arrow_back

Kesederhanaan Cinta

arrow_forward

Jam dinding di rumah Jamaluddin menunjukkan waktu sudah melewati jam sepuluh tepat. Malam mulai larut, langit berawan menutupi purnamanya bulan.

“Dari mana saja kamu?” tanya Jamaluddin.

Rupanya Jamaluddin sudah menunggu anaknya di ruang tamu itu. Namun Ali nampaknya tidak memedulikan itu dan terus berjalan masuk rumah, melepas helmnya. Biasanya Jamaluddin hanya diam di sofanya, tapi kali ini dia menghalangi Ali.

“Ali! Kamu sudah masuk tanpa salam! Kamu juga tidak menjawab pertanyaan ayah!”

“Berapa kali sudah kukatakan bahwa ayah tidak perlu memedulikan aku lagi?!”

“Tapi kali ini kamu sudah keterlaluan! Kamu hampir saja membunuh anak orang di persimpangan itu!” Ali memandang ayahnya karena ucapan itu.

“Ya! Aku tahu itu kamu, yang mendorong gadis berjilbab merah muda itu!”

“Memangnya siapa gadis itu? Wanita yang tidak mau meminta maaf secara serius kepadaku itu? Heh! Dia pantas menerima itu!”

“Dialah Fida Nurhalisa, orang yang membuat kabupaten kita terkenal itu. Ingatlah tahun lalu! Dia Juara 1 Nasional dalam Lomba Cipta Cerpen.”

“Aku tahu sekarang ayah hanya memanfaatkannya, ya kan?” Jamaluddin hanya terdiam. “Pantas saja wanita tua itu meninggalkanmu!” Ali mulai menjauh, namun Jamaluddin sekali lagi menghalangi anaknya.

Kali ini Ali tidak hanya tinggal diam, dia mendorong ayahnya ke kabinet kecil di sampingnya. Dorongan itu menjatuhkan sebuah figura kecil, memecahkan kacanya menjadi berkeping-keping sementara Ali tetap menjauh.

Figura kecil itu berisi foto keluarga mereka. Dimana semuanya masih dalam keadaan damai. Jamaluddin mencoba membersihkan pecahan kaca itu namun dicegat pembantunya.

“Saya saja pak! Nanti Anda terluka.”

Jamaluddin berdiri lagi, tersenyum dan masuk kamarnya. Di dalam kamar, dia mengingat masa lalunya setelah jatuhnya figura kecil itu.

Betapa bahagianya keluarga mereka saat itu. Semuanya berubah semenjak Jamaluddin terpilih menjadi bupati. Tidak ada yang bisa disalahkan, kesibukan Jamaluddin membuat waktunya habis di kantor. Istri dan anaknya memerlukan … perhatian.

Dengan lepasnya perhatian, Ali bergabung dengan berandalan itu. Teman-teman yang sering bersamanya nongkrong di pinggir jalan. Istrinya memilih meninggalkannya dengan pindah ke kabupaten lain. Meski demikian, dia masih meminta gaji dari suaminya itu.

Keadaan Jamaluddin sekarang sangatlah tertekan. Dia mulai menyesali pilihannya, mencalon jadi bupati. Dia merasa itu adalah kesalahan terbesar dalam hidupnya.

Namun, seandainya dia mengundurkan diri, kabupaten ini juga memerlukannya. Tanpa bantuannya, tidak mungkin juga Fida bisa menjadi juara satu mengingat keadaannya.


Ketika Fida tahu lomba itu dari koran, dia mencoba untuk mengikutinya. Dia mengira karyanya bisa dikirim melalui pos. Sayangnya, lomba itu hanya bersifat daring.

Kebetulan di saat itu, Jamaluddin hanya melakukan kebiasaannya. Memakai baju layaknya warga biasa untuk mengawasi mereka.

“Dek, kenapa kamu sedih?” tanya Jamaluddin.

Saat itulah pertemuan pertama mereka. Setelah Fida menceritakan segalanya, barulah beliau mengenalkan diri bahwa beliau dalah bupati.

Fida terkejut. Dia tidak menyangka akan bertemu “orang tertinggi” di kabupaten ini. Tentu saja dia juga mengenal beliau, apalagi Fida sering membaca koran. Hanya saja dia tidak mengingatnya sampai beliau mengenalkan diri.

“Serahkan kepada bapak, nanti saya yang mengurusnya.”

“Benarkah?”

“Tentu, dengan senang hati.”

“Terima kasih pak!” ucap Fida mulai bahagia.

Dia sempat membaca naskah itu dan cukup terkejut. “Bagaimana karyanya bisa sebagus ini?” gumam Jamaluddin.


Malam itu, Jamaluddin melaksanakan salat tahajjud. Dalam sujudnya, dia meminta dalam hatinya untuk dibuktikan jika perbuatannya salah atau benar, Tuhan akan menunjukkan kuasa-Nya.

“Rasanya mustahil dia akan kembali.” Pemikiran ambigu dari Jamaluddin. Bisa diartikan istrinya kembali kepadanya atau Ali kembali ke jalan yang lurus.

Setelah itu dia tidak bisa tidur. Hanya bolak-balik badan di atas kasur. Dia hanya bersandar, memikirkan apa yang harus dia lakukan selanjutnya.

Hal yang sama dirasakan Ali, dia tiba-tiba terbangun. Ada rasa tidak nyaman mulai muncul di hatinya.

“Kamu hampir saja membunuh anak orang di persimpangan itu!” Suara ayahnya terngiang-ngiang di telinga. Setiap kali mendengarnya, dia teringat wajah Fida dimana semua memandangnya saat lewat. Entah bagaimana, jantungnya berdebar setiap mengingat wajahnya.

“Apakah benar aku membunuhnya? Besok aku harus memperhatikannya!” Ali mulai gelisah. “Kira-kira dimana dia tinggal? Ah! Aku harus mengetahuinya.” Nampaknya doa ayahnya terkabul malam itu juga.

“Siapa namanya tadi? Fida! Aku seperti pernah mendengar namanya di SMA.” Dia teringat sesuatu kemudian mengambil ponselnya, membuka kontak dan menelepon salah satu di antaranya. “Angkatlah!”

“Ya, halo? Ada apa malam-malam begini?”

“Ani! Aku mau tahu di mana aku bisa menemui Fida!”

Komentar