arrow_back

Kesederhanaan Cinta

arrow_forward

Sudah menjadi kebiasaan bagi para pemuda itu untuk berkumpul di pinggir jalan saat sore hari. Mereka nampak bahagia, entah apa yang ditertawakan mereka. Atau itu hanya efek dari beberapa orang yang meminum minuman keras.

Tiba-tiba, ponsel salah satu pemuda itu berdering. Dia mengambil ponsel dari sakunya, melihat siapa yang menelepon kemudian menjauh.

Pemuda itu bernama Munajat Ali. Nama yang sangat jauh dari kelakuannya sekarang. Dia hanyalah seorang berandalan yang tidak lulus sekolah karena dikeluarkan saat SMA. Kenakalannya bahkan tidak bisa disebutkan satu per satu karena saking banyaknya.

“Siapa yang nelponlu? Bapaklu?”

“Hahaha! Anak papi!”

Ejekan temannya itu nampak membuatnya kesal.

“Apaan sih Yah?! Nelpon mulu dah!”

“Pulanglah! Ayah perlu bantuan.”

“Minta bantu saja sana sama ajudan ayah itu!”

Dia menutup telepon itu, merubah profil audio menjadi diam, dan kembali bergabung dengan teman-temannya.


“Astaghfirullāh, Ali. Tidak kusangka dirimu berubah sejauh ini.”

Ayah Ali bernama Jamaluddin. Bupati dari kabupaten ini. Beliau menduda semenjak kelakuan Ali yang semakin parah itu. Istri beliau pergi, namun herannya tetap meminta gaji dari beliau. Entah apa yang dilakukan oleh istrinya di kabupaten lain.

“Ada apa pak?” tanya ajudan beliau.

“Tidak apa-apa.”

“Jangan bilang si Ali itu bertingkah lagi, ya kan?”

“Tenanglah. Mungkin dia hanya menikmati masa mudanya. Aku tidak bisa juga menghalanginya lagi.”

Beliau menghirup air dari cangkir putih di atas meja itu, kemudian berkata, “Ajudan, antarkan aku pulang.”

“Siap, pak!” jawab ajudan akan suruhan itu.


Rintik hujan di saat mendung mulai menetes, menyentuh muka bumi. Fida mulai mengayuh sepedanya dengan cepat, mencegah dirinya basah kuyup akibat kehujanan.

Sementara itu, temannya di tempat kerja sangat mengkhawatirkan dirinya.

“Ah, mau hujan nih. Gimana Fida?” tanya Zia.

“Tenanglah, dia akan sampai ke rumahnya kok,” jawab Ani.

Hujan semakin deras. Fida masih mengayuh sepedanya. Sampai dia melewati para pemuda itu. Karena hujan pula, para pemuda itu akan pulang.

Kecepatan sepedanya membuat air yang sudah tergenang membasahi kaki mereka yang ingin menaiki motor terparkir di pinggir jalan itu.

Para pemuda itu meneriakinya, tanda mereka marah akan hal tersebut. “Maaf!” ucap Fida memalingkan wajah kemudian mulai menjauh.

“Siapa gadis itu?” Para pemuda itu bertanya satu sama lain.


Mobil Bapak Jamaluddin berjalan dengan santai. Dengan mobil ajudannya, tidak ada yang tahu beliau di dalamnya. Mobil itu berhenti di persimpangan, karena lampu merah sedang menyala dan hitungan mundur masih jauh untuk mencapai angka nol.

Fida berhenti di sebelah kanan dari mobil itu dengan menaruh kaki kirinya di jalan sementara kaki kanan masih di pedal, menyisakan ruang yang cukup untuk sebuah motor di kanannya lagi. Dia memastikan sajadah dan mukenanya tidak basah karena dia hanya membungkusnya dengan kantong plastik.

Jendela mobil diturunkan. “Hei nak!”

Fida yang cukup kaget langsung memandang ke arah jendela. Dia melihat ke kursi sebelah kiri dari jendela itu. “Eh, bapak bupati. Apa kabar pak?”

“Alhamdulillāh, baik. Ini kamu kehujanan lo, gak takut sakit?”

“Tidak, pak. Saya memiliki keyakinan bahwa bukan hujan yang membuat saya sakit.” Jawaban Fida membuat Bapak Jamaluddin tersenyum.

“Baiklah, kalau begitu, hati-hati di jalan ya!”

Tepat ketika jendela mobil itu ditutup, Fida disenggol secara keras dari arah kanan sehingga jatuh ke arah mobil itu. Pelaku yang mengendarai motor itu kabur, menerobos lampu, hampir saja tertabrak namun tetap melaju dengan kencang.

Terdengar suara pintu mobil terbuka. Ternyata, Bapak Jamaluddin turun mendekati Fida.

“Kamu tidak apa-apa?” tanya beliau sambil menaikkan sepeda.

Fida bangun dengan memegang belakang kepala dan kaki kiri yang agak pincang. Nampaknya dia cedera akibat tertindih sepedanya.

Fida kembali menaiki sepedanya. “Ya, saya tidak apa-apa. Tapi saya rasa, mobil Anda–”

“Bapak bisa mengurusnya. Kamu masih bisa pulang kan? Kalau tidak bapak yang nganterin.” Bapak Jamaluddin memotong pembicaraan Fida dengan menawarkan bantuan

“Gak usah, terima kasih. Saya masih bisa kok.”

Tidak terasa, hitungan mundur itu sudah berada di angka sepuluh.

“Bapak janji, bapak bakal nangkep itu orang. Tapi bapak harus pergi dulu. Sekali lagi, hati-hati di jalan ya!”

“Siap pak, hehe.”

Bersamaan dengan masuknya Bapak Jamaluddin ke mobilnya, lampu merah padam dan berganti dengan menyalanya lampu hijau. Mobil beliau berjalan lebih dulu daripada Fida.

“Ali! Kamu sudah keterlaluan!” ucap Bapak Jamaluddin sambil memukul dasbor mobil.


“Assalamu ‘alaikūm. Fida pulang!” ucap Fida sambil membuka pintu dengan tangan kirinya karena tangan kanannya memegang kantong plastik itu.

“Fida, kamu basah kuyup! Kenapa kamu hujan-hujanan?! Ada apa dengan kakimu?”

“Ibu sudah makan belum?”

“Jawab dulu pertanyaan ibu!”

“Aku kira tadi sempet sampai rumah sebelum hujan. Eh, di tengah jalan kehujanan. Pengen cepet-cepet pulang, malah jatuh tengah jalan. Jadi, ibu makan kan?”

“Fida, ibu makan kok. Jangan terlalu memikirkan itu, jadinya kamu begini kan. Mandi dulu sana, keringkan bajumu. Nanti ibu mijitin kakimu.”

Malamnya, Fida sesuai suruhan, tidur di kamar ibunya dahulu selama malam itu untuk menyembuhkan rasa sakit di kaki kirinya itu.

Komentar