arrow_back

Kesederhanaan Cinta

arrow_forward

“Ibu, aku pergi dulu ya. Assalāmu ‘alaikum.” Gadis itu menyalami ibunya setelah menuruni tangga.

“Wa ‘alaikumussalām, hati-hati ya,” ucap ibunya yang duduk di kursi roda.

Gadis itu keluar rumah, menaiki sepedanya dan meletakkan kantong plastik berisi kertas itu ke dalam keranjangnya.

Namanya Fida Nurhalisa, usianya menjelang 19 tahun. Setelah lulus dari SMA, dia hanya bekerja di sebuah tempat pencucian baju. Berbagai keadaan membuatnya tidak bisa kuliah.

Hobinya menulis, dan sekarang dia mengantarkan karyanya menuju penerbit koran agar ditampilkan disana. Sebenarnya, dia sudah memenangkan banyak lomba, namun nampaknya prestasinya juga belum cukup diterima.

Dia tidak memedulikan itu. Sepertinya dia menikmati hidupnya sekarang, walau melalui banyak hal kelam.

Ayahnya bernama Abdul Majid, dan beliau sudah meninggal ketika usia Fida masih 15 tahun. Penyakit ginjal yang beliau derita selama beberapa tahun dan ketidakmampuan keluarga di saat itu membuat nyawa beliau tidak bisa diselamatkan.

Beliau dulunya seorang pengusaha, hasil dari pekerjaan beliau sudah cukup untuk rumah kayu berlantai dua yang beliau bangun sendiri, sisanya beliau sedekahkan untuk membangun masjid. Beliau bercita-cita tinggal di lantai satu dan di lantai dua Fida dan suaminya kelak. Namun Tuhan lebih menyayangi kebaikan beliau sehingga memanggil terlebih dahulu.

Sayangnya, saat mendekati ajal. Disanalah beliau bangkrut. Ketika beliau menginvestasikan hampir 80% saham beliau, ternyata beliau tertipu. Keluarga sudah memperjuangkan agar saham itu kembali, tapi nasi sudah jadi bubur.

Setiap kali Fida mengantar karyanya, dia tidak lupa singgah sebentar ke masjid itu. Dimana tepat dibelakangnya makam ayahnya. Hanya dia yang bisa mendoakan dari dekat.

Ayahnyalah yang menamainya “Fida Nurhalisa”, dengan hajat bahwa gadis ini terdapat cahaya kelembutan di dalam dirinya.

Ibunya bernama Nisa’un Jamilah. Teman-teman beliau mengenalnya dengan Nisa. Seorang ibu rumahan biasa, yang sekarang duduk di kursi roda.

Tidak ada yang bisa disalahkan. Saran ayah Fida agar sejak kecil Fida sudah tinggal di lantai dua. Suatu hari, beliau terjatuh dari tangga itu tepat pada kakinya. Dan sekarang, kaki beliau tidak bisa digunakan untuk berjalan. Kursi roda yang beliau gunakan, hanyalah sebuah kenang-kenangan dari suami tercintanya.


“Assalāmu ‘alaikum.” Fida membuka pintu tempat pencucian baju itu.

Barokah Laundry, tempat pencucian baju ini hanyalah satu dari sekian banyak investasi ayahnya sendiri. Letaknya pun berdekatan dengan masjid itu. Secara tidak langsung, dia bekerja di tempat ayahnya. Tetapi hanya Barokah Laundry ini yang bertahan setelah kebangkrutan itu.

“Wa ‘alaikumussalām. Eh, Fida!” sambut seorang gadis.

“Lanjutin dong, cerbungmu yang di koran itu!”

“Ditunggu saja, nanti ada kok sambungannya Insya Allah. Itupun kalau diterima.”

“Pasti diterima kok. Lagipula, sudah sering ceritamu masuk koran itu.”

Nama gadis itu Annisa Rahmah, Fida memanggilnya Ani untuk membedakan dengan nama ibunya yang mirip. Ani adalah salah satu teman Fida sejak TK. Terlihat dia seorang fans berat dari Fida. Semua dimulai ketika banyak orang berdiri di depan mading saat SMP dulu.


“Eh, Fida.” Ani menyenggol lengan Fida yang berjalan di sampingnya dengan siku. “Lihat deh, depan mading. Kok banyak yang berkumpul di sana?”

“Benar juga,” jawab Fida penasaran.

“Ke sana yuk,” ajak Ani.

Mereka berdua juga penasaran, apa yang orang lihat di sana. Mereka mencoba mendekat.

“Wah, itu cerpenmu! Sepertinya banyak orang yang menyukainya!” tunjuk Ani.

“Alhamdulillāh,” ucap Fida.


Kesuksesan Fida nampaknya sudah terlihat sejak dulu, dan sekarang dia produktif. Dia mulai menulis cukup banyak karya, dan ada beberapa yang dibukukan secara gratis oleh penerbit.

“Dimana Zia?” tanya Fida.

“Dia bilang dia kuliah dulu,” jawab Ani.


Azan Asar terdengar, pertanda datangnya waktu salat dan pulangnya Fida. Amanah pulang waktu Asar sudah dia kerjakan selama bekerja di Barokah Laundry ini.

“Ke masjid yuk!” ajak Fida.

“Gak dulu. Aku uzur hari ini,” jawab Ani.

Di saat Fida ingin pulang, datanglah Zia yang dicarinya. Ziyadatul Khairiyah nama lengkapnya. Dia juga salah satu teman Fida. Mereka seolah menjadi tiga serangkai.

Zia adalah seorang gadis yang cerdas. Nomor satu tidak pernah luput dari dirinya. Bahkan kuliahnya sekarang dibiayai oleh beasiswa. Sementara Fida hanya mentok di 3, dibawah dari Ani.

“Udahan kuliahnya?”

“Ya, baru aja udahan. Mau kemana kamu Fida?”

“Mau pulang.”

“Yah, padahal baru aja aku mau ketemuan.”

“Maaf.”

“Lah? Kok kamu yang minta maaf? Seharusnya aku dong, karena aku telat.”

Fida hanya membalasnya dengan senyuman, dan memeluk Zia.

“Hari Ahad, di taman. Jangan lupa ajak Ani!” bisik Fida.

Dia membuka pintu dan mengucapkan salam. Dia mengambil sajadah beserta mukena dari keranjang sepedanya dan segera menuju masjid.

Komentar