“Idris, sebelum aku pergi, ada hal yang sebenarnya ingin kuberitahukan kepadamu juga.”
“Aku sebenarnya telah mengajukan permohonan pindah itu sebelumnya. Aku sebenarnya kurang nyaman tinggal di Kota Cahaya selama beberapa tahun belakangan karena bisingnya pembangunan yang sepertinya sangat sedikit lagi untuk dirampungkan.”
“Nyatanya, aku hanya dipindahkan dari Sabhara ke Jatanras.”
Firdaus kemudian keluar dari ruangan itu setelah membuka pintu dan kembali menutupnya, membiarkan Idris tetap berada di dalam sana. Firdaus menuju Kota Cahaya, dengan mobil pribadinya, sendirian kali ini.
Setibanya di sana, dia bergegas menuju kerumunan para petugas yang nampaknya sedang melaksanakan penyidikan ditempat. “Firdaus.” Firdaus agak kaget mendengar panggilan itu. “Aku dari tadi mendengar mereka terus mencarimu.”
Firdaus sempat tidak mengenalnya dari kejauhan, terlebih baru mendengar suara itu yang terdengar begitu berbeda. Dia harus mendekat untuk menyadari siapa yang memanggil. “Kak Adel?”
Adelia hanya diam, menatap Firdaus. “Itu panggilan yang baru kudengar.” Suaranya saat itu barulah mengingatkan Firdaus bahwa dia memang Adelia. “Tapi tak apa, aku dapat menerimanya.” Suaranya berubah lagi, menjadi lebih semangat.
Banyak petugas yang sepertinya bersiap untuk pulang. “Kalian sudah selesai melakukan pemeriksaan?”
“Ya, korban sudah dibawa ke rumah sakit terdekat untuk dilakukan pemeriksaan sebagai pemberi kepastian atas apa yang menyebabkannya mati.”
“Apa yang kita ketahui dari korban? Selain dia bernama Rita Gunarta, siswi SMU Harapan, memiliki seorang saudari yang lebih tua darinya, dan mayatnya ditemukan begitu jauh di Kota Cahaya sekarang.”
“Berdasarkan pemeriksaanku, dia dihantam oleh benda tumpul di kepalanya.”
“Kepala lagi.” Adelia sontak memandang Firdaus. “Bukan apa-apa.”
“Dan terdapat beberapa sayatan di bagian abdomennya.”
“Yang menurutku agak aneh adalah. Dia ditemukan masih menggunakan jas almamater beserta seragam lengkap, tapi itu sama sekali tidak rusak, alias aku tidak menemukan adanya tanda-tanda penusukan jika hanya melihat dari baju.”
Firdaus mengangguk, kemudian berucap, “Menurut Anda, apakah Dokter Ika pelakunya?” Mata Firdaus sontak membelalak, menyadari apa yang baru saja dia lontarkan dalam perkataannya.
“Dokter Ika?” Dan Adelia mendengar perkataan itu. “Maksudmu Ika Pratiwi?” Firdaus hanya mengangguk pelan sebagai tanda dia menjawab pertanyaan itu.
“Kenapa kamu menanyakan itu?” Adelia sepertinya begitu tersinggung atas ucapan Firdaus.
“Begitulah,” sahut Firdaus dengan pelan. “Kepercayaan kami begitu kuat bahwa dialah yang memulai semua ini. Apalagi korban adalah adik kandungnya bukan?” Hanya itu yang bisa Firdaus ucapkan.
“Dia tidak akan melakukannya. Aku sudah lama menjadi temannya dulu.”
“Anda tidak akan pernah tahu.” Firdaus mulai berlagak. “Aku benci ketika menyelesaikan sebuah kasus atau masalah sampai ke akarnya. Kami mengira dengan pembubaran Winter Flower saat itu akan menjadi titik akhir. Nyatanya, bibit itu masih ada.” Dia kemudian berjalan mendekati korban. “Semua ini, hanya karena novel … yang berjudul sama itu, bukan?”
“Winter Flower? Novel? Karya Tania itu?” Sepertinya Adelia tahu buku itu. “Apa hubungannya?”
“Apakah Anda pernah membacanya?” Firdaus terkejut atas hal itu, kemudian tersenyum kecil. “Dalam buku itu, apa sebenarnya Winter Flower?” Dia menanyakan.
“Winter Flower adalah sebuah julukan bagi seseorang yang berhasil melalui masa sulitnya. Layaknya sebuah bunga yang tetap hidup meski diterpa dinginnya angin dan dihujani salju.” Dia pula yang menjawabnya.
