyata tidak terkunci juga. Dia berdiri dengan berat di depan monitor dan dikejutkan dengan langkah kaki yang terdengar begitu dekat.

“Firdaus?” tanya Idris yang membuat Firdaus sontak berpaling. Firdaus terdiam sementara Idris masuk perlahan.

“Apakah kamu memasuki kamarku juga?” Firdaus menunduk tanpa menjawab. “Kurasa tidak apa-apa, mengingat kelak kamu tidur di sana.”

“Dari mana saja kamu?” tanya Firdaus sambil memandangi Idris yang berjalan perlahan menuju kursinya.

“Memangnya sejauh mana kalau aku berjalan sendiri?” Idris menertawakan Firdaus. “Ya, aku hanya berjalan-jalan sebentar ke luar.”

Firdaus mulai memperhatikan Idris, dan fokusnya kepada meja. Di sana ada ponsel milik Idris yang terletak dengan layar menyala menunjukkan beberapa notifikasi yang menandai panggilan tidak terjawab dari Firdaus. “Jika ponselmu berada di sini, kenapa tanganmu berada di saku?” Idris kembali tertawa.

“Kenapa kau begitu?” Idris mengeluarkan kedua tangannya dari saku. “Aku hanya memasukkannya. Bukankah kamu dulunya sering seperti ini juga?”

Akhirnya Idris duduk, kemudian menanyakan kepada Firdaus. “Kenapa kamu ke sini?”

“Aku sungguh perlu bantuanmu.” Mata Firdaus terlihat memelas.

“Bantuan apa?” tanya Idris sambil membuka laci, mengambil botol air mineral dan membukanya untuk minum. Napasnya terdengar agak berat, yang membuatnya untuk mengatur napas terlebih dahulu.

“Mereka kembali. Satu orang yang tersisa itu, sepertinya dia melakukan untuk terakhir kalinya.” Idris memandang Firdaus dengan diam. “Ika Pratiwi, membunuh adiknya sendiri dan menurut kesaksian Adelia, terdapat tato yang sebenarnya adalah kode QR dengan gambar bunga musim dingin selayaknya yang pernah kita lihat dulu meski itu terletak di organ yang tidak pantas aku lihat.”

“Oke, aku mulai memahaminya. Jadi?”

“Bantu aku mencari informasi tentang kasus ini. Aku sudah menghabiskan sehari semalam untuk mengakses halaman pengarsipan web Winter Flowers itu demi mencari informasi yang kumaksud namun hasilnya nihil.”

“Baiklah. Bisakah kau menjelaskannya lebih rinci?”

“Adelia mengaku pemeriksaannya menunjukkan hasil bahwa Rita dihantam oleh benda tumpul di kepalanya dan terdapat beberapa sayatan di bagian abdomennya. Dia juga mengaku menemukan keanehan berupa jasad Rita ditemukan masih menggunakan jas almamater beserta seragam lengkap yang sama sekali tidak rusak.”

“Berarti itu pembunuhan biasa. 340 karena kita menganggap sudah tahu pelakunya, bukan?” Firdaus hanya mengangguk, sementara Idris berdiri.

“Duduklah di sini. Pastikan ini situsnya.” Firdaus mencoba duduk perlahan di kursi yang muai menghangat sambil menghadap komputer milik Idris. Rasanya berbeda ketika duduk di sana, seraya membayangkan sudut pandang Idris. “Sekarang, buka pengarsipan tanggal 3 April 2000.”

“Aku sudah membukanya. Satu-satunya yang kusadari adalah itu tahun terakhir kalinya terlihat si Ika itu di daftar anggota dan tidak ada lagi setelahnya, entah kenapa.”

“Tapi sudahkah kamu memeriksa yang lain, seperti tautan tersembunyi?” Nada bicara Idris begitu berbeda saat itu. Firdaus menyadari dia melupakan hal yang nampaknya penting itu dan mencoba mengeklik.

Firdaus terdiam, memandang sebuah tab baru terbuka otomatis yang menampilkan sebuah video yang nampaknya dibintangi oleh Ika sendiri. Di sana, dia melakukan sebuah percobaan yang terlihat mengerikan. “Wah, transplantasi otak kelinci.” Celotehan Idris sudah menjelaskan apa yang mereka lihat.

Idris mulai mengamati video itu dan melihat bahwa upaya Ika berhasil. “Mungkin karena itu dia jadi berani juga melakukannya padaku bukan? Sayangnya, kita belum dapat melihat nasib kelinci itu, tapi entah kenapa, ada satu hal yang pasti, dan kamu mengetahuinya juga.”

“Aku mungkin tidak sampai ke hari itu.”

“Idris!” Firdaus begitu marah sambil memandang Idris. “Berhentilah mengucapkan itu. Bukannya kamu seperti mendoakan diri sendiri?”

“Tidak, memang begitu kenyataannya. Kamu bisa menyelidiki hari lain, atau menonton video ini sampai selesai dan dapat melihat nasib kelinci itu.” Secara mengejutkan, video bisu itu mulai mengeluarkan suara teriakan kelinci yang baru saja selesai dibedah. Yang satunya sudah dapat dipastikan mati karena Ika tidak menutup bekas belahannya, tapi yang satunya sedang dikurung dalam sebuah penjara kecil dan terus memberontak dengan meloncat ke sana ke mari sambil menghasilkan suara yang begitu keras dengan menghantamkan kepalanya.

Idris yang dari tadi memandang, mulai memahami. “Oh, jadi seperti ini cara mainnya. Ika itu, sengaja mempelajari segala jenis bidang kedokteran, agar dipercaya oleh RSUD Sukamawar.”

Dia pun mulai menjauh. “Kau tahu, Firdaus? Aku akan ke kamar tidur untuk merapikan pakaian.”

“Bukannya sudah rapi?” Firdaus merespons yang disahut Idris dengan tawanya.

“Aku hanya ingin membuktikan bahwa kamu memang ke kamarku tadinya.” Firdaus terdiam. “Sekarang, bukankah lebih bagus jika kamu meminta bantuan rekan kerja yang lain? Aku mungkin tidak dapat membantu lebih, tapi aku terus mendoakan semoga kamu berhasil.”

Komentar