Hari itu hari Jumat, sehari setelah ‘kecelakaan’ itu. Fida memilih libur kerja dulu hari ini dan pengelola Barokah Laundry memahaminya. Dalam rumahnya, dia hanya naik turun tangga untuk tetap berjalan, apakah kakinya masih terasa sakit atau tidak.
Namun hari itu berbeda, karena Zia mengunjunginya hari itu. Dia membawakan makanan untuk Fida dan ibunya. Dia juga menyampaikan salam yang dititipkan Ani kepadanya.
“Katanya kemarin kamu didorong orang dan jatuh di persimpangan, bener itu?” tanya Zia.
“Nah! Kamu ikutan gibah ya?” Pertanyaan Fida membuat Zia terdiam sementara Fida hanya tertawa kecil. “Gak kok. Aku jatuh sendiri. Sepertinya aku banyak pikiran sehingga aku tidak sadar lampu merah menyala. Aku mengerem mendadak dan jatuh deh.”
“Kamu ga kuliah kah?” Fida mencoba mengalihkan topik pembicaraan.
“Ga, males,” jawab Zia.
“Zia, apakah kamu sadar kamu menyia-nyiakan kesempatanmu ini?” tanya ibu Fida. Fida yang mendengar itu hanya menampakkan wajah senyuman kepada Zia.
“Mungkin tidak sekarang, nanti aku baru pergi.” Zia nampaknya merubah jawabannya.
Ibu Fida bergerak menuju dapur dengan kursi rodanya, membawa makanan yang diberi tadi dan meninggalkan Fida dan Zia di ruangan depan.
“Maafkan yang barusan.”
“Gapapa. Beliau ada benarnya juga.”
Mereka melanjutkan pembicaraan dan berlangsung cukup lama, sampai ponsel Zia berdering. Nampaknya dia ditelepon oleh seseorang.
“Eh, Fiqri! Tumben dia nelpon.”
“Jayyid?”
“Siapa Jayyid?”
“Fiqri Jayyid kan?”
“Semua orang di SMA memanggilnya Fiqri, hanya kamu yang memanggilnya Jayyid.” Zia mengangkat teleponnya.
“Nanti serahkan padaku!” ucap Fida dengan semangat.
“Baiklah, aku tahu kamu merindukannya.” Perkataan Zia membuat wajah Fida mulai memerah. “Hahaha, aku bercanda. Halo Fiqri, ada apa?” tanya Zia sambil mengubah pembicaraan itu sambil mengeraskan suara ponsel.
“Aku perlu bantuan nih, kamu punya nomornya Fida?”
“Fida ga make hape, Fiqri.”
“Lah, gimana dong?”
“Tapi gue kebetulan lagi di rumahnya nih. Jadi dia mendengar lu dari tadi kok. Nih gue serahin hape gue ama dia.”
“Assalamu ‘alaikum Jayyid!”
“Wa ‘alaikumus-salam. Aku kira kamu bohong, Zia.”
“Ya gak lah! Mana ada gue bohong!”
“Yee, ga usah ngegas juga kali.”
“Jadi, apa yang bisa aku bantu?” tanya Fida.
“Kami diberi tugas nih, bikin cerpen katanya. Masalahnya, aku bingung nih gimana mau mulainya.”
“Kamu berlangganan koran Kabar Harian tidak?”
“Ya, memangnya kenapa?”
“Coba baca edisi terbaru. Seharusnya ada tulisanku disana. Aku memberi tips untuk memulai menulis.”
“Tunggu sebentar.” Dari telepon itu, terdengar langkah kaki. Sepertinya Fiqri membawa ponselnya bersama dia pergi. Terdengar pula suara dari kertas koran yang terbuka. “Nah ketemu.”
“Kalau ketemu, pakai tips itu ya. Soalnya aku tidak bisa panjang lebar disini, hape Zia soalnya.”
“Ya, gapapa juga sih. Kan dia yang nelpon, jadi pulsanya dari dia,” sahut Zia.
“Terima kasih Fida.”
“Ya, sama-sama. Semoga membantu.” Fida mengembalikan ponsel itu kepada Zia.
“Eh, tunggu dulu Fiqri.”
“Ada apa Zia?”
“Sejak kapan sih Fida manggil lu Jayyid? Jika lu ingat masa SMA, semuanya termasuk gue manggil lu Fiqri.”
“Mungkin dari TK, tapi entahlah. Terima kasih juga Zia.” Panggilan itu dihentikan oleh Fiqri.
Fiqri Jayyid, seorang pemuda yang sekarang kuliah di rantauan. Dia mengetahui Fida tidak kuliah dari Zia. Ketika Zia dan Ani mulai berteman Fida sejak SMP, Fiqri sudah menjadi teman sejak TK.
Fida secara unik memanggilya Jayyid. “Jayyid artinya bagus atau baik.” Salah satu dari kosakata bahasa Arab yang dulu ayahnya ajarkan.
Ketika SD kelas 6, Fida yang sering memilih hanya duduk di kelasnya saat istirahat, mulai menunjukkan bakat menulisnya. Hanya saja, pada saat itu dia sering dirundung. Beberapa dari teman lelaki sering menarik buku itu. Sudah berapa kali buku itu tercoret, tidak menghentikan apa yang dia suka untuk lakukan.
Suatu kali, teman lelaki itu mengambil bukunya dan merobeknya. Dengan mudahnya, dia menertawakan raut wajah Fida yang hampir menangis. Saat itulah Fiqri memberanikan diri membela Fida. Perkelahian sempat terjadi, namun temannya itu hanya melarikan diri.
Dia mengambil buku yang robek itu. “Jadi selama ini, kamu yang menulis di mading itu?”
Fida menyapu air mata dengan lengan bajunya, hanya mengangguk menjawab pertanyaan Fiqri itu.
“Tenanglah, kamu tidak perlu sedih. Mereka itu hanya iri. Semangatlah!” Fiqri menyerahkan buku itu ke atas meja Fida dan keluar untuk melanjutkan waktu istirahatnya.
“Fida, aku serius nih. Kenapa sih kamu manggil dia Jayyid?”
“Jayyid itu artinya baik. Banyak kebaikan yang sudah dia berikan padaku dulu, jadi aku lebih suka memanggilnya seperti itu.”
Zia hanya terdiam kemudian melihat layar ponselnya. “Baiklah, nampaknya aku harus pulang.”
“Terima kasih atas makanan tadi ya. Jangan lupa hari Ahad nanti.”
“Insya Allah.” Zia memasang helm, menaiki motor dan pulang.