“Bagaimana jika pernyataan itu malah dibalik oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Mereka mengaku dan mengklaim bahwa sebenarnya mereka telah melalui masa-masa sulit dan intinya, mereka hanya ingin balas dendam. Itu sebenarnya sudah lama sekali. Aku tidak menghitung berapa tahun yang telah berlalu.”
“Jika dia tidak dibunuh, aku dapat menjamin, dia bagai bibit yang siap untuk berkembang.” Entah kenapa, Firdaus bangga dengan kalimatnya. Mungkin sudah lama sejak terakhir kali merangkai kata, mengingat jurusannya dulu Bahasa.
Ponsel Adelia berdering, dan itu sebenarnya pertanda pesan masuk. Sedikit kesusahan karena tangannya masih mengenakan sarung. Tapi dia berhasil membuka dan terkejut melihat pesan tersebut.
“Ada apa?” tanya Firdaus penasaran. Dia kembali tersadarkan atas kelakuannya kemudian sedikit mundur dan berkata, “Anda tidak harus menjawabnya.”
“Di bagian organ … ya, kamu tahu yang kumaksud, mereka menemukan sebuah tato dan terlihat seperti kode QR.”
Firdaus begitu terkejut. “Apakah ada juga gambar bunga padanya?” Adelia sontak memandang Firdaus kemudian menyahut dengan anggukan. “Mereka lagi.” Firdaus mendongak dengan penuh kekesalan. Ketika pandangannya kembali lurus, Firdaus dapat melihat Adelia tidak paham dengan ucapan itu.
“Bisakah Anda memindai kode itu?” Adelia pun mengotak-atik ponselnya setelah mendengar ucapan itu selama beberapa saat. “Ini mengarah ke halaman web yang tidak bisa diakses lagi.”
Firdaus langsung mengetahui bahwa itu adalah halaman web resmi dari Winter Flower yang sekarang sudah tiada lagi. Sayangnya, ingatan Firdaus hanya sampai Idris mengatakan bahwa dia menemukan halaman pengarsipan, tapi dia tidak memperhatikan alamatnya. Berusaha keras pun, dia tetap tidak mengingatnya. Firdaus akhirnya memutuskan untuk mengeluarkan ponselnya.
“Aku masih tidak percaya, Idris yang memanggilku saat itu.” Firdaus memeriksa log panggilan tidak terjawab dan menemukan sebuah nomor asing yang belum pernah dia simpan sebelumnya. Dia pun mencoba memanggil nomor itu. Menunggu sambil mendengar nada tunggu yang khas, Firdaus mengaktifkan pengeras suara ponselnya.
Sampai panggilan itu diangkat. “Halo, Firdaus. Ada apa?” Itu suara Idris di telepon, mengingatkan saat-saat mereka saling telepon dulu saat masih MA. Pertanyaan yang akan Firdaus ucapkan, “Bagaimana dia tahu?” terjawab oleh ingatannya sendiri. Idris masih menyimpan nomornya, hanya saja dia memanggil dengan nomor yang berbeda.
“Halo?” Sepertinya Firdaus terlalu lama berpikir, sehingga Idris kembali menanyakannya. “Kamu seharusnya sadar jika memilih untuk menelepon ke nomor ini bukan?” Firdaus kembali bingung. “Setidaknya kamu tahu ponsel yang sedang kugunakan ini dari siapa.”
Pada saat itulah, Firdaus akhirnya menyadarinya. Dimulai dengan mengingat kembali perjalanan mereka pekan lalu, saat dia memperhatikan Idris yang lebih lambat masuk ke mobil dengan tangan yang masuk ke saku. “Jadi, dia memasukkan ponsel dan memastikannya aman?”
Firdaus mulai memahami dan ingatannya terus berjalin, mengarah kepada ucapan Idris yang mengatakan Dokter Ika yang terlalu banyak berpengaruh dalam hidupnya. “Apakah ponsel itu diberikan oleh Ika?” Dia kemudian berjalan menjauh untuk berpikir lebih dalam. “Berarti mungkinkah panggilan barusan disadap?”
“Sepertinya kau sudah sadar. Cukup lama untuk membuat orang lain menunggu.” Firdaus yang baru saja ingin berkata, terdiam oleh ucapan Idris. Firdaus langsung melihat ke sekitar dan menyadari Adelia sedang berjalan pulang dengan tangan memegang ponsel di telinganya, sepertinya diminta untuk melakukan pemeriksaan lanjutan.
“Apakah aku bisa mengakses halaman pengarsipan dari situs web resmi Winter Flowers itu?”
“Mereka main lagi?”
“Ya,” jawab Firdaus singkat.
“Jika maksudmu di ponsel, sepertinya bisa. Jadi, aku akan mengirimkannya kepadamu, dan saatnya kamu untuk menuntaskannya.